Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ekoteologi Moloku Kie Raha: Etika Lingkungan Empat Kesultanan Maluku Utara

1 Desember 2020   03:01 Diperbarui: 1 Desember 2020   04:19 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Etika Lingkungan Empat Negeri Basudara

Menurut Kusumasumantri, dalam sejarah konservasi di Nusantara, peran Sultan dan Raja pada zaman pemerintah Hindia Belanda (1920--1938) cukup penting dalam penunjukan kawasan konservasi dan pelestarian jenis, selain para ilmuwan naturalis Belanda[33]. Semangat kesadaran pentingnya perlindungan (konservasi) tersebut bertujuan untuk pertimbangan kemaslahatan di bagian-bagian wilayahnya berpotensi tumbuhan dan satwa unik dan langka untuk mendapatkan perlindungan yang lestari. Selanjutnya, penunjukan kawasan konservasi di luar Jawa dalam peraturan perundangan pada waktu itu dikenal dengan istilah "ZB" (Zelfbestuur Besluit) merupakan surat keputusan bersifat otonomi, diterbitkan oleh tingkat pemerintahan, diwakili oleh gubernur dan raja yang diberi kewenangan untuk menerbitkan surat keputusan dalam menunjuk kawasan konservasi[34].

Menurut data peta Kusumasumantri, wilayah Malut (dan sebagian Indonesia Timur) masuk dalam wilayah ZB tersebut, di bawah Kesultanan Ternate dan Tidore[35]. Dengan demikian, wacana konservasi lingkungan bagi empat kesultanan di Malut bukanlah hal asing. Pada puncak peringatan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN), 10 Agustus 2019, Sultan Tidore ke-37, H. Husain Alting Sjah, menerima apresiasi dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan kategori Mitra Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) dalam Penguatan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian ALam (KPA) Unsur Kesultanan yang diusulkan oleh Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL)[35]. Lambang empat kesultanan tersebut pun identik dengan simbol satwa dan anasir alam lainnya (bumi). Goheba Madopolo Romdidi berarti burung elang berkepala dua. Lambang kerajaan ini telah ada sejak terbentuknya kerajaan Moloku Kie Raha tahun 1322[36]. Simbol lambang terdiri dari Gapi/Ternate; Duko/Tidore/Tuanane/Moti dan Kie Besi/Makian.

Kesultanan Ternate memiliki lambang resmi burung Goheba (elang) berkepala dua. Di bagian dadanya terdapat perisai dengan simbol hati terbalik di tengahnya. Di bagian bawah, terdapat pita bertuliskan 'Limau Gapi' (Negeri Gunung)[37]. Kesultanan Jailolo juga berlambang sama dengan Kesultanan Ternate, tetapi tulisan pada pitanya adalah 'Limau Jiko' (Negeri Teluk)[38]. Menurut Ofa Hidayat M. Sjah, salah satu putra Sultan Ternate, Limau Gapi bermakna bahwa di dalam mengelola negara, harus ada kesepahaman, satu hati, antara raja selaku pemerintah, dengan rakyat. Mesti ada tenggang rasa, karena Raja dan rakyat ada di tempat yang sama. Dalam bahasa Ternate berbunyi: 'Toma Ua Hang Moju, Toma Limau Gapi Matubu, Jou se Ngofangare', artinya: 'Pada satu waktu dari masa, pada suatu tempat yang tertinggi, hanya ada Aku dan engkau. Aku Tuhanmu dan kau hambaKu."[39]

Lambang Kesultanan Tidore dan Kesultanan Bacan relatif berbeda dengan dua kesultanan lainnya yang identik dengan burung Goheba. Lambang Kesultanan Tidore berupa pedang zulfikar Sayidina Ali dan pita bertuliskan 'Limau Duko' (pulau bergunung api)[40] di dalam perisai berbentuk segi lima. Selanjutnya, seperti tersebut di atas, lambang Kesultanan Bacan berupa bola dunia dikelilingi tiga satwa yang mencerminkan matra laut-darat-udara, yakni alu-alu/ikan poparo/barracuda, naga dan awir/burung elang, serta di bawahnya pita bertuliskan 'Limau Dehe' (penjaga pintu terjauh, pintu Selatan),

Permasalahan lingkungan merupakan salah satu faktor penyebab Kesultanan Bacan berpindah-pindah (hijrah) dari satu tempat ke tempat lain. Pada periode Sultan Muhammad Baqir (Sultan Bacan I, 1230-1319) menghadapi masalah krisis air bersih sehingga Kesultanan Bacan berpindah dari Pulau Makeang ke Bokimaake (Pulau Muari/Kayoa). Oleh karena terbatasnya makanan pokok (krisis pangan), maka Kesultanan Bacan berpindah lagi ke Pulau Kasiruta yang berlahan luas dan bertahan hingga Sultan Bacan V (Sultan Alauddin I/Katjili Alauddin, 1490-1548). Pada masa Sultan Alauddin I tersebut, konsep konservasi sasi dapat diterapkan karena penduduk masih sedikit dan stok pangan (sagu) cukup/lahan luas. Sasi diberlakukan guna membatasi pengambilan sagu agar tidak berlebihan. Memasuki masa pertengahan pemerintahannya, Sultan Alauddin I memindahkan kesultanan dari Pulau Kasiruta ke Seki (Pulau Bacan) karena faktor keamanan, yakni konflik dengan Kesultanan Ternate.

Sejak kepindahan Kesultanan Bacan di Pulau Bacan, penerapan sasi lebih berkembang dan ditegaskan lagi karena permasalahan lingkungan di Pulau Bacan relatif lebih kompleks. Pada masa awal pemerintahan kesultanan di Pulau Makian, sasi hanya berlaku bagi masyarakat adat tradisional penganut animisme dan dinamisme serta masyarakat Kesultanan pemeluk agama Islam. Namun, sejak kedatangan Portugis di Bacan (1512) yang membawa misionari agama Katolik, maka masyarakat di bawah Kesultanan Bacan kian heterogen, bertambah warga Katolik. Maka Kesultanan Bacan mengangkat 'Sangaji' guna mengkoordinir pelaksanaan sasi di empat komunitas/agama tersebut. Terakhir, diangkat juga 'Sangaji' bagi masyarakat beragama Kristen, pasca pembaiatan pertama di Bacan oleh pendeta dari Ambon pada masa Sultan Muhammad Ali (Sultan Bacan VII). Menurut penulis, sasi di Bacan merupakan benih 'toleransi sebumi' (toleransi berbasis lingkungan)[41] yang berkembang di Ambon (Maluku) hingga sekarang.

Jika Kesultanan Bacan mengenal konsep Sasi dalam perlindungan SDA, maka di ketiga kesultanan lainnya mengenal konsep Boboso. Sasi berkembang di Bacan, Tobelo hingga Maluku (Ambon) dan pulau-pulau di sekitarnya. Selanjutnya, Boboso lebih berkembang di wilayah Kesultanan Ternate, Jailolo dan Tidore yang secara geografis lebih berdekatan, dibanding Kesultanan Bacan sebagai 'negeri terjauh' (Limau Dehe, penguasa tanjung). Menurut Jogugu Kesultanan Jailolo, meski sama-sama bentuk kearifan lokal dalam konservasi alam, boboso berbeda dengan sasi[42]. Boboso merupakan peringatan sebelum adanya kejadian musibah/bencana alam, sedangkan sasi merupakan sumpah/hukuman setelah terjadi pelanggaran lingkungan agar si pelanggar jera dan tidak sampai terulang pelanggaran tersebut. Filosofi boboso tersebut adalah "ruahe kagena afa, barangge se ma madihutu" (jangan otak-atik suatu barang/daerah, karena suatu barang/daerah tersebut ada Tuannya), sehingga dalam masyarakat Jailolo berkembang mitos ancaman/peringatan berupa "afa ngara madihutu setang" (jangan sampai Tuannya marah).

Jojau Kesultanan Tidore, H. M. Faarouk Amin, menjelaskan konsep boboso yang berkembang di masyarakat Tidore[43]. Boboso merupaka suatu sikap menahan diri untuk tidak memakan sesuatu (tumbuhan ataupun hewan) ataupun melakukan suatu perbuatan yang kiranya mengganggu tumbuhan/hewan boboso tersebut. Menurutnya, boboso berlaku per marga, dalam artian tiap marga/keluarga mempunyai boboso berbeda dengan keluarga/marga lain. Biasanya, hewan atau tumbuhan yang menjadi boboso tersebut mempunyai cerita tersendiri bagi masing-masing leluhur marga tersebut. Pelanggaran terhadap boboso tersebut berakibat reaksi tubuh yang menolak makanan, seperti sakit, muntah-muntah, dan sebagainya. Dampak boboso berupa sakit dan akan sembuh setelah mendapatkan doa-doa penawar dari tokoh agama/adat atau tetua marga tersebut. 

Uniknya, setiap boboso suatu marga tidak berlaku bagi keluarga/marga lain, sehingga meski berkumpul dalam satu meja makan (perjamuan). Seseorang yang mempunyai boboso atas suatu makanan tidak akan melarang orang lain makanan tersebut. Maka, sikap yang ditunjukkan kepada kawan perjamuan berupa ungkapan santun, "Silakan menikmati makanan A, saya boboso makan A!". Sekali lagi, menurut penulis, inilah bentuk 'toleransi sebumi'. Keluarga besar Jojau sendiri (marga Faarouk), hingga sekarang, mempunyai boboso berupa tidak bisa memakan 3 (tiga) hal, yakni ikan udang/lobster, sayur sejenis ketimun berwarna hijau dan berbulu halus, serta ikan kepala timah/sejenis ikan bandeng. Hal ini dikarenakan, leluhur Jojau pada masa dahulu pernah ditolong oleh ikan-ikan lobster, kala perahu yang dinaiki rusak, mengarungi lautan.

Menurut Jojau, beberapa masyarakat di wilayah Kesultanan Tidore di Halmahera juga mempunyai boboso yang berbeda. Semisal, warga Desa Waci (Halmahera Timur) mempunyai boboso kambing, dalam artian tidak makan daging kambing. Hal ini dikarenakan, leluhur warga desa tersebut pernah ditolong kambing dalam sebuah peperangan. Sebagian warga Desa Patani ada yang mempunyai boboso ikan tuna, tidak memakan dan memperdagangkan ikan tuna, karena ikan tuna pernah menjadi penolong leluhur warga Desa Patani. Dengan demikian, sejatinya boboso merupakan suatu ungkapan terimakasih sekaligus upaya manusia menghargai jasa-jasa makhluk hewan dan tumbuhan. Dalam perkembangannya, boboso tidak sekadar mengatur perilaku manusia terhadap tumbuhan dan hewan, tetapi kini berkembang menjadi peraturan sosial, mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dikenal dengan nama salaboso.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun