Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pilih Jalan Besar atau Buat Jalan Sendiri?

13 Oktober 2025   16:19 Diperbarui: 13 Oktober 2025   16:19 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berjalan di Jalan Sendiri (ilustrasi AI chat GPT)

Ada dua macam orang di dunia ini: yang memilih mengikuti jalan besar yang sudah ada, sudah ramai, dan ada yang berani membuat jalan baru, jalan kecil, menciptakan arah baru yang belum tentu ada ujungnya. 

Jalan besar tampak aman, lebar, dan penuh petunjuk. Banyak orang berjalan di sana, sehingga langkah terasa pasti. Namun di balik rasa aman itu, sering tersembunyi kehilangan arah pribadi. Langkah mungkin panjang, tapi tanpa alasan yang jelas. Tujuan mungkin tercapai, tapi belum tentu sesuai dengan panggilan hati.

Sebaliknya, ada yang membuat jalannya sendiri, memilih jalan kecil yang sepi dan nyaris tak terlihat. Jalan itu belum banyak dilalui, kadang tertutup semak, dan tak punya tanda arah. Pilihan semacam ini sering dipandang aneh, bahkan dianggap salah langkah. Namun di jalan sunyi semacam itu, setiap langkah menjadi pelajaran, setiap kesalahan menjadi arah baru, dan setiap keheningan menjadi ruang untuk mendengar suara yang lebih dalam dari sekadar keramaian dunia.

Berjalan sendirian membuka mata terhadap hal-hal kecil yang jarang disadari. Daun gugur di tepi jalan, batu kecil yang menghalangi langkah, suara angin yang berubah arah, atau cahaya senja yang menembus celah pepohonan. Hal-hal sederhana itu sering luput dari perhatian mereka yang berjalan di keramaian. Justru di situ, hidup berbisik pelan. Jalan kecil mengajarkan kepekaan. Mengajarkan untuk berhenti sejenak, menunduk, memperhatikan, dan memahami bahwa setiap tanda kecil bisa menjadi petunjuk untuk melangkah.

Kesunyian dalam perjalanan semacam itu sering terasa menakutkan, tetapi juga menumbuhkan. Tak ada peta, tak ada jaminan, hanya keyakinan yang terus diuji oleh waktu. Langkah yang salah menjadi guru. Rasa letih menjadi pengingat untuk kembali menata niat. Setiap jalan yang sepi memberi ruang untuk mengenali arah yang sebenarnya dicari.

Setapak yang dulunya hanya dilewati satu langkah pelan, lama-lama menjadi jalur yang lebih jelas. Rumput mulai rebah, tanah menjadi padat, dan aroma kehidupan baru muncul di sekitarnya. Saat orang lain mulai melangkah di sana, jalan kecil itu berubah menjadi jalan besar. Dari keberanian yang dulu dianggap nekat, lahirlah arah baru bagi banyak orang.

Begitulah asal mula setiap jalan besar. Tak ada jalur yang langsung lebar sejak awal. Semuanya dimulai dari langkah pertama yang berani. Dari seseorang yang memutuskan untuk menempuh arah berbeda, lalu menandai bumi dengan keyakinan. Dari keberanian seperti itulah dunia bergerak maju.

Namun tidak setiap langkah di jalan kecil berakhir dengan penemuan. Kadang langkah yang terlalu jauh membuat seseorang tersesat dalam keyakinannya sendiri. Kadang jalan yang dianggap benar ternyata hanya berputar di tempat. Saat itu, kebingungan muncul, dan perjalanan terasa sia-sia. Tapi sebenarnya, tersesat bukan berarti kalah. Bila arah yang ditempuh ternyata salah, tidak ada salahnya kembali ke jalan besar.

Kembali bukan tanda menyerah, melainkan bentuk kebijaksanaan. Pulang dengan makna baru setelah memahami luasnya dunia yang belum dikenal. Mereka yang pernah menempuh jalan kecil biasanya melihat jalan besar dengan pandangan berbeda. Jalan yang dulu tampak biasa, kini terasa berharga. Ada kesadaran baru dalam setiap langkah. Ada pemahaman tentang arti kebersamaan, pentingnya arah, dan nilai dari setiap pengalaman.

Jalan besar dan jalan kecil sesungguhnya saling membutuhkan. Jalan besar memberi ketertiban, jalan kecil memberi keberanian. Jalan besar menjaga keteraturan, jalan kecil membuka ruang bagi penemuan. Tanpa jalan besar, dunia akan kacau. Tanpa jalan kecil, dunia tak akan pernah berubah.

Hidup adalah keseimbangan antara keduanya. Ada waktu untuk berjalan di jalan besar, dan ada waktu untuk menempuh jalan kecil. Ada masa untuk mengikuti, dan ada masa untuk mencari. Tak semua langkah harus berbeda, tapi juga tak semua harus sama. Yang penting bukan di mana berpijak, melainkan bagaimana setiap langkah dijalani dengan kesadaran.

Banyak yang berjalan di jalan besar tanpa tahu alasan di balik tujuannya. Langkah diambil karena orang lain juga melangkah ke sana. Arah diikuti karena banyak yang mengatakan itu benar. Padahal tanpa kesadaran, bahkan jalan terbesar pun bisa membawa jauh dari diri sendiri. Di sisi lain, ada yang terlalu keras kepala menempuh jalan kecil hingga benar-benar kehilangan arah. Keberanian tanpa arah sama sia-sianya dengan mengikuti tanpa makna.

Yang paling bijak adalah menjadi pejalan yang sadar. Sadar kapan harus berhenti, sadar kapan harus berbelok, dan sadar kapan harus kembali. Setiap jalan, besar atau kecil, memiliki pelajaran tersendiri. Jalan besar mengajarkan kebersamaan, jalan kecil mengajarkan keberanian. Jalan besar menuntun untuk disiplin, jalan kecil mengajarkan untuk peka. Keduanya bukan lawan, melainkan dua sisi dari perjalanan yang sama.

Tersesat bukanlah kegagalan, melainkan bagian dari proses untuk mengenal diri. Kadang diperlukan kesunyian untuk memahami arti kebersamaan. Kadang dibutuhkan kesalahan untuk belajar arah yang benar. Setelah kembali, langkah terasa lebih mantap. Mata melihat lebih jernih. Hati berjalan dengan tenang. Jalan besar pun terasa lebih bermakna setelah mengenal kerasnya jalan kecil.

Setiap orang menempuh jalannya masing-masing. Ada yang berjalan cepat di jalan ramai, ada yang pelan di jalan sepi. Ada yang menikmati hiruk-pikuk kota, ada yang memilih sunyi di pinggiran. Tak perlu membandingkan, karena setiap langkah memiliki waktunya sendiri. Yang penting bukan siapa yang tiba lebih dulu, tetapi siapa yang paling sadar ketika melangkah.

Perjalanan hidup tak selalu lurus dan terang. Kadang jalan yang dianggap benar ternyata berliku, dan jalan yang tampak salah justru membawa ke tempat terbaik. Yang terpenting adalah terus berjalan dengan kesadaran, tanpa kehilangan arah batin.

Dan bila suatu saat tersesat, tidak ada yang salah dengan kembali. Jalan besar selalu terbuka untuk siapa pun yang ingin pulang. Namun setelah kembali, langkah tidak lagi sama. Ada makna baru dalam setiap jejak, ada pandangan baru dalam setiap arah. Jalan besar tetaplah jalan besar, tapi yang melangkah kini bukan lagi pengikut, melainkan pejalan yang telah menemukan arti perjalanan itu sendiri.

Sebab pada akhirnya, bukan lebar atau sempitnya jalan yang menentukan arah hidup, melainkan sejauh mana seseorang memahami makna di balik setiap langkah. Jalan besar dan jalan kecil hanyalah wadah; yang menentukan nilainya adalah kesadaran dalam berjalan. Dan hidup, sesungguhnya, bukan tentang seberapa cepat sampai di tujuan, tapi seberapa dalam mampu mengerti arti setiap persimpangan yang dilewati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun