Mohon tunggu...
Muharika Adi Wiraputra
Muharika Adi Wiraputra Mohon Tunggu... welcome my friend

memayu hayuning bawana

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Petani Kian Langka, Saatnya Ubah Narasi Petani demi Masa Depan Pangan

14 Mei 2025   22:11 Diperbarui: 18 Mei 2025   10:09 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petani. (SHUTTERSTOCK/HAPPYSTOCK)

Bila berjalan menyusuri pematang sawah di pagi hari di desa-desa, akan tampak satu pemandangan yang mengundang renungan: siapa yang mengolah tanah itu? Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang tua, rambutnya sudah pada memutih, Jarang sekali terlihat pemuda di sana. Bahkan hampir tidak ada.

Fenomena ini bukan sekadar pandangan kasat mata, melainkan kondisi nyata. Melansir Goodstats (2023), data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga petani di Indonesia terus menyusut dari tahun ke tahun. Pada 2013 tercatat sekitar 31,2 juta rumah tangga petani, dan pada 2023 jumlah itu turun drastis menjadi hanya sekitar 27 juta.

Penurunan ini tidak bisa dilepaskan dari menyempitnya lahan pertanian, meningkatnya urbanisasi, serta beralihnya minat generasi muda dari dunia pertanian ke sektor-sektor lain yang dinilai lebih prospektif dan menjanjikan masa depan yang lebih pasti. 

Apalagi tidak semua orang kini masih memiliki lahan. Banyak keluarga yang terpaksa menjual tanah warisan mereka, ada yang karena mendesak kebutuhan ekonomi, ada pula yang menjadikannya bekal untuk membiayai pendidikan anak, atau karena tanahnya digusur untuk proyek perumahan, pabrik, dan jalan tol.

Bukan hanya jumlah yang menyusut, usia petani kita juga makin menua. Riset Bank Dunia menyebutkan bahwa rata-rata usia petani Indonesia telah mencapai 45 tahun dan berpotensi menyentuh angka 50-60 tahun dalam waktu dekat. Ini bukan sekadar angka statistik. Ini adalah alarm darurat tentang masa depan pertanian nasional.

Di Indonesia, profesi petani kerap kali ditempatkan dalam bayangan yang keliru. Bukan karena pekerjaannya tidak penting, tetapi karena cara pandang masyarakat terhadap dunia pertanian sudah telanjur sempit. Petani sering dianggap sebagai 'pilihan terakhir', bukan cita-cita masa depan. Padahal, tanpa mereka, dapur bangsa bisa lumpuh. Namun persepsi semacam itu tertanam sejak dini, bahkan oleh lingkungan terdekat.

Mengapa Anak Muda Tak Lagi Mau Bertani?

Pertanyaan ini sering kali muncul dalam banyak diskusi. Tapi mari kita jujur. Ada alasan kuat mengapa bertani tak lagi menarik di mata generasi muda.

Pertama, ketidakpastian pendapatan. Petani bekerja sangat keras: dari mencangkul, menanam, merawat, memanen, hingga menjual hasil panen. Tapi penghasilannya tetap fluktuatif dan seringkali tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Harga pupuk dan benih naik, sementara harga jual hasil panen tetap rendah karena dikendalikan tengkulak. Tak sedikit petani yang akhirnya hanya pasrah dengan sistem yang tidak adil ini.

Kedua, status sosial yang dianggap rendah. Di banyak tempat, menjadi petani tidak dianggap sebagai pekerjaan yang membanggakan. Orang tua pun lebih bangga jika anaknya menjadi ASN, kerja di bank, atau menjadi tenaga kerja migran di luar negeri. Petani hanya dijadikan "opsi terakhir", bukan pilihan utama. Padahal, tanpa petani, dari mana nasi di piring kita berasal?

Ketiga, perubahan gaya hidup dan urbanisasi. Anak-anak petani kini lebih memilih merantau ke kota dan mencari pekerjaan di sektor jasa atau industri. Mereka tak ingin lagi bergelut dengan lumpur, panas matahari, dan ketidakpastian hasil panen. Desa-desa kehilangan tenaga mudanya, dan sawah-sawah pun mulai berubah fungsi menjadi perumahan atau kawasan industri.

Anak-anak desa tumbuh dengan nasihat: kalau ingin sukses, sekolah tinggi, cari kerja kantoran, pindah ke kota. Mereka tidak diajarkan untuk bangga jika kelak menjadi petani seperti orang tuanya. Sekolah-sekolah jarang memberikan ruang bagi pertanian sebagai bidang yang menjanjikan. Akibatnya, regenerasi petani pun tersendat. Bukan karena anak muda tidak peduli, tapi karena mereka merasa tidak diberikan alasan yang cukup untuk bertahan di jalur pertanian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun