Mohon tunggu...
Muhammad Fadhilah
Muhammad Fadhilah Mohon Tunggu... Freelancer - Mengacak-acak pikiran serta cols.

Kenapa kok bio harus diisi? Tapi jujur, saya masih nyari pacar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manusia Kalah Oleh Ciptaannya

3 September 2019   11:20 Diperbarui: 3 September 2019   11:19 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menurutnya juga, gambar tersebut menunjukkan suatu gelagat kebudayaan operasionalisme. Operasionalisme adalah sebuah alam pikiran yang memandang sesuatu tak lain daripada.....; sukses belajar tak lain daripada yang disebut sebuah buku, bahagia batin tak lain daripada membeli sepatu hypebeast, kebahagiaan manusia tak lain daripada besarnya kekayaan yang ia punya, cinta tak lain daripada persenggamaan, surga tak lain daripada yang disebut-sebut oleh penceramah-penceramah, sukses dunia tak lain daripada arus mainstream yang selama ini terjadi, kelakuan manusia tak lain daripada angka-angka yang tercantum dalam rumusan ekonomi, kepintaran manusia tak lain daripada hasil test ujian nasional, kepintaran mahasiswa tak lain daripada nilai-nilai yang tercantum dalam palawa. Artinya, kebudayaan tersebut meredusir kenyataan, menghilangkan variabel-variabel lain dalam memandang sesuatu, atau bahkan menutup keterbukaan cara pandang manusia. Padahal, keterbukaan tadi merupakan kekuatan fungsionil untuk memecah alam pikiran substansialisme, kekuatan untuk menemukan perhubungan yang tepat antara manusia dan alam. Alhasil, bila keterbukaan itu ditutup, suatu yang beku pun kembali lahir. Maka, bentuk dari hal tersebut berupa merendahkan kenyataan menjadi sebatas angka atau peta-peta saja. Atau dalam bahasa budayanya, ungkap Van Peursen, sesuatu diredusir menjadi imanensi, terkurung dalam operasi-operasi saja, denah-denah saja.

Tak hanya itu, bahayanya dari sikap operasionalistis tersebut adalah apabila denah-denah tadi dimonopoli, dikuasai. Sehingga jangan heran saat kita menyaksikan animasi-animasi yang menerangkan bahwa manusia hanya sebatas robot yang mempunyai alur yang sama setiap hari. Hal tersebut sebetulnya merupakan bentuk kritik terhadap tahap kebudayaan operasionalisme..

Kekuatan-kekuatan untuk menguasai serta memonopoli tersebut seringkali menggunakan kemajuan teknik serta organisasi. Namun hal tersebut bukan berarti bahwa teknik serta organisasi membawa kemunduran bagi peradaban. Bukan. Sesungguhnya, ungkap Van Peursen, ketidakberhasilan kita untuk menemukan hubungan yang tepat terhadap kekuatan-kekuatan tersebut merupakan penyebab terpenjaranya manusia dalam kekuatan yang dihasilkannya sendiri (teknik dan organisasi). Maka itu, pertanyaan dalam rangka menembus dinding tersebut sangatlah diperlukan. Seperti: bagaimana seharusnya kita berhubungan dengan kekuatan-kekuatan tersebut? Dengan puasa? Dengan membentuk kekuatan lain? Dengan meluluhlantakkan kekuatan tersebut? Atau biarkan dulu sampai cum?

Salah satu jalan yang ditawarkan van Peursen adalah melalui pemahaman dan pengamalan akan etika interaksi. Berikut adalah penggambarannya mengenai etika interaksi: pemuda-pemudi resah dengan sifat pendidikan keluarga yang otoriter. Apakah lantas hal tersebut kita tumpas dengan kekerasan? Tentu saja tidak. Dalam rangka kemesraan hubungan, penyelesaian dapat ditemukan dengan mencari kaidah-kaidah yang baru, "aturan permainan" yang baru, nilai-nilai yang berlainan sifatnya. 

Maka dari itu, hal tersebut memiliki arti bahwa pemuda-pemudi tidak lagi berperan sebagai obyek. Melainkan subyek yang dapat ikut serta atau partisipasi dalam seleksi serta pencarian jalan alternatif (kaidah-kaidah) yang tepat. Sehingga terjadilah situasi-situasi yang menggembirakan antar pihak. Meski begitu, bukan berarti slilit-slilit yang mengganjal keindahan hilang begitu saja. Sebuah keadaan ideal harus terus dicari. Menurut Van Peursen, pencarian tersebut akan didapatkan apabila "counter play" atau koreksi terhadap penguasa tidak dibungkam. Meski begitu, partai-partai oposisi pun tak menjamin adanya koreksi yang kreatif dan etis. Sebab seringkali mereka hanya bertindak hanya untuk keuntungan semata.

Seperti masalah mengenai fleksibilisasi perburuhan di Indonesia belakangan ini, hendaklah segera dicari jalan yang tepat dengan mengikutsertakan buruh ataupun serikat buruh dalam perencanaannya. Dengan berpartisipasinya buruh dalam perencanaan, rasa tanggung jawab akan diemban pada masing-masing pihak dan pada gilirannya dapat mempengaruhi iklim positif prestasi dan kegembiraan kerja. Meskipun tuntutan dari IMF ataupun World Bank untuk segera menerapkan beberapa aturan neoliberal yang dilahirkan lewat konsensus Washinton tak bisa dibendung, jalan alternatif tidak pasti tidak akan ditemukan. Lain dari itu, tidaklah etis bila buruh tetap menjadi obyek daripada fungsi-fungsi operasionil para pengusaha belaka. Revolusi akan menjadi tak terelakkan, bila manusia masih saja diperlakukan sebagai kelinci percobaan atau mainan bongkar pasang.

Keterkungkungan kita pada operasionil yang merajalela dapat diterobos dengan menagih pertanggungjawaban atas apa yang kita perbuat. Dalam ungkapannya yang padat, van Peursen mengatakan bahwa manusia harus menguasai bahaya-bahaya yang ia bangkitkan sendiri secara etis, dengan mengadakan perubahan-perubahan politis, sosial dan legislatif (undang-undang perburuhan). Tetapi segala perubahan dan pembaharuan tersebut harus berpangkal pada kesadaran manusia tentang tanggung jawabnya, dan itulah etika. 

Tulisan ini, menggambarkan sebuah petikan ringkasan dari buku yang dibuat van Peursen, Strategi Kebudayaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun