Setiap goresan pada wayang memiliki makna. Warna, motif, dan posisi tiap bagian mengandung simbol filosofis kehidupan. Dalam membuat wayang Guwarsa dan Janaka misalnya, murid diajak memahami nilai-nilai keberanian, kesucian hati, dan keteguhan pendirian. Tidak hanya seni, tapi juga pendidikan karakter.
Hal inilah yang sering dilupakan dalam pendidikan formal. Bahwa kearifan lokal punya kekuatan besar dalam membentuk manusia utuh. Dan Sanggar Marwanto telah membuktikan bahwa pendidikan berbasis budaya bisa membentuk karakter yang kuat, bukan hanya keterampilan teknis.
Menjaga yang Tak Terlihat
Wayang kulit adalah warisan tak benda yang diakui UNESCO. Tapi penghargaan dunia tidak akan ada artinya jika di negeri sendiri, ia diabaikan.Â
Sanggar Wayang Marwanto mengingatkan kita bahwa menjaga budaya bukan tugas pemerintah semata, tapi juga masyarakat. Bukan lewat proyek besar-besaran, tapi lewat ketekunan sehari-hari.
Pak Marwanto tidak digaji negara. Tapi jasanya mungkin lebih besar dari banyak pejabat. Ia tidak hanya melahirkan wayang, tapi juga melahirkan manusia-manusia yang mencintai budayanya sendiri.
Penutup
Dari ruang kecil di Sonorejo, Sukoharjo, Pak Marwanto menyungging lebih dari sekadar wayang. Ia menyungging harapan. Harapan bahwa budaya kita masih bisa bertahan, bahkan berkembang, asalkan ada cinta dan ketekunan.
Wayang boleh bayangan, tapi dari balik layar, justru kita melihat cahaya: bahwa bangsa ini masih punya akar, dan orang-orang seperti Marwanto adalah penjaga akar itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI