Pergi Tanpa Izin
Hari itu langit siang tampak cerah, angin berhembus lembut di halaman sekolah. Suasana riuh anak-anak yang baru saja keluar kelas membuat suasana semakin hidup. Di tengah keramaian itu, Andi sudah menyimpan sebuah rencana kecil yang membuatnya begitu bersemangat.
Setelah pulang sekolah, Andi keluar pintu gerbang dengan gembira. Bel pulang baru saja berbunyi, menandakan akhir jam pelajaran. Di kepalanya sudah tersimpan rencana asyik untuk mengisi siang itu.
Andi bersama teman-temannya sepakat bermain PlayStation di rumah Eko. Semangat mereka membuncah, seolah hari itu adalah hari yang paling ditunggu. Andi tersenyum lebar membayangkan serunya pertandingan bola di TV.
Namun, ada satu hal yang ia lupakan: izin ibu. Andi memutuskan untuk diam saja dan tidak mengabari orang tuanya. Ia pikir toh hanya sebentar, pasti tidak akan ada masalah. Hatinya berdegup campur aduk antara senang dan rasa bersalah.
Langkah Andi mengikuti teman-temannya menuju rumah Eko. Siang itu terasa panas, tapi semangatnya mengalahkan teriknya matahari. Ia sangat ingin segera sampai dan memegang stik PS kesayangannya.
Saat melewati masjid, Andi teringat azan Zuhur yang baru saja berkumandang. Ia pun berhenti sejenak untuk menunaikan salat. Hatinya agak tenang setelah berwudhu, meski rencananya masih tersimpan kuat.
Selesai salat, ia melanjutkan perjalanan. Rumah Eko tidak terlalu jauh dari masjid. Bayangan keseruan bermain membuat langkahnya semakin cepat.
Setibanya di rumah Eko, ia langsung disambut ramah. Tanpa banyak bicara, mereka segera menyalakan PlayStation. Ruang tamu kecil itu mendadak dipenuhi suara riuh, tawa, dan sorak kemenangan.
Waktu berjalan tanpa terasa. Mereka larut dalam permainan hingga jarum jam menunjukkan pukul 14.50. Andi baru tersadar bahwa waktunya hampir habis untuk kembali. Dengan berat hati, ia menghentikan permainan.
Setelah berpamitan, Andi berlari kembali ke sekolah. Ia berharap masih bisa bertemu orang tuanya yang biasa menjemput di sana. Napasnya terengah karena terburu-buru.