Mohon tunggu...
Muh Arbain Mahmud
Muh Arbain Mahmud Mohon Tunggu... Penulis - Perimba Autis - Altruis, Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Perimba Autis - Altruis Pejalan Ekoteologi Nusantara : mendaras Ayat-Ayat Semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Etika Lingkungan dalam Islam (Filosofi Pohon Perpektif Perimba)

17 April 2020   16:00 Diperbarui: 18 April 2020   11:55 1046
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ritual Paca Goya merupakan rangkaian ritual adat, biasa diadakan usai panen cengkih dan pala. Paca goya dalam bahasa Tidore, berarti membersihkan tempat keramat. Dalam pelaksanaannya, warga menghentikan aktivitas selama tiga hari. Mereka tidak ke kebun, tidak berdagang atau melakukan pekerjaan apa pun. Paca Goya lebih mirip dengan perayaan Nyepi di Bali (https://www.infobudaya.net/2018/03/)

"Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya" (QS.55/al-Rahman:6)

"Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu tidak mengerti tasbih mereka. Sungguh, Dia Maha Penyantun, Maha Pengampun" (QS.27/al-Isra':44)

FILSAFAT LINGKUNGAN HIDUP : SEBUAH AKAR

Pembahasan mengenai alam semesta dalam filsafat sudah ada sejak dahulu, yakni sejak filsafat muncul di Yunani dan berkembang sampai masuk ke dunia Islam. Dalam sejarah pemikiran Islam, terdapat kesepakatan di kalangan ilmuwan bahwa Tuhan/Allah adalah Pencipta (Khalik) dan alam semesta ini adalah ciptaan (makhluk).

Manusia secara real merupakan bagian dari alam tetapi berbeda secara substansial dengan alam. Filsafat alam dalam Islam tak lepas dari hubungan sirkularitas Tuhan-alam-manusia yang sangat erat dan sulit dipisahkan, tetapi ketiganya pun dapat dibedakan.

Dari hubungan sirkular ini memunculkan fenomena alam dan manusia yang beraneka ragam bentuk, jenis warna, kualitas, kuantitas, ruang dan waktunya.

Menurut Al-Ghazali, dalam dunia keilmuan, hubungan ketiga terma di atas (Tuhan-alam-manusia) memunculkan 4 (empat) golongan pengkaji kebenaran, yaitu: ahli ilmu kalam, golongan bathiniyah, kaum filosof, dan golongan sufi [1]. Menurut ahli ilmu kalam, Tuhan adalah Pencipta manusia didasarkan pada keyakinan, tanpa perlu menyelidiki bagaimana proses penciptaan tersebut.

Golongan bathiniyah lebih ekstrim, hakikat penciptaan manusia adalah sesuai dengan yang disampaikan oleh sang guru (yang dianggap ma'shum atau bebas dari cela) sebagai sebuah kebenaran yang tidak diragukan lagi sehingga tidak perlu merujuk ke dasar-dasar al-Qur'an atau al-Sunnah.

Kaum filosof berpendapat, penciptaan jenis manusia (khususnya Adam-Hawa) adalah melalui emanasi, sedangkan manusia kedua dan seterusnya adalah melalui adanya zygote (bertemunya sel telur dan sperma), sebagaimana dipahami dewasa ini.

Terakhir, para sufi menyatakan, penciptaan manusia oleh Tuhan dengan cara mengeluarkan bentuk (copy) diri Tuhan dari yang tiada. Artinya, manusia diciptakan Tuhan melalui proses pengeluaran sebuah bentuk, atau copy dari Diri Tuhan (shurah min nafsih).

Dalam memahami kejadian alam, terdapat dua pandangan di antara para filosof Muslim. Pertama, alam diciptakan oleh Tuhan dengan cara tidak langsung dari sesuatu bahan yang telah ada (al-maddat al-'ula), sehingga alam disebut makluk kadim, tidak berpermulaan

[2]. Pandangan ini diyakini oleh para filosof peripatetik (nama pengikut Aristoteles), seperti al-Farabi dan Ibnu Sina, melalui teori emanasi (al-faidh), diambil dari new-Platonisme yang mengatakan bahwa alam semesta terjadi karena limpahan dari Yang Esa. Tuhan yang Mahaesa merupakan dzat yang wajib al-wujud bertafakur tentang diriNya, dan dari pemikiran ini muncul pelimpahan akal-akal serta ilmu falak.

Kedua, pandangan Al-Ghazali (1058-1111M) dan Al-Kindi (796-873 M), yakni Tuhan menciptakan alam dengan cara langsung dari tidak ada (creatio ex-nihilo) kepada ada, sehingga alam ini adalah makhluk baru. A

-Ghazali [3] menolak pandangan pertama, karena konsep itu memunculkan adanya sesuatu yang kadim selain Tuhan, sehingga konklusi ini dapat menimbulkan kesan syirik (menduakan Tuhan)

[4]. Kritik Al-Ghazali atas konsep kejadian alam yang dinyatakan kadim ini tertuang dalam karyanya, Taafut al-Falasifat.

Selain para filsuf di atas, filsuf Muslim lain yang mengkaji filsafat lingkungan hidup adalah Mulla Shadra (1572 -- 1640 M) dari Iran. Menurut Shadra, akal, qalbu dan al- Qur'an (kitab suci) adalah tiga jalur identik untuk mengenali rahasia alam.

Selanjutnya, Tuhan yang merupakan awal dari alam semesta (al-Awwal) adalah juga mengirim al-Qur'an, memberi manusia kemampuan berpikir dan juga kalbu yang berkemampuan untuk syuhud (menyaksikan) hakikat alam[5].

Al-Qur'an terdiri dari 30 juz, 114 surat dan 6.666 ayat. Berdasarkan penelitian para ilmuwan Muslim, al-Qur'an pun mengandung lebih dari 750 ayat terkait alam (Mohammad Shomali[6]) dan kata 'ardh (bumi) sebanyak 485 kali dengan konteks dan arti yang beragam[7]. Terakhir, Agus Purwanto menemukan 800 ayat-ayat semesta di al-Qur'an sebagai bukti adanya korelasi sains dan al-Qur'an[8].

 Selanjutnya, Shadra menguraikan empat prinsip filsafat lingkungan hidup. Pertama, semua yang ada, termasuk Tuhan dan ciptaanNya yang dengan sendirinya berhirarki dan berstrata keberadaan beragam, memiliki persamaan penting dan mendasar serta kesatuan erat yang tak dapat dipisahkan.

Perumpaan filsafat Persia kuno: Cahaya dengan misdaq (ekstensi, denotasi) yang  banyak : dari cahaya lilin ke lampu kecil ke lampu besar ke matahari dan seterusnya hingga pada 'Cahaya atas Cahaya'/An-Nuur (QS.24/an-Nuur:35).

Kedua, hubungan antara sebab dan akibat merupakan hubungan yang eksis secara khas dan semacam hubungan matematis. Tuhan adalah sebab dari 'keberadaan' semua maujud (Causa Prima), makhluk adalah akibatNya (QS.40/al-Mu'min:62). Hubungan antara satu maujud dengan yang lain di alam ini bersifat keniscayaan.

Menurut Sachiko Murata dan William C. Chittick[9], teologi Islam mengenal konsep tanzih, ketakterbandingan antara Khalik (sang Pencipta) dan makhluk (yang tercipta). 

 Ketiga, segenap maujud di alam semesta, material-metafisikal, kesemuanya adalah tampilan dan jelmaan Tuhan. Semua maujud adalah tanda Tuhan (ayat). Dalam kitab suci (al-Qur'an) dikenal frasa konsep ayat Allah yang tersurat (qauliyah) dan tersirat (kawniyyah), muhkamat-mutasyaabihat  (QS.3/al-Imran:7), serta alam semesta dan isinya sebagai ayat, termasuk kita, manusia (QS.3/al-Imran:191, QS.45/al-Jaatsiyah:4). Seluruh makhluk dengan ukurannya masing-masing merupakan manifestasi Tuhan, indikasi kehadiran Tuhan. Menurut Murata dan Chittick, maka dikenal konsep tasybih, bahwa makhluk sebagai pancaran Tuhan/keserupaan (mitsl).

Prinsip keempat, bahwa setiap maujud alam ini, yang berada di martabat dan tingkat keberadaan manapun, memiliki semua sifat kesempurnaan. Semua --makhluk- mencintai Tuhan sebagai pelopor cahaya, bertutur kata dengan mengingatiNya, bertasbih, dan bersujud kepadaNya (QS.17/al-Israa':44, QS.16/an-Nahl:49).

EKOTEOLOGI TAUHID SEBAGAI BATANG TUBUH

Filsafat lingkungan hidup dalam Islam dikenal sebagai Ekoteologi-Tauhid yang meyakini bahwa Allah sebagai al-Khalik (Pencipta).

Allah adalah pusat lingkungan. Alam adalah manifestasiNya bersama-sama manusia menjadi unsur pembentuk ekosistem dalam kosmos yang berperadaban dan bersifat teleologis. Ada harmoni relasi antara Tuhan, kosmos/alam dan manusia. Menurut Mudhofir Abdullah (2010), terkait pandangan relasi tersebut ada 3 (tiga) model, yakni: reduksionistik, holistik dan tawhid[10]. 

Relasi yang bersifat reduksionistik berpandangan bahwa alam semesta sekadar partikel-partikel benda yang  bergerak secara otomatis laksana mesin.

Maka relasi yang ada adalah relasi timpang, dimana posisi Tuhan, alam dan manusia menjadi tidak aktual dan fungsional. Pandangan reduksionisme (Barat) menyumbang pada sekulerisme kosmos, penyebab sikap mental manusia sebagai pelaku eksploitasi alam. Reduksionisme Barat memahami sesuatu sebagai suatu binary opposition (pasangan yang saling berhadapan/vis a vis).

Pandangan kedua adalah relasi yang bersifat holistik. Pengertian holisme/holon merupakan suatu keseluruhan (holism) merupakan bagian keseluruhan yang lain. Semisal, atom bagian molekul, molekul bagian sel, sel bagian organisme, organisme bagian keluarga, keluarga bagian masyarakat, masyarakat bagian dunia dan seterusnya, seperti disiratkan pada ajaran watak nilai-nilai Timur (India, Cina, Jepang). Pandangan ini mencoba menjalin hubungan secara harmonis dengan Tuhan dan alam semesta.

Manusia dan kosmos sebagai suatu keseluruhan tunggal yang organik. Tujuan kehidupan adalah menyesuaikan diri dengan langit dan bumi, dan kembali ke sumber transenden manusia dan dunia.

Manusia bukan pemilik tunggal alam semesta, tetapi sebagai bagian keluarga biotik besar. Namun, holisme tidak berdasar wahyu, lebih peduli bumi ketimbang kepada Tuhan, maka berbeda dengan relasi ketiga, Tawhid.

Pandangan terakhir, relasi model Tawhid yang beranggapan bahwa relasi Tuhan, kosmos, dan manusia adalah bersifat organik. Dengan ilustrasi segitiga relasi, posisi Tuhan sebagai puncak, alam dan manusia sebagai realitas derivatif (turunan).

Menurut Yusuf Qaradhawi, ada tiga tujuan hidup manusia di bumi, yakni: mengabdi kepada  Allah (QS.51/adz-Dzariyat:56); sebagai khalifatullah di bumi (QS.2/al-Baqarah:30, QS. 35/Fathir:39) dan membangun peradaban yang etis di bumi -baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur- (QS.34/Saba':15).

Merujuk konsep teologi Murata dan Chittick di atas, Tawhid merupakan perpaduan konsep Tanzih dan Tasybih, sebuah kesadaran hamba yang merasa tak sebanding (jauh) denganNya pun sejatinya, di sisi lain, ia dekat denganNya karena ia adalah bagianNya.

Dasar pengajaran Islam mengenai lingkungan adalah memelihara kesatuan dengan Allah SWT, yakni Tawhid. Menurut Mula Shadra, Tawhid dapat dicerminkan dalam kesatuan semua umat, dan antara manusia dengan alam, untuk menjamin kesatuan fisik dan memelihara elemen-elemen kehidupan penyusun alam semesta ini.

MENANAM POHON : BUAH PRIBADI SALIH LINGKUNGAN

Mengukur kepribadian seorang muslim selama ini menggunakan parameter kesalihan pribadi dan sosial. Kesalihan pribadi terkait hubungan vertikal (individu dengan Allah) yang dapat terlihat dari ibadah-ibadah khusus seseorang, semisal sholat dan puasa.

Kesalihan sosial terkait hubungan horizontal/muamalah (hubungan dengan sesama manusia), semisal kehidupan bertetangga dan bermasyarakat.

Kedua kesalihan tersebut dapat terwujud secara simultan/bersamaan ataupun terpisah, dalam artian seseorang yang salih pribadi belum tentu dianggap salih secara sosial. Sebaliknya, orang dianggap salih sosial kadang kurang memperhatikan ibadah khususnya.

Terkait kajian tulisan ini, penulis mengangkat sebuah tema baru tentang kesalihan manusia, yakni kesalihan ekologi/salih lingkungan.

Kesalihan ekologi merupakan satu kesadaran individu Muslim untuk menjaga lingkungan dengan lambaran kesadaran ibadah/kebaktian (devosi) kepada Allah SWT.

Kesadaran tersebut tidak sekadar untuk menjaga bumi, tetapi didorong rasa tanggung jawab sebagai hamba Tuhan (ibadah) sekaligus sebagai pengemban amanah kekhalifahan/ 'wali bumi' atau dalam terminologi Robin Attfield disebut sebagai 'wali planet'[11]. Kesalihan ini pun dapat dimasukkan ke ranah sosial maupun ke ranah individu.

Dorongan kesalihan ekologi sejatinya sudah tersurat dalam kitab-kitab suci. Selain konsep Tauhid, Islam mendorong umatnya agar menjaga lingkungan melalui khilafah (kepemimpinan), istishlah (kemaslahatan umum), halal dan haram.

Khilafah bermakna bahwa segala sesuatu di bumi sangat bergantung pada peran manusia yang mempunyai kebijakan untuk memelihara ataupun membinasakan lingkungannya.

Nilai-nilai khilafah berkaitan dengan tanggungjawab individu maupun secara kolektif yang diberikan amanah. Khalifah (pemimpin/imam) berperan penting dalam mengontrol jalannya pemerintahan, termasuk perhatian dalam pembagian dan pengelolaan SDA (QS.4/an-Nisa:58), QS.33/al-Ahzab:72).

Al-istishlah atau mementingkan kemaslahatan umat merupakan salah satu syarat mutlak dalam pertimbangan pengelolaan lingkungan. Hal ini dikarenakan lingkungan termasuk usaha memperbaiki (ishlah) terhadap kehidupan manusia (QS.7/al-A'raaf:56), QS.26/asy-Syu'ara:151-152).

Selanjutnya halal dan haram adalah konsep kunci dalam Islam berarti peraturan-peraturan mengenai halal (yang diperbolehkan/legal) dan haram (yang dilarang/illegal). Kedua istilah ini menjadi sesuatu yang penting bagi umat Islam, karena halal berimplikasi pada pahala dan haram berimplikasi pada dosa.

Filosofi pohon mencerminkan pribadi Muslim termasuk tindakan menanam pohon hingga menjaga kelestarian pun kehidupan sebuah pohon.

Menanam pohon merupakan perilaku positif sebagai cermin tanggung jawab kekhalifahan sekaligus amalan altruistik yang mengedepankan kepentingan umat manusia bahkan semesta bumi.

Maka segala perbuatan pendukung amalan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan halal atau amal jariyah, meski sekadar menyemai benih, menyiram, dan memupuk.

Sebaliknya, tindakan-tindakan/perilaku destruktif atas pohon dari sekadar mencoret kulit pohon hingga melakukan penebangan pohon dengan cakupan lebih luas merupakan sebuah perbuatan fasik, tindakan haram dan perilaku merusak. Hal inilah yang dikhawatirkan para malaikat pada awal penciptaan manusia (QS.2/al-Baqarah:30).

Sungguh, menanam pohon adalah sebuah kemuliaan sekaligus amal jariyah lintas ruang-waktu. Pohon yang ditanam sejatinya adalah media tasbih--pengagungan kepada Tuhan oleh semua 'stakeholder semesta', bagi manusia penanam-pemeliharanya, bagi margasatwa di bawah naungannya, hingga tanah-udara-angin yang menjadi media hidupnya.

Setiap nyanyian burung sejatinya ucapan terimakasih kepada manusia. Setiap lambaian daun, derit dahan hingga patahan ranting merupakan ekspresi fitrah pohon untuk bersyukur atas jasa wali bumi (manusia) yang merawat.

FIQH AL-BI'AH : SPIRIT EKOLOGI LEMBAGA ISLAM 

Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) merupakan spirit baru bagi lembaga-lembaga Islam untuk turut serta memberikan solusi bagi bangsa terkait pengelolaan SDA.

Sebelumnya, pada tanggal 9-12 Mei 2004, kurang lebih 33 ulama dari berbagai pesantren Nusantara telah berkumpul di Pesantren Lido--Sukabumi dalam "Pertemuan Menggagas Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Bi'ah) oleh Ulama Pesantren". Pertemuan tersebut merekomendasikan 4 (empat) hal:

 1) agar masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, lebih aktif terlibat dalam menyebarluaskan kepedulian terhadap lingkungan, merumuskan kebijakan pengelolaan SDA, dan pengawasan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan;
2) agar para tokoh masyarakat menjadi teladan dalam mewujudkan upaya pelestarian lingkungan;
3) agar pemerintah terus menerus menggalang kerja sama dengan berbagai pihak yang kompeten untuk merancang, melaksanakan, dan mengawasi kegiatan pembangunan, demi kepentingan kelestarian lingkungan; dan
4) agar pemerintah dengan sunguh-sungguh menegakkan hukum di bidang lingkungan hidup[12].

Sejak berdiri (1975) hingga sekarang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga payung berbagai organisasi masyarakat (ormas) Islam telah mengeluarkan beberapa fatwa lingkungan.

Fatwa-fatwa tersebut antara lain: pertambangan ramah lingkungan[13], ijtima' ulama Komisi Fatwa se-Indonesia tentang pengelolaan SDA (2006)[14], Penebangan Liar dan PertambanganTanpa Izin, Illegal Logging dan Illegal Mining (2014) [15], Pengelolaan Sampah Untuk Mencegah Kerusakan Lingkungan dan Pelestarian Satwa Langka untuk Menjaga Keseimbangan Ekosistem (2014)[16], Hukum Pembakaran Hutan dan Lahan (2016). Tahun 2010, MUI pun membentuk Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam (LPLHSDA) yang bergerak dalam hal pelestarian lingkungan, pemeliharaan satwa liar, dan pelestarian tumbuhan [17].

Beberapa ormas Islam telah mengembangkan wacana Fiqih Lingkungan. Muhammadiyah melalui kitab Himpunan Putusan Tarjih menerbitkan Fikih Air dan Fikih Kebencanaan (2015)[18].

Peran Nahdlatul Ulama (NU) pada kelestarian lingkungan hidup pun cukup besar[19], antara lain: menyusun konsep fiqih sosial atau lingkungan hidup, membahas tema-tema krisis lingkungan hidup dalam bahtsul masail [20] dan membentuk Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI). Bahkan, LPBI NU telah menerbitkan buku Fiqih Penanggulangan Sampah Plastik (2019)[21].

Sejatinya, masih banyak lembaga-lembaga Islam lain yang mengembangkan dan menerapkan Fikih Lingkungan, baik secara tekstual (kajian kitab) maupun kontekstual dalam keseharian, semisal berdakwah sembari bertani, seperti dilakukan para da'i (pegiat dakwah) Hidayatullah.

Bahkan beberapa pesantren telah mengembangkan konsep Ekopesantren, yakni lembaga pendidikan berbasis agama Islam tetapi berkarakter ramah terhadap lingkungan, seperti hasil penelitian disertasi Fachruddin Mangunjaya [22], yakni Pondok pesantren (Ponpes) Buntet-Cirebon, Ponpes  Al Musadadiyah-Garut, dan Ponpes Daar El Qolam-Tangerang.

Dengan demikian, diharapkan agama (Islam) pada akhirnya menjadi solusi atas permasalahan ekologi umat manusia, sehingga benar-benar menjadi rahmatan lil 'alamien (rahmat bagi semesta). "Dan tiadalah kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" (QS.21/al-Anbiya:107). Syukur dofu-dofu, terimakasih.

 *Bahan materi "Lokakarya Ekoteologi Antar Umat Beragama Kabupaten Halmahera Utara", 18-19 Maret 2020 yang tertunda karena adanya wabah Covid-19

Referensi :
Abdullah, Mudhofir, Dr., 2010. Al-Quran & Konservasi Lingkungan: Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari'ah. Jakarta: Dian Rakyat, Cet. pertama.
Agus Purwanto, 2008. Ayat-ayat Semesta, Sisi-sisi Al-quran yang Terlupakan. Bandung: Mizan.
Attfield, Robin, 2010. Etika Lingkungan Global. Jogjakarta: Kreasi Wacana, Cet. pertama.
Fachruddin M. Mangunjaya, Husein Heriyanto & Reza Gholam (ed.), 2007. Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta : ICAS, Yayasan Obor & Conservation International Indonesia.
Fachruddin M. Mangunjaya, 2014. Ekopesantren: Bagaimana Merancang Pesantren Ramah Lingkungan? Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Indonesia Forest and Media Campaign (NFORM), 2004. Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Biah). Laporan Pertemuan Menggagas Fiqih Lingkungan (Fiqih al-Bi'ah) oleh Ulama Pesantren di Lido-Sukabumi, 9-12 Mei 2004.
Ma'ruf Amin, K.H., dkk., 2011. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2018. Himpunan Putusan Tarjih 3. Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah.

***

Murata, Sachiko, 1996.The Tao of Islam. Bandung: Mizan.
------ dan William C. Chittick, 1997. The Vision of  Islam (Trilogi Islam: Islam, Iman, dan Ihsan), terj. Ghufron A. Mas'adi. Jakarta: Srigunting.  
Rijal, Syamsul, Drs.,M.A., 2003. Bersama Al-Ghazali Memahami Filosofi Alam Upaya Meneguhkan Keimanan, Jogjakarta: Ar-Ruzz.
http://agamadanekologi.blogspot.com/2007/08/fatwa-penebangan-liar-dan-pertambangan.html
https://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/12/07/prinsip-ekologi-islam-menurut-mulla-sadra/
https://alif.id/read/muhammad-idris/mengenal-tradisi-bahtsul-masail-di-lingkungan-nu-b215724p/
http://lpbi-nu.org/fikih-penanggulangan-sampah-plastik/
https://mui.or.id/berita/27674/fatwa-penyelenggaraan-ibadah-dalam-situasi-terjadi-wabah-covid-19/
http://mui.or.id/id/category/fatwa/.../17/02/22.
https://mui-lplhsda.org/lembaga-pemuliaan-lingkungan-hidup-dan-sumber-daya-alam-mui/
https://www.laduni.id/post/read/46521/melestarikan-lingkungan-hidup-inilah-3- kontribusi-utama-nu
www.alquran-digital.com.

Endnote
[1]     Dawam Ainurrofiq, Dr.,M.A. dalam Rijal, Syamsul, Drs.,M.A., 2003. Bersama Al-Ghazali Memahami Filosofi Alam Upaya Meneguhkan Keimanan. Jogjakarta: Ar-Ruzz, hal. 15.
[2]     Ibid., hal. 41-42.
[3]     Wawasan ilmu keislaman Al-Ghazali meliputi empat aspek, yakni : teologi, hukum Islam, filsafat dan tasawuf, sehingga menyandang gelar Hujjat al-Islam (pembela Islam) dan Zainu al-Din (hiasan agama). Hal ini jarang dimiliki secara sekaligus oleh pemikir Islam lainnya.
[4]     Rijal, Syamsul, Drs.,M.A., ibid.
[5]     Fachruddin M. Mangunjaya, Husein Heriyanto & Reza Gholam (ed.), 2007. Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi dan Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta : ICAS, Yayasan Obor & Conservation International Indonesia. Atau lihat https://ahmadsamantho.wordpress.com/2007/12/07/prinsip-ekologi-islam-menurut-mulla-sadra/
[6]     Mudhofir, op.cit., hal. 264.
[7]     ibid., hal. 12.
[8]     Agus Purwanto, 2008. Ayat-ayat Semesta, Sisi-sisi Al-quran yang Terlupakan. Bandung: Mizan. Agus Purwanto pun merintis Pesantren Sains (Trensains) di Tebu Ireng-Jombang (NU) dan di SMA Trensains-Sragen (Muhammadiyah) serta aktif mensosialisasikan gagasannya melalui chanel https://www.youtube.com/ berjudul: AAS800, berisi kajian sains dan Al-Qur'an.
[9]     Sachiko Murata dan William C. Chittick, 1997. The Vision of Islam (Trilogi Islam: Islam, Iman, dan Ihsan), terj. Ghufron A. Mas'adi, Jakarta: Srigunting.  
[10]     Abdullah, Mudhofir, Dr., 2010. Al-Quran & Konservasi Lingkungan: Argumen Konservasi Lingkungan Sebagai Tujuan Tertinggi Syari'ah. Jakarta: Dian Rakyat, Cet. Pertama, hal. 232.
[11]     Attfield, R., 2010. Etika Lingkungan Global, cet. Pertama, Jogjakarta: Kreasi Wacana, hal. 56.
[12]     Indonesia Forest and Media Campaign (NFORM), 2004. Fiqih Lingkungan (Fiqh al-Biah). Laporan Pertemuan Menggagas Fiqih Lingkungan (Fiqih al-Bi'ah) oleh Ulama Pesantren di Lido-Sukabumi, 9-12 Mei 2004.
[13]     Ma'ruf Amin, K.H.,dkk., 2011. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975. Jakarta: Penerbit Erlangga, hal. 573-590.
[14]     ibid., hal. 853-855.
[15]     http://agamadanekologi.blogspot.com/2007/08/fatwa-penebangan-liar- dan-pertambangan.html
[16]     http://mui.or.id/id/category/fatwa/.../17/02/22.
[17]     https://mui-lplhsda.org/lembaga-pemuliaan-lingkungan-hidup-dan-sumber-daya-alam-mui/
[18]     Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2018. Himpunan Putusan Tarjih 3. Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah. Hal.291-341 dan hal. 597-683.
[19]     https://www.laduni.id/post/read/46521/melestarikan-lingkungan-hidup-inilah-3-kontribusi-utama-nu
[20]     Lajnah Bahtsul Masail/LBM (Lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan) adalah salah satu lembaga ormas NU yang menghimpun, membahas dan memutuskan permasalahan yang menuntut kepastian hukum yang dalam bidang fiqih mengacu kepada mazhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali. https://alif.id/read/muhammad-idris/mengenal-tradisi-bahtsul-masail-di-lingkungan-nu-b215724p/
[21]     LBM PBNU-LPBI PBNU, 2019. Fiqih Penanggulangan Sampah Plastik. http://lpbi-nu.org/fikih-penanggulangan-sampah-plastik/
[22]     Fachruddin M. Mangunjaya, 2014. Ekopesantren: Bagaimana Merancang Pesantren Ramah Lingkungan? Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun