Mohon tunggu...
Muhibbuddin Ahmad Al-Muqorrobin
Muhibbuddin Ahmad Al-Muqorrobin Mohon Tunggu... -

Pemuda lugu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kemerdekaan Republik Indonesia

28 Agustus 2011   10:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:24 4135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hatta pun menjawab "Yogyakarta adalah tempat yang tepat, karena di wilayah sana semua rakyatnya dikendalikan oleh Sultan hanya saja apakah Sultan akan menjamin kita” mendengar ucapan Hatta, Soekarno memerintahkan stafnya untuk menghubungi Sri Sultan. Dalam pembicaraan tidak resmi ditelepon, Sri Sultan berkata ”Saya Sultan Yogya, Sabdo Pandhito Ratu. Menjamin bahwa Pemerintahan Republik Indonesia aman di Yogyakarta” Jaminan Sri Sultan inilah yang dijadikan titik paling penting keberadaan Republik Indonesia ditengah ancaman serbuan pasukan bersenjata Belanda. Keberangkatan Presiden dan Wakil Presiden dengan Kereta Luar Biasa pada tanggal 4 Januari 1946 menandai perpindahan ibukota Republik dari Jakarta ke Yogyakarta sementara Syahrir ditinggal di Jakarta untuk urusan diplomasi.

Ketika Belanda mengetahui bahwa ibukota republik pindah ke Yogyakarta, mereka bingung dan karena tidak berani melancarkan aksi militer terhadap Yogyakarta, maka mereka membuat sebuah penawaran kepada Sultan yaitu menjanjikan Sri Sultan sejumlah kekuasaan dan kekayaan yang menggiurkan asalkan Sultan bersedia menyerahkan Pemerintahan Republik Indonesia kepada Belanda. Namun yang ada Belanda malah dibuat frustasi akibat Sultan bersikeras tetap berada pada posisi mempertahankan Republik Indonesia.

Pada akhir 1948, tak punya pilihan, Belanda melancarkan serangan licik ke Yogyakarta. Awalnya Belanda mengadakan kerjasama berupa latihan militer bersama TNI sebagai bentuk gencatan senjata. Tapi kemudian, pasukan Van Langen malah bergerak dari Semarang menerobos Yogyakarta dengan operasi Kraai. Sepuluh ribu penerjun payung juga memenuhi langit Maguwo. Lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Yogyakarta diserbu tanpa persiapan dan akhirnya dikuasai. Belanda menamakan aksinya ini sebagai "Aksi Polisional". Di tingkat internasional, Belanda menyebarkan propaganda bahwa Pemerintah RI sudah tidak ada lagi. Presiden dan Wakil Presiden sebagai simbol negara diasingkan. Namun Pemerintahan Darurat RI berhasil dibentuk di Sumatera.

Kurang lebih satu bulan setelah aksi polisional Belanda, TNI merancang strategi untuk melakukan serangan balik terhadap Belanda di Yogyakarta yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya di daerah Yogyakarta dan sekitarnya. Tujuan utama serangan adalah untuk meyakinkan dunia internasional bahwa TNI masih kuat. Maka serangan haruslah diketahui UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan para wartawan asing yang mendiami Hotel Merdeka. Untuk rencana tersebut, dicarikanlah beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Inggris, Belanda dan Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam TNI dan diperintahkan untuk menemui para wartawan asing demi memberitahukan perihal serangan tersebut. Dalam perencanaan serangan besar itu, pejabat-pejabat sipil turut terlibat.

Serangan tersebut atas inisiatif Sri Sultan setelah mendengar dari radio bahwa PBB akan menggelar sidang yang membahas Indonesia. Saat itu, yang memiliki akses saluran radio hanya Sultan. Disitu Sultan ingin membuat kejutan kepada masyarakat internasional lewat SU 1 Maret bahwa akan ada serangan dari TNI terhadap Belanda yang otomatis menyatakan bahwa RI masih kuat. Serbuan didatangkan dari berbagai arah menuju pusat kota Yogyakarta. Dan saat itu diperkirakan bahwa Belanda akan medatangkan bantuan dari kantong-kantong militernya yang kuat yakni Magelang, Semarang dan Solo ketika mengetahui bahwa mereka diserang. Maka sebagian personel dari Divisi III (Divisi yang bertugas menyerang Yogyakarta) ditugaskan untuk menghambat kedatangan pasukan bantuan Belanda dari arah Semarang dan Magelang, sementara Divisi II ditugaskan untuk menghambat militer Belanda dari arah Solo.

