Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibrahim Yaacob: Pejuang "Indonesia Raya" dari Malaya

21 September 2025   05:43 Diperbarui: 21 September 2025   06:49 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibrahim Yaacob (sumber gambar: melakahariini.my)

Meski setia pada Sukarno, Ibrahim menolak ide Nasakom. Ia sangat anti-komunis. Karena itu, ketika peristiwa G30S 1965 meletus, ia berpihak pada Suharto untuk menumpas PKI. Sejak itu, jalannya berpisah dengan Sukarno.

Di era Orde Baru, ia bergabung dengan Partai Murba, lalu menjadi anggota Partai Demokrasi Indonesia (PDI) setelah fusi 1970-an. Meski posisinya tidak lagi sebesar dulu, ia tetap menjadi bagian penting dalam dinamika politik Indonesia.

Ibrahim wafat pada 8 Maret 1978 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Ia pergi meninggalkan warisan: sebuah gagasan besar tentang persatuan bangsa-bangsa serumpun.

Warisan dan Relevansi Gagasan Ibrahim

Kini, puluhan tahun setelah kepergiannya, gagasan Indonesia Raya mungkin terdengar utopis. Negara-negara Asia Tenggara telah berdiri sendiri dengan jalannya masing-masing. Namun, spirit yang dibawa Ibrahim tidak pernah benar-benar mati.

Dalam dunia modern, kita mengenal ASEAN sebagai wadah kerja sama regional. Meskipun tidak menyatukan negara secara politik, semangat kebersamaan dan solidaritas yang pernah diperjuangkan Ibrahim terasa sejiwa dengan roh ASEAN. Ia ingin agar bangsa-bangsa serumpun tidak lagi dipecah belah oleh kepentingan asing.

Sejarah mungkin tidak berpihak pada Ibrahim Yaacob. Gagasan Indonesia Raya tidak pernah terwujud. Namun, perjuangannya menunjukkan bahwa mimpi besar layak diperjuangkan meski tampak mustahil.

Referensi:

Abdul Latiff Abu Bakar.(1981). Ibrahim Haji Yaacob: Kegelisahan dan impian seorang pejuang Melayu [Anxiety and dreams of a Malay compatriot]. In Imej dan cita-cita: Kertas kerja Hari Sastera 1980 [Image and aspirations: 1980 Literature Day working paper], pp. 212--237. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka. 

Soh, B. (2005). Ideals without heat: Indonesia Raya and the struggle for Malayan independence. Wacana: Journal of the Humanities of Indonesia, 7(1), 25--45. Diakses dari: https://scholarhub.ui.ac.id/wacana 

Krause, D. (1966). Her national unity and the pan-Indonesian movement. Asian Studies Journal, 4(2), 191--209. Diakses dari: https://www.asj.upd.edu.ph 

Naoki, S. (2001). Conceptualizing the Malay world: Colonialism and pan-Malay identity in Malaya. Kyoto Review of Southeast Asia, Center for Southeast Asian Studies (CSEAS), Kyoto University. Diakses dari: https://englishkyoto-seas.org/2023/04/vol-12-no-1-book-reviews-ooi-keat-gin

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun