Langit sore di penghujung musim ini tampak cerah, meski udara dingin terasa menusuk kulit  Sepedaku melaju kencang di jalan raya yang ramai. Klakson kendaraan bersahut-sahutan, deru mesin truk dan motor terdengar riuh, tapi pedal terus dipacu tanpa henti.Â
Nafas berat, keringat menetes di pelipis, namun ada tujuan yang tak boleh gagal: rumah di ujung taman itu.
Hari ini, seorang gadis akan pindah rumah.
Kabar itu baru datang sehari sebelumnya. Dengan wajah datar, gadis itu berkata, "Besok kami pindah." Tidak ada ekspresi berlebihan, seolah semuanya wajar saja. Mendengarnya hanya sempat menjawab singkat, "Jaga dirimu, ya."Â
Padahal hati ingin menyampaikan banyak hal, mulai dari ketidakrelaannya, kekaguman yang sudah lama dipendam, hingga rasa takut kehilangan. Namun kata-kata itu tertahan di ujung lidah. Hanya kalimat hambar yang keluar, seperti sekadar basa-basi.
Kini semuanya terasa terlambat.
Sepanjang jalan, bunga-bunga kosmos tumbuh berjejer di tepi jalan. Warna merah muda dan putihnya biasanya tampak ceria, tapi sore itu justru terlihat kesepian. Seolah-olah mereka ikut memahami kegelisahan yang menyelimuti seorang anak yang sedang mengayuh sepeda dengan terburu-buru.Â
Bunga-bunga itu bergoyang pelan ditiup angin, hanya menjadi saksi dari musim yang berganti, sama seperti manusia yang hanya bisa menyaksikan perpisahan tanpa daya.
Di kejauhan tampak sebuah truk besar berwarna hijau tua. Muatannya penuh dengan perabotan rumah tangga, lemari kayu, meja, kursi, hingga bingkai foto yang pernah menjadi bagian dari rumah lama sang gadis.Â
Truk itu berjalan pelan tapi pasti, seperti hendak membawa pergi semua kenangan yang pernah ada di dalamnya.