Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Pasukan Terate: Tentara Rahasia Tertinggi yang Lahir dari Dunia Hitam

18 Agustus 2025   07:12 Diperbarui: 18 Agustus 2025   07:26 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Bukan Pasukan Terate sebenarnya (Historia.id) 

Tidak semua pejuang tampil dengan seragam gagahnya. Kadang, sejarah mencatat bahwa justru orang-orang dari jalanan, dari sisi gelap kehidupan, ikut menorehkan jejak heroisme yang tak terbayangkan. Itulah kisah tentang Pasukan Terate, barisan yang terdiri dari maling, pencopet, hingga pelacur, namun pernah mengawal Presiden Soekarno dan berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Latar Belakang yang Tak Biasa

Tahun 1945 bukanlah akhir perjuangan bangsa Indonesia. Setelah proklamasi, Belanda tidak begitu saja rela kehilangan jajahan paling kaya di Asia Tenggara. Mereka datang lagi, kali ini bersama Sekutu, dengan senjata yang jauh lebih modern. Indonesia yang masih muda harus menghadapi kenyataan pahit: perang belum berakhir.

Dalam kondisi serba terbatas, militer Indonesia mencari segala cara untuk bertahan. Salah satu tokoh yang berpikir "di luar kebiasaan" adalah Moestopo, seorang dokter gigi yang juga pejuang. Ia sadar, bahwa dalam perang, tidak hanya tentara resmi yang bisa berjasa. Orang-orang yang dianggap "sampah masyarakat" justru punya keahlian unik yang bisa dimanfaatkan. Maka, muncullah gagasan merekrut para pencopet, perampok, hingga pelacur, untuk dijadikan pasukan khusus.

Terbentuknya Pasukan Terate

Pasukan ini dinamai Terate, singkatan dari "Tentara Rahasia Tertinggi". Anggotanya direkrut dari kota-kota besar di Jawa, seperti Surabaya, Yogyakarta, Malang, dan sekitarnya. Mereka bukan prajurit biasa. Mereka adalah orang-orang yang sehari-hari akrab dengan dunia malam, pasar gelap, perjudian, dan rumah pelacuran.

Tugas utama Pasukan Terate bukanlah bertempur di garis depan seperti tentara reguler, melainkan menyusup ke wilayah musuh. Mereka ahli mencuri, jadi bisa dimanfaatkan untuk merampas senjata, amunisi, pakaian, dan perlengkapan lain dari Belanda. Ada pula yang bertugas sebagai pengganggu moral lawan: membuat keributan, menebar ketakutan, bahkan menyebarkan penyakit menular kepada tentara musuh.

Keahlian dari Dunia Hitam

Bila tentara biasa harus berbulan-bulan berlatih strategi, para bandit ini sudah terbiasa bertarung di jalanan. Mereka tahu cara menusuk tanpa suara, tahu lorong-lorong gelap kota, tahu bagaimana meloloskan diri ketika dikejar. Bahkan, mereka memiliki jaringan informasi yang lebih luas daripada militer.

Para pelacur yang tergabung dalam BWP (Barisan Wanita Pelatjoer), diberi tugas khusus: menggali informasi dari tentara Belanda yang berhubungan dengan mereka. Ada yang berhasil mencuri dokumen, ada pula yang dengan sengaja melemahkan semangat tempur musuh lewat penyakit kelamin. Meski terdengar kejam, cara-cara itu efektif membuat Belanda kerepotan.

Senjata Makan Tuan

Namun, Pasukan Terate bukan tanpa masalah. Sering kali mereka bertindak semaunya, tidak disiplin, bahkan kadang merugikan kawan sendiri. Konon, Moestopo sendiri pernah jadi korban copet dari anak buahnya. Ada pula cerita bahwa beberapa pejuang Indonesia tertular penyakit akibat "jajan" dari anggota wanita Pasukan Terate.

Meski begitu, tidak bisa dipungkiri bahwa mereka punya andil nyata. Pasukan Terate terlibat dalam Pertempuran Surabaya, Yogyakarta, hingga penggagalan pendirian Negara Pasundan. Nama mereka tercatat dalam catatan harian Moestopo sebagai kelompok "nyeleneh" yang sekaligus berjasa.

Dari Maling Jadi Pengawal Presiden

Puncak peran Pasukan Terate terjadi pada awal 1946. Saat itu, Jakarta sudah tidak aman lagi bagi Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Teror, serangan, dan ancaman pembunuhan datang dari berbagai arah. Pemerintah pun memutuskan untuk memindahkan ibu kota ke Yogyakarta.

Masalahnya, siapa yang akan mengawal Bung Karno dan Bung Hatta dalam perjalanan penuh bahaya itu? Tentara reguler jumlahnya terbatas. Maka, Sultan Hamengkubuwono IX bersama Moestopo mengambil keputusan berani: mempercayakan pengawalan sebagian kepada Pasukan Terate.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun