Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Dulu Jepang Pernah Belajar dari Indonesia, Kini Indonesia Harus Belajar dari Jepang

12 Juni 2025   00:09 Diperbarui: 13 Juni 2025   08:11 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Klub Arseto Solo yang bermain di Galatama (Dok. Facebook Arseto Solo) 

Kekalahan telak Timnas Indonesia dari Jepang dengan skor 6-0 dalam lanjutan ronde ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia bukan sekadar kekalahan di atas kertas. 

Ia adalah tamparan keras yang menggugah kesadaran bahwa sepak bola kita masih tertinggal jauh, bukan hanya dari segi teknik, tapi juga dari cara berpikir dan membangun sistem.

Tim Samurai Biru tampil rapi, disiplin, dan sangat tenang. Mereka tidak sekadar bermain bola, tapi juga memperlihatkan buah dari pembinaan yang matang dan berkelanjutan. 

Skor besar itu menjadi cermin tajam: kita tidak hanya kalah di lapangan, tapi juga kalah dalam menyiapkan masa depan sepak bola.

Jepang, dari Lemah Menjadi Raja Asia

Ketua Umum PSSI, Erick Thohir bersama dengan Presiden JFA Tashima Kohzo (Dok. JFA) 
Ketua Umum PSSI, Erick Thohir bersama dengan Presiden JFA Tashima Kohzo (Dok. JFA) 

Kini Jepang adalah raksasa sepak bola Asia. Mereka bukan sekadar kuat, tapi juga stabil dan konsisten. Di bawah naungan JFA (Japan Football Association), Jepang telah empat kali menjuarai Piala Asia (1992, 2000, 2004, dan 2011). Kini mereka menduduki peringkat ke-15 dunia FIFA, lebih tinggi dari negara-negara seperti Senegal, Polandia, bahkan Korea Selatan.

Sejak debut di Piala Dunia 1998, Jepang tak pernah absen dari panggung tertinggi sepak bola dunia. Mereka telah empat kali menembus babak 16 besar, prestasi yang bahkan belum pernah bisa dicapai Indonesia.

Namun, siapa sangka, Jepang yang kita lihat hari ini pernah datang ke Indonesia untuk belajar.

Baca Juga: Analisis Kekalahan Telak: Ketika Indonesia Dibongkar Habis oleh Jepang

Dari "shūkyū" ke J.League: Visi yang Tak Main-Main

Awalnya, sepak bola di Jepang dikenal sebagai shūkyū, sebuah permainan sederhana yang dimainkan oleh para pegawai perusahaan seusai kerja. Belum ada gemerlap stadion, belum ada sistem liga profesional. Tapi Jepang punya satu hal yang mahal: kemauan untuk belajar.

Pada 1960-an, mereka mengirim delegasi ke Jerman Barat untuk mempelajari rahasia kesuksesan tim Jerman di Piala Dunia 1954. Mereka tak gengsi berguru, karena sadar bahwa untuk maju, perlu meniru yang terbaik. Hasilnya langsung terasa. Jepang tampil di Olimpiade Tokyo 1964, dan tak lama kemudian, mendirikan Japan Soccer League (JSL) sebagai tonggak awal sistem kompetisi nasional.

Logo J.League Soccer (J.League.co) 
Logo J.League Soccer (J.League.co) 

Visi mereka sangat jelas: liga adalah fondasi masa depan sepak bola. Maka pada 1980-an, JSL mulai bertransformasi menjadi liga semi-profesional. Mereka membenahi manajemen klub, meningkatkan standar pertandingan, dan perlahan menarik sponsor besar masuk.

Yang menarik, dalam proses reformasi JSL ini, JFA (Japan Football Association) tidak hanya melihat ke Eropa. Mereka juga belajar dari Indonesia. Ya, Galatama---liga semi-profesional Indonesia yang berdiri sejak 1979---menjadi salah satu referensi penting. Saat itu, Galatama sudah mempekerjakan pemain asing, memiliki struktur manajemen yang modern, dan berani membuka diri terhadap dunia luar. Sebuah ironi, mengingat kini kita justru tertinggal jauh.

Berbekal ilmu dari berbagai penjuru, JSL terus tumbuh. Investasi mulai mengalir, pemain asing mulai berdatangan, dan publik mulai terlibat. Hingga pada 1993, Jepang meluncurkan J.League, liga profesional penuh yang mengadopsi model Bundesliga, dengan klub-klub berbasis perusahaan di setiap prefektur.

Inilah tonggak sejarah: dari permainan pegawai kantor, sepak bola Jepang menjelma menjadi kekuatan profesional yang disegani. Semua dimulai dari satu langkah sederhana: keberanian untuk belajar dan kemauan untuk berubah.

Jepang Pernah Berguru ke Indonesia

Pada akhir 1980-an, Jepang belum menjadi kekuatan sepak bola seperti sekarang. Klub-klubnya masih semiprofesional. Pemain diambil dari pegawai perusahaan. Matsushita, cikal bakal Gamba Osaka, adalah contohnya. Mereka belum memiliki sistem kompetisi yang mapan seperti hari ini.

Dalam masa-masa transisi itu, Jepang mengirim delegasinya ke Indonesia. Mereka belajar dari Galatama. Liga Sepak Bola Utama Indonesia yang berdiri sejak 1979. Galatama saat itu merupakan liga semi-profesional pertama di Asia. Klub seperti Arseto Solo, Krama Yudha Tiga Berlian, dan Pelita Jaya dikenal berani mengontrak pemain asing dan menerapkan manajemen klub yang modern.

Klub Arseto Solo yang bermain di Galatama (Dok. Facebook Arseto Solo) 
Klub Arseto Solo yang bermain di Galatama (Dok. Facebook Arseto Solo) 

Legenda Indonesia, Ricky Yacobi, adalah saksi sejarahnya. Dalam wawancaranya dengan Jawa Pos, ia menyebut bahwa delegasi Jepang secara khusus mempelajari sistem pembinaan usia dini, manajemen klub, serta cara Galatama menjalin kemitraan dengan perusahaan.

Jepang tidak hanya mencatat, mereka mengadaptasi. Pada 1993, Jepang meluncurkan J-League sebagai liga profesional penuh. Tapi mereka tak berhenti di situ. Mereka membuat Grand Design pembangunan sepak bola selama 100 tahun dengan target menjuarai Piala Dunia pada 2092. Fantastis, namun terencana.

Baca Juga: Bagaimana Serial Captain Tsubasa Menginspirasi Sepak Bola Jepang?

Sekolah dan Kampus Jadi Fondasi Pembinaan

Inilah perbedaan paling mencolok antara Jepang dan Indonesia: mereka tidak meninggalkan dunia pendidikan dalam membangun sepak bola. Justru sekolah dan universitas menjadi tulang punggung sistem pembinaan.

All Japan High School Tournament disaksikan banyak penonton di Stadion (X/@gilabola_ina) 
All Japan High School Tournament disaksikan banyak penonton di Stadion (X/@gilabola_ina) 

Turnamen antar-SMA di Jepang ini sangat bergengsi. Beberapa pertandingan bahkan disiarkan langsung di televisi nasional dan disaksikan puluhan ribu penonton. Ini bukan hanya soal popularitas, tapi tentang menciptakan ekosistem persaingan yang sehat sejak dini.

Pemain seperti Keisuke Honda adalah produk sistem ini. Ia gagal masuk akademi Gamba Osaka, tapi bangkit dari sekolah SMA Seiryo. Setelah itu, karier profesionalnya melonjak hingga Eropa.

Di level universitas, pembinaan bahkan lebih serius. Banyak pemain timnas Jepang yang bukan berasal dari akademi klub, melainkan dari jalur kampus. Dua contoh mutakhir adalah Kaoru Mitoma dan Kyogo Furuhashi.

Mitoma, yang kini bersinar di Brighton & Hove Albion, bahkan menolak masuk tim utama Kawasaki Frontale pada usia 19 tahun karena memilih menyelesaikan kuliah di Universitas Tsukuba. Ia belajar soal kepelatihan, gizi olahraga, hingga biomekanika sepak bola. Ia bahkan menulis skripsi tentang teknik menggiring bola.

Mitoma bukan hanya pemain berbakat. Ia ilmuwan sepak bola. Dan ini hanya mungkin terjadi dalam sistem yang menghargai pendidikan dan memberi waktu bagi pemain muda untuk berkembang.

Indonesia: Tertinggal Karena Gagal Menyambung Sistem

Sementara Jepang mengembangkan sistem sepak bolanya dengan mengintegrasikan sekolah, klub, dan pendidikan tinggi, Indonesia justru gagal menjaga warisannya. Galatama, yang dulu menginspirasi Jepang, bubar karena masalah internal: konflik federasi, minimnya pembinaan, dan skandal suap.

Setelah Galatama bergabung dengan Perserikatan pada 1994 dan menjadi Liga Indonesia, profesionalisme yang diharapkan tak pernah benar-benar tumbuh. Banyak klub yang masih belum siap profesional dan mandiri. Pembinaan usia dini sporadis. Kompetisi pelajar dan kampus nyaris mati suri.

Kita kehilangan arah, sementara Jepang melaju.

Kini Kita Berguru Kembali

Tiga dekade lalu Jepang belajar dari Indonesia. Hari ini, Indonesia yang belajar dari Jepang.

Pada tahun 2023, PSSI menandatangani MoU dengan JFA (Japan Football Association). Kerja sama ini mencakup benchmarking liga, pembangunan lapangan latihan, pengembangan sepak bola putri, dan perwasitan. Bahkan, wasit dari Jepang didatangkan untuk memimpin laga Liga 1, langkah darurat akibat buruknya kualitas wasit lokal.

Kerja sama ini memang patut diapresiasi. Tapi ia juga menunjukkan betapa kita kini tertinggal sangat jauh. Dulu Jepang datang ke sini membawa catatan, kini kita datang ke Jepang membawa harapan.

Membenahi dari Akar

Sepak bola bukan hanya soal talenta. Ia adalah soal sistem. Dan sistem tak bisa dibangun dalam semalam.

Kita bisa mulai dari sekolah. Jadikan sepak bola sebagai bagian dari kurikulum pendidikan jasmani yang lebih bermakna. Hidupkan kembali kompetisi pelajar seperti POPDA dan Liga Pelajar. Dorong kampus untuk membentuk tim yang serius, bahkan menjalin kerja sama dengan klub profesional.

Indonesia tak kekurangan talenta. Tapi kita kekurangan jalan yang konsisten. Terlalu banyak pemain muda yang "hilang" di usia transisi karena tidak ada jembatan antara bakat dan profesi.

Kita juga harus serius melatih pelatih. Jepang punya ribuan pelatih bersertifikat AFC dan UEFA. Mereka dididik bukan hanya untuk melatih, tapi juga membina karakter dan mengembangkan sains olahraga.

Sepak bola Jepang hari ini adalah hasil dari kesabaran, konsistensi, dan keterbukaan untuk belajar. Mereka tidak malu belajar dari Indonesia, dari Brasil, dari Eropa. Tapi yang membuat mereka berhasil adalah karena mereka menyalin dengan sungguh-sungguh, lalu mengembangkannya. 

Pertanyaannya bukan lagi bisakah Indonesia seperti Jepang. Tapi maukah kita menempuh jalan yang sama panjang dan terjalnya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun