Kekalahan telak Timnas Indonesia dari Jepang dengan skor 6-0 dalam lanjutan ronde ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia bukan sekadar kekalahan di atas kertas.Â
Ia adalah tamparan keras yang menggugah kesadaran bahwa sepak bola kita masih tertinggal jauh, bukan hanya dari segi teknik, tapi juga dari cara berpikir dan membangun sistem.
Tim Samurai Biru tampil rapi, disiplin, dan sangat tenang. Mereka tidak sekadar bermain bola, tapi juga memperlihatkan buah dari pembinaan yang matang dan berkelanjutan.Â
Skor besar itu menjadi cermin tajam: kita tidak hanya kalah di lapangan, tapi juga kalah dalam menyiapkan masa depan sepak bola.
Jepang, dari Lemah Menjadi Raja Asia
Kini Jepang adalah raksasa sepak bola Asia. Mereka bukan sekadar kuat, tapi juga stabil dan konsisten. Di bawah naungan JFA (Japan Football Association), Jepang telah empat kali menjuarai Piala Asia (1992, 2000, 2004, dan 2011). Kini mereka menduduki peringkat ke-15 dunia FIFA, lebih tinggi dari negara-negara seperti Senegal, Polandia, bahkan Korea Selatan.
Sejak debut di Piala Dunia 1998, Jepang tak pernah absen dari panggung tertinggi sepak bola dunia. Mereka telah empat kali menembus babak 16 besar, prestasi yang bahkan belum pernah bisa dicapai Indonesia.
Namun, siapa sangka, Jepang yang kita lihat hari ini pernah datang ke Indonesia untuk belajar.
Baca Juga: Analisis Kekalahan Telak: Ketika Indonesia Dibongkar Habis oleh Jepang
Dari "shūkyū" ke J.League: Visi yang Tak Main-Main
Awalnya, sepak bola di Jepang dikenal sebagai shūkyū, sebuah permainan sederhana yang dimainkan oleh para pegawai perusahaan seusai kerja. Belum ada gemerlap stadion, belum ada sistem liga profesional. Tapi Jepang punya satu hal yang mahal: kemauan untuk belajar.