Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibrahim Yaacob: Pejuang "Indonesia Raya" dari Malaya

21 September 2025   05:43 Diperbarui: 21 September 2025   06:49 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibrahim Yaacob (sumber gambar: melakahariini.my)

Kemerdekaan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari perjuangan panjang yang ditempa darah, keringat, dan air mata. Namun, tidak semua pejuang lahir dari tanah yang mereka perjuangkan. Ada yang justru datang dari latar belakang berbeda, bahkan dari leluhur yang jauh merantau. 

Salah satu kisah paling menarik dalam sejarah Asia Tenggara adalah perjalanan Ibrahim Yaacob, tokoh yang lahir di Malaya, berdarah Bugis-Wajo dari Sulawesi Selatan, dan berjuang bukan hanya untuk bangsanya, tetapi juga untuk gagasan besar: Indonesia Raya.

Kisah Ibrahim bukan sekadar tentang seorang tokoh politik yang terlibat dalam arus besar sejarah. Ia adalah representasi bagaimana gagasan persatuan bisa melintasi batas geografis, etnis, bahkan negara. Dalam dirinya, terpatri keyakinan bahwa bangsa-bangsa yang tercerai-berai oleh kolonialisme sejatinya berasal dari akar yang sama. Dan karena itu, mereka layak merdeka bersama.

Akar Bugis di Tanah Malaya

Ibrahim lahir pada 27 November 1911 di Pahang, Malaysia. Namun darahnya bukan murni Melayu semenanjung. Ia adalah keturunan Bugis-Wajo dari Sulawesi Selatan, sebuah etnis pelaut ulung yang sejak abad ke-19 sudah banyak merantau ke berbagai wilayah, termasuk Malaya. Para perantau Bugis ini tidak sekadar berdagang, tetapi juga membawa tradisi keberanian, semangat merdeka, dan tekad pantang menyerah.

Sejak kecil, Ibrahim sudah menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat. Setelah itu, ia berkesempatan masuk ke Sultan Idris Training College (SITC), sebuah sekolah guru yang kelak memainkan peranan besar dalam pergerakan nasional Malaya. SITC ini bisa dibilang "STOVIA"-nya Malaya, karena dari sinilah lahir banyak pemimpin nasionalis awal.

Di SITC, Ibrahim tidak hanya belajar ilmu keguruan, tetapi juga menyerap ide-ide politik yang berkembang. Di masa itu, surat kabar dari Indonesia seperti Seruan Rakyat, Pedoman Masyarakat, Pandji Islam, Bintang Islam, hingga Bintang Hindia beredar luas. Lewat bacaan itu, Ibrahim mengenal dunia pergerakan yang sedang tumbuh di Hindia Belanda.

Tak berhenti di situ, Malaya saat itu juga menjadi tempat persembunyian tokoh-tokoh pergerakan Indonesia yang melarikan diri dari Belanda. Nama-nama besar seperti Tan Malaka, Jamaluddin Tamin, dan Alimin sempat singgah di sana. Kehadiran mereka memberi warna dan inspirasi bagi anak-anak muda Malaya, termasuk Ibrahim.

SITC dan Jaringan Pergerakan Indonesia

Tahun 1927 menjadi titik balik penting. Di Bandung, Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI), dan gaungnya sampai ke SITC. Bahkan koran PNI, Fikiran Ra'jat, berhasil masuk ke asrama para siswa. Ibrahim adalah salah satu yang terpapar. Dari koran itu, ia belajar tentang isu-isu politik, sosial, hingga ekonomi.

Lebih jauh lagi, Ibrahim dan beberapa kawan di SITC memutuskan bergabung dengan PNI. Ketika Sukarno ditangkap pada 1929, mereka, sebagai anggota PNI di luar negeri mengirim surat solidaritas. Tak cukup dengan itu, Ibrahim juga sempat bersinggungan dengan Partai Republik Indonesia (PARI), organisasi bawah tanah yang didirikan Tan Malaka.

Di usia muda, Ibrahim sudah terbiasa berjejaring lintas batas. Ia sadar, perjuangan kemerdekaan bukan sekadar urusan satu bangsa, tetapi bagian dari arus besar perlawanan Asia terhadap kolonialisme Eropa.

Kelahiran Kesatuan Melayu Muda (KMM)

Pada 1937, Ibrahim mendirikan Kesatuan Melayu Muda (KMM), organisasi yang berhaluan progresif, anti-feodal, dan anti-kolonial. Lahirnya KMM adalah tonggak penting, karena untuk pertama kalinya kaum Melayu membentuk organisasi politik yang menentang Inggris secara terang-terangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun