Namun, perlu dipahami bahwa masyarakat Tionghoa saat itu tidak seragam dalam hal orientasi politik. Sebagian, terutama mereka yang kaya dan berpendidikan Belanda, cenderung mendukung pemerintah kolonial. Media seperti Kabar Perniagaan pun sering dianggap pro-Hindia Belanda.
Salah satu tokoh yang jarang disebut namun tampil sebagai pejuang integrasi adalah Liem Koen Hian, seorang wartawan dan pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) tahun 1932. Tokoh Tionghoa peranakan seperti Liem Koen Hian mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang tegas menyatakan bahwa masa depan komunitas Tionghoa adalah bersama bangsa Indonesia, bukan lagi pada negeri leluhur di Tiongkok. Sikap ini revolusioner, karena saat itu sebagian komunitas Tionghoa masih memandang diri mereka terikat pada tanah leluhur.
Ia dikenal lantang menyuarakan bahwa Tionghoa di Hindia Belanda tidak seharusnya menutup diri, melainkan ikut serta dalam perjuangan rakyat Indonesia. Liem bahkan menolak gagasan nasionalisme Tionghoa yang kala itu masih kuat, dengan mengatakan bahwa tanah tempat mereka berpijak yakni Indonesia, harus menjadi rumah perjuangan. Sikapnya ini kerap membuatnya dicibir, baik oleh sebagian komunitas Tionghoa maupun penjajah Belanda. Namun sejarah mencatat, ia konsisten mendukung gagasan Indonesia merdeka.
Namun, dinamika internal di kalangan Tionghoa cukup kompleks. Ada ketegangan antara kelompok totok yang merasa lebih “murni” dalam budaya leluhur, dengan kelompok peranakan yang dianggap telah bercampur dengan pribumi. Ketegangan itu semakin diperdalam oleh kebijakan kolonial Belanda yang menerapkan politik divide et impera. Belanda memberi hak-hak istimewa pada etnis Tionghoa, seperti akses perdagangan dan pendidikan, yang membuat kecemburuan sosial semakin kuat. Akibatnya, Tionghoa sering diposisikan sebagai kelompok berbeda, baik oleh pribumi maupun oleh sistem kolonial itu sendiri.
PTI menjadi bukti bahwa etnis Tionghoa ikut memelopori nasionalisme Indonesia. Dalam manifesto politiknya, PTI menyatakan dukungan penuh terhadap kemerdekaan Indonesia dan menolak politik pecah belah Belanda.
Situasi mulai berubah ketika Jepang mengambil alih Hindia Belanda. Pada tahun 1944, Jepang yang mulai terdesak dalam Perang Dunia II melonggarkan kebijakannya di Indonesia. Perdana Menteri Kuniaki Koiso bahkan menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia “di kemudian hari” dalam pidatonya pada 7 September 1944. Walau janji itu lebih bermakna politis, pengumuman tersebut menjadi momentum yang membangkitkan semangat perjuangan.
Sebagai tindak lanjut, Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Maret 1945. Badan ini menjadi forum penting untuk merumuskan dasar negara dan rancangan pemerintahan Indonesia merdeka. Anggotanya terdiri dari 60 tokoh yang mewakili berbagai lapisan masyarakat, termasuk empat tokoh Tionghoa: Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa. Selain itu, ada pula wakil dari Arab (A.R. Baswedan) dan peranakan Belanda (P.F. Dahler). Kehadiran mereka menunjukkan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia sejak awal melibatkan banyak unsur bangsa, bukan hanya pribumi semata.
Dalam sidang-sidang BPUPKI, isu kewarganegaraan menjadi topik penting. Bagaimana status orang-orang keturunan Tionghoa, Arab, atau kelompok lain ketika Indonesia merdeka? Pada 11 Juli 1945, Liem Koen Hian secara tegas menyampaikan aspirasi komunitas Tionghoa di Malang dan Surabaya agar seluruh orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dapat langsung diakui sebagai warga negara. Pernyataan itu menjadi bukti nyata komitmen mereka pada republik yang sedang diperjuangkan.
Surat Kabar dan Literasi Kebangsaan
Sejak awal abad ke-20, kaum Tionghoa di Hindia Belanda bukan hanya pedagang yang sibuk mengurus usaha. Sebagian dari mereka ikut menyerap semangat kebangkitan nasional. Media massa yang mereka dirikan, seperti Sin Po, berperan besar dalam menyebarkan gagasan kebangsaan. Dari koran inilah istilah "Indonesia Raya" dipopulerkan sebelum akhirnya menjadi judul lagu kebangsaan yang kita kenal hingga hari ini. Sin Po bahkan menjadi salah satu media yang berani menuliskan “Indonesia” ketika pemerintah kolonial masih melarang penyebutannya.
Ada juga Kwee Thiam Tjing, seorang penulis yang menggunakan nama pena Tjamboek Berdoeri. Dengan gaya satire dan humor tajam, ia menyerang kebijakan kolonial serta rasisme yang mengakar di masyarakat. Tulisan-tulisannya di koran Matahari menjadi semacam “senjata intelektual” yang menyadarkan banyak orang bahwa kemerdekaan bukan hanya tentang mengusir penjajah, tetapi juga menegakkan kesetaraan.
Kontribusi lain yang sangat penting adalah dunia pers. Tokoh seperti Kwee Hing Tjiat menulis artikel-artikel yang berpengaruh dalam membangkitkan kesadaran nasional. Surat kabar Tionghoa peranakan tidak hanya membahas isu komunitas mereka, tetapi juga perjuangan bangsa secara luas.