Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ekoteologi Moloku Kie Raha: Etika Lingkungan Empat Kesultanan Maluku Utara

1 Desember 2020   03:01 Diperbarui: 1 Desember 2020   04:19 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Upacara-Pesta-Sastra : Sebuah Ikhtiar Menjaga

Seperti tersebut di atas, hubungan masyarakat empat kesultanan Malut dengan Tuhan, Sang Pencipta, sesama manusia dan alam terjaga melalui upacara/ritual, baik terkait pemerintahan (pergantian Sultan), kehidupan sosial-agama (pernikahan, kedukaan, kelahiran, masuk rumah), maupun pelestarian lingkungan (musibah/bencana alam, syukuran panen). Upacara adat merupakan sebuah tradisi yang tidak lepas dari kehidupan masyarakat tersebut. Semisal, di Kesultanan Tidore terdapat banyak upacara adat berkaitan dengan pengelolaan SDA, dari pemanfaatan hasil-hasil hutan sebagai bahan upacara mandi adat (Hogo Jako dan Cako Seruko), menginjak tanah (Joko Hale[55]), pelestarian lokasi tempat pemujaan (Paca Goya[56]), syukuran lingkungan dan lembah (Legu Duo), dan sebagainya[57].

Menurut Hairudin Saifuddin, masyarakat Kesultanan Jailolo mengekspresikan hubungannya dengan alam dan Tuhan dalam bentuk gerakan (tari) dan perbuatan (ziarah). Setiap gerakan (tari) ada simbol/makna, semisal Tari Legu sebagai bentuk kritik bala (rakyat) kepada Sultan. Ziarah dilakukan dalam hajatan besar, seperti sigofi ngolo, maupun dalam perayaan keagamaan Islam, seperti kololi jiko. Sigofi ngolo selain wujud kegiatan 'bebersih laut' juga menyiratkan makna sebagai bentuk permintaan ijin (siloloa) kepada leluhur, sehingga jika tidak dilakukan sigofi ngolo, maka sebuah hajatan bisa gagal atau ada hambatan[58].

Adanya wabah atau bencana alam menjadi salah satu faktor penting penyelenggaraan upacara adat tersebut. Menurut Jo Mayor Iskandar Dano Abdullah, jika ada wabah (insidentil) maka akan diadakan ritual Sigafi Gam, berjalan keliling kampung/thawaf sembari dzikir dan berhenti di satu titik untuk berdoa. Selanjutnya, menurut Jo Mayor (kerabat Sultan Jailolo sekaligus pengawal pribadi), kegiatan sigafi gam biasanya dirangkaikan dengan kerja bakti dan doa. Bagi masyarakat kesultanan, wabah atau bencana alam muncul dikarenakan ada pelanggaran boboso (Ternate, Jailolo, Tidore) ataupun sasi (Bacan) sehingga perlu upacara berupa doa tolak bala. Guna mencegah bencana alam, menurut Ofa Nuzuluddin M.Sjah, Kesultanan Ternate pun menyelanggarakan upacara adat berupa fere kie (naik gunung), kololi kie (keliling gunung lewat laut maupun darat) dan ziarah karamat (jere) dengan membaca doa/wirid penjagaan alam[59]. 

Selain upacara adat secara sederhana oleh kesultanan maupun masyarakat adat, seiring perkembangan zaman, beberapa acara adat tersebut dikemas dalam sebuah pesta atau festival atau program pemerintah. Terlebih, di era otonomi daerah, keberadaan empat kesultanan Malut mulai didukung pemerintah daerah (Pemda) dengan mengakomodasi upacara dan tradisi adat kesultanan sebagai bagian promosi pariwisata daerah. Semisal, pemda Halmahera Barat mulai mengangkat tradisi gerak (tari) dan upacara adat jikofi ngolo sebagai salah satu rangkaian Festival Teluk Jailolo. Kesultanan Ternate pun mulai menyelenggarakan pesta rakyat Legu Gam yang salah satu rangkaian acaranya kololi kie dengan dukungan Pemerintah Kota Ternate dan Provinsi Maluku Utara. Peringatan Hari Jadi Tidore, bukan pembentukan Pemerintah Kota Tidore Kepulauan, pun melibatkan Kesultanan Tidore. Tahun 2013, Kota Ternate mendapatkan Adipura[60] dari Presiden, salah satunya dari program pemuliaan/penyelamatan air sebagai bagian tradisi Kesultanan Ternate[61]. Menurut Ofa Nuzuluddin M.Sjah, air bukan sekadar penunjang kehidupan tetapi sumber kemuliaan[62].  

Sejatinya, adanya upacara adat maupun pesta/festival tersebut merupakan bentuk upaya empat kesultanan tersebut menjaga kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya atau etika lingkungan kesultanan. Setiap upacara dan pesta adat tak lepas dari doa (wicara hati-lisan), isyarat maupun gerak (individu maupun komunal), bertujuan menjaga harmoni hubungan organis antara Tuhan ataupun Realitas Agung, manusia dan alam. Meski  dalam upaya penjagaan tersebut, masih menyisakan dilema (masalah) bagi kesultanan, seperti di Kesultanan Jailolo. Menurut Jo Mayor Iskandar D. Abdullah, meski di satu sisi FTJ mengangkat beberapa tradisi kesultanan, seperti jikofi ngolo, tapi di sisi lain FTJ membenturkan adat kesultanan dengan budaya kontemporer. Beberapa gerakan (tarian kontemporer) yang ditampilkan pada FTJ menimbulkan kontradiksi antara seni dan syariat (ajaran agama Islam), karena keyakinan masyarakat kesultanan bahwa 'setiap gerakan ada simbol/makna'[63].

Selanjutnya, menurut Ibnu Tufail Iskandar Alam, Kesultanan Bacan dalam menerapkan sasi sebagai bentuk etika lingkungan, pun mengalami kendala empat hal[64]. Pertama, kian meningkatnya heterogenitas/kemajemukan masyarakat di bawah Kesultanan Bacan terutama adanya masyarakat pendatang dan tidak paham konsep sasi. Kedua, makna sasi hampir tergerus di satu tempat/wilayah dikarenakan kondisi wilayah tersebut yang jauh dari pusat/ kesultanan. Ketiga, sasi masih harus berhadapan dengan aturan-aturan pemerintah yang belum memberikan keleluasaan peran masyarakat untuk berusaha di kawasan ulayat (hutan adat). Keempat, adanya cara pandang (gaya hidup) generasi muda setempat yang menuntut pendidikan tinggi, dan tanpa filter sehingga mulai meninggalkan nilai-nilai sasi.  

Namun, selain upacara dan pesta tersebut, satu upaya pelestarian etika lingkungan menurut empat kesultanan di Maluku Utara adalah melalui sastra lisan ataupun sekadar ungkapan/pepatah lisan disampaikan kepada anak-cucu, generasi muda. Semisal, pada masyarakat Jailolo, ketika seorang anak akan mandi di sungai, maka orang tua berpesan tentang adanya mitos/boboso di sungai tersebut, sehingga sang anak akan berlaku sopan dan minta ijin (siloloa) kepada 'Tuan/Penunggu' sungai tersebut. Hal ini pun berlaku bagi masyarakat di wilayah kesultanan Bacan, Jailolo dan Ternate.

Bahkan, di Kesultanan Ternate ada sebuah tradisi sastra lisan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian ajaran-ajaran nenek moyang, termasuk kearifan lokal Kesultanan, yakni Dola Bololo/Dorobololo, Dalil Tifa, Dalil Moro, Rorasa (Bobaso se Rasai), dan sebagainya[65]. Dola Bololo atau Dorobololo adalah sepotong ungkapan terdiri dari dua bait, pernyataan perasaan dan pendapat seseorang dalam bentuk sindiran dan tamsilan. Dalil Tifa berbentuk peribahasa, merupakan pernyataan pendapat umum (warisan leluhur) bersifat petunjuk dan nasihat, diungkapkan dalam bentuk dalil yang isinya bersifat keagamaan (nilai religius). Dalil Moro hampir sama dengan Dalil Tifa, hanya kandungan/isinya bernilai nasihat kehidupan duniawi. 

Selanjutnya, Rorasa (Bobaso se Rasai) bentuk lisan berfungsi dalam kehidupan masyarakat, syair berbentuk pernyataan perasaan, nasihat serta petunjuk. Penyajiannya dilakukan pada acara/upacara seremonial tertentu, terutama upacara adat. Rorasa merupakan prakata pada upacara adat, dan penyajiannya harus disampaikan oleh pemuka adat atau agama. Rorasa dilakukan pada acara/upacara seperti: pelantikan sultan, sidego/sinonako, penerimaan tamu agung/Joko Kaha, upacara perkawinan, jamuan makan adat, upacara penguburan sultan, dan upacara adat lainya[66].

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun