Malam 1 Suro, atau 1 Muharram dalam kalender Hijriah, menjadi salah satu malam paling sakral dalam tradisi budaya dan spiritualitas masyarakat Jawa.Â
Di Solo, tepatnya Kraton Kasunanan Surakarta tradisi ini dihidupkan dalam bentuk Kirab Pusaka Keraton Surakarta, yang setiap tahunnya diselenggarakan dengan khidmat dan penuh makna.Â
Kirab ini tak hanya memanggungkan benda-benda pusaka keraton, tetapi juga menghadirkan satu sosok istimewa yang menjadi ikon dan cucuk lampah kirab: Kebo Bule Kyai Slamet.
Sejarah Panjang Kebo Bule Kyai Slamet
Asal-usul kehadiran kerbau bule dalam tradisi Keraton Surakarta tidak bisa dilepaskan dari sejarah masa pemerintahan Paku Buwono II.Â
Dikisahkan, saat raja Kartasura itu mengalami krisis akibat peristiwa Geger Pecinan pada 1742, beliau mencari tempat dan kekuatan baru untuk membangun keraton pengganti. Dalam pelariannya ke Ponorogo, beliau diterima oleh ulama besar Kiai Hasan Besari dari Pesantren Tegalsari.
Sebagai bentuk penghormatan, Kiai Hasan Besari menghadiahkan dua benda: sebuah tombak pusaka bernama Kyai Slamet, dan kerbau albino atau kerbau bule. Kedua benda ini menjadi simbol kekuatan spiritual dan keselamatan.Â
Sang kerbau kemudian menyertai perjalanan raja dan berhenti di tempat yang kini menjadi lokasi Keraton Surakarta. Sejak saat itu, kerbau ini dianggap sebagai penjaga pusaka dan lambang spiritual keraton.
Nama "Kyai Slamet" yang disematkan pada kerbau ini bukanlah sembarangan. Selain sebagai penghormatan, nama ini juga bermakna harapan atas keselamatan dan kemakmuran.
Dibangun oleh Mitos, Dihidupkan oleh Tradisi
Kerbau Kyai Slamet tumbuh besar bersama mitos yang menyebar dari mulut ke mulut. Di masyarakat, ia dipercaya membawa keberkahan dan keselamatan.Â
Bahkan, ada warga yang rela memungut kotorannya karena diyakini dapat mendatangkan rezeki. Meskipun terlihat irasional, ini adalah wujud keyakinan spiritual yang kuat dalam budaya Jawa.