Namun menyadari bahwa dunia fana bukan berarti kita harus meninggalkannya. Dunia tetaplah tempat kita berjuang, bekerja, dan berkarya. Dunia adalah ladang, sementara hasil panen akan kita nikmati di kehidupan berikutnya.Â
Kesadaran tentang kefanaan justru seharusnya melahirkan keseimbangan: kita boleh mencintai dunia, tapi jangan sampai diperbudak olehnya. Kita boleh mengejar mimpi, tapi jangan sampai lupa tujuan sejati perjalanan ini.
Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan dan saling berbangga di antara kalian, serta berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak keturunan. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat nanti ada azab yang keras serta ampunan dari Allah dan keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdaya." (QS. Al-Hadid: 20).Â
Ayat ini seakan menjadi penegas bahwa apa yang ditemukan oleh sains modern bukanlah hal baru. Dunia memang indah, tapi ia hanyalah fatamorgana. Ia menyenangkan, tapi sifatnya menipu.
Kesadaran ini membuat kita belajar menghadapi dunia dengan lebih bijak. Kita belajar bersyukur untuk apa yang kita punya, karena tidak ada jaminan semua itu bertahan selamanya.Â
Kita berbuat baik, karena itulah jejak yang akan bertahan lebih lama dari kita. Kita belajar menghadapi kehilangan dengan hati yang lebih tenang, karena kehilangan adalah bagian dari hukum alam.Â
Dunia fana justru mengajarkan kita untuk menghargai detik-detik singkat yang kita miliki. Senyum orang tua, tawa anak-anak, kebersamaan dengan sahabat semuanya hanya sebentar. Maka jangan biarkan kesibukan dan ambisi membuat kita buta pada momen-momen sederhana yang sejatinya berharga.
Pada akhirnya kita akan sadar, dunia ini bukan rumah sejati. Dunia hanyalah persinggahan. Sama seperti seorang musafir yang berhenti sejenak di sebuah perhentian sebelum melanjutkan perjalanan panjangnya, kita pun hanya singgah di dunia sebelum melanjutkan perjalanan menuju keabadian. Kesadaran ini membuat kita tidak lagi terlalu terikat pada dunia.Â
Kita boleh menikmati, boleh meraih mimpi, boleh berusaha setinggi mungkin. Tapi kita tidak boleh lupa, semua ini sementara. Yang sejati adalah apa yang kita bawa pulang: amal baik, ketulusan, doa, dan kasih sayang yang kita tabur.
Sains sudah membuktikan bahwa dunia ini rapuh. Agama sudah lama mengingatkan bahwa dunia ini fana. Lalu, mengapa kita masih begitu keras menggenggamnya?Â
Mungkin sudah saatnya kita belajar melepaskan sedikit demi sedikit. Bukan berarti meninggalkan dunia, melainkan menempatkannya pada posisi yang tepat: sebagai jalan, bukan tujuan. Karena pada akhirnya, dunia ini memang fana. Tapi justru kefanaan itulah yang membuatnya berharga.