Serangan pun dilancarkan tepat pada tanggal 1 Maret 1949 pukul 06.00 pagi saat sirene yang menandakan dimulainya serangan meraung-raung. Masyarakat internasional dikejutkan oleh serangan besar tersebut karena mengira bahwa sebelumnya Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda dengan mudah lantaran TNI tidak ada atau tidak kuat. Mr. Alexander Andries Maramis, yang berkedudukan di New Delhi menggambarkan betapa gembiranya mereka mendengar siaran radio yang ditangkap dari Burma, mengenai serangan besar-besaran TNI terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi Headlines di berbagai media cetak yang terbit di India. Setelah kejadian tersebut, Indonesia memiliki argumentasi kuat yang mendukung bahwa Kekuatan TNI masih bisa diandalkan dan Indonesia berhasil mempermalukan Belanda yang mengklaim bahwa RI sangat lemah.

Tak lama setelah Serangan Umum 1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yang menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI yang paling gemilang karena membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota Solo yang dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat - artileri, pasukan infantri dan komando yang tangguh. Dukungan internasional terhadap Indonesia pun mengalir dan Belanda kalah suara di PBB.  Tanggal 29 Juni 1949, Belanda secara resmi terusir dari Yogyakarta yang menjadi ibukota Indonesia dan dengan demikian maka Indonesia secara praktis telah terbebas dari Belanda.

Tanggal 30 Juni 1949, ibukota Indonesia yakni Yogyakarta benar-benar bebas dari pengaruh Belanda. Maka untuk itu dibuatlah Proklamasi 30 Juni 1949 yang menyatakan kembalinya kekuasaan RI ke tangan Pemerintah Republik Indonesia yaitu di ibukota Yogyakarta. Maka Indonesia saat itu benar-benar merdeka secara de jure maupun de facto.

Substansi Kemerdekaan

Proklamasi kedua NKRI yaitu pada tanggal 30 Juni 1949 merupakan simbol didapatkannya kemerdekaan secara utuh. Sementara Proklamasi 17 Agustus 1945 bukan lahir dalam keadaan formal maupun fakta melainkan hanya pernyataan kemerdekaannya yang mengambil momentum perginya Jepang dari tanah air yang dijemput armada Sekutu. Namun demikian, proklamasi pada 17 Agustus 1945 bukanlah proklamasi semu belaka karena dengan pernyataan tersebut, terintegrasilah semangat seluruh pejuang di tanah air untuk memperjuangkan kemerdekaan. Maka puncak kemerdekaan tersebut adalah sebagaimana dinyatakan pada tanggal 30 Juni 1949 namun sayangnya, proklamasi tanggal 30 Juni ini jarang sekali diungkap.

Namun kini, setelah puluhan tahun Indonesia menyatakan kemerdekaannya, muncul sebuah fakta yang menggelitik. Kolonialisme mentransformasikan wujudnya dari bentuk fisik menjadi bentuk yang lebih bisa diterima entah itu kebijakan, politik dan sebagainya lewat tangan para pemegang kebijakan negeri ini. Melihat kenyataan ini maka penulis menyatakan bahwa perjuangan merebut kemerdekaan belumlah usai dan perjuangan tersebut membutuhkan wujud baru juga untuk menghambat kolonialisme gaya baru ini. Kita perlu melancarkan "serangan umum" bagi kekuatan kolonialisme baru sehingga kemerdekaan benar-benar menjadi milik kita. Setelah benar-benar merdeka, mari kita nyatakan proklamasi lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun