Oleh : Muh. Arba'in Mahmud[1]
Artikel ini merupakan potongan nalar penulis pada International Conference on MUI Studies, 26-28 Juli 2107, diselenggarakan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sementara itu, isu krisis ekologi di Maluku Utara kian berkembang dari masalah banjir-tanah longsor, eksploitasi tambang, krisis air bersih hingga pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
Potensi Ekoteologi MKR
Bumi Moloku Kie Raha(MKR) sejatinya satu jazirah yang diberkati Allah SWT dengan sejuta potensi sumber daya, baik fisik maupun biofisik. Kekayaan sumber daya alam (SDA) terbukti dalam sejarah, dimana rempah-rempah negeri ini pernah menjadi magnet perdagangan dunia.
Malut mempunyai potensi sumber daya integral, yakni spiritualitas, ekologi dan sosial, disebut potensi Ekoteologi MKR. Secara spiritual, Malut sarat nilai spiritualitas dengan adanya masyarakat adat kesultanan dan masyarakat adat bukan kesultanan (MP,21-09-2016).Â
Spiritualitas Malut tergali dari masyarakat adat kesultanan banyak dipengaruhi oleh budaya (dan ajaran) Islam maupun nilai-nilai luhur dan kearifan lokal bersumber dari tradisi masyarakat adat bukan kesultanan yang tinggal di wilayah pedalaman, hutan dan hulu DAS.
Potensi ekologi Malut relatif berlimpah SDA, baik di daratan maupun lautan. Topografi wilayah berbentuk kepulauan, bergunung sekaligus bersentuhan langsung dengan hamparan laut menjadi eksotika tersendiri. Malut berwilayah 132.631,09 km2, terdiri dari daratan seluas 32.004,57 km2 (31 %) dan lautan seluas 100,731,74 km2(69 %).Â
Potensi keanekaragaman hayati pada kawasan hutan di Malut relatif tinggi. Selain potensi satwa, kayu dan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti madu, rotan, bambu, getah, bunga dan tumbuhan lainnya, sebagian besar kawasan hutan Malut mengandung bahan mineral tambang, potensi jasa lingkungan (jasling), energi kelistrikan dan sebagainya.
Potensi SDA laut Malut pun berlimpah sehingga menghantarkan Malut sebagai Poros Maritim Dunia dan Lumbung Ikan Nasional (LIN). Potensi tersebut meliputi sumberdaya dapat pulih (renewable resources), sumberdaya tak dapat pulih atau nir-hayati (unrenewable resources) dan jasa lingkungan (enviromental service).Â
Produksi perikanan pada 2014 sebanyak 322.008,77 ton dimana sebanyak 218.097 ton merupakan perikanan laut (BPS Malut, 2015). Tebaran 805 pulau di Malut dapat digunakan sebagai tempat wisata bahari serta garis pantai sepanjang 6.644 km2 dapat dikembangkan perikanan budidaya.
Potensi sosial Malut terlihat dari kemajemukan sosial budaya masyarakat kepulauan, termasuk keberadaan masyarakat adat tersebut di atas. Masing-masing masyarakat tersebut mempunyai modal sosial tersendiri, baik yang bersumber dari warisan nenek moyang maupun hasil akulturasi dan asimiliasi budaya dengan masyarakat lain, termasuk pendatang dari luar Malut.