Sore itu, di sebuah kafe estetik di Medan, sekumpulan anak muda duduk mengelilingi meja panjang. Semua sibuk dengan gawai masing-masing, seolah pemulihan diri secara fisik, mental, dan emosional yang dilakukan sendiri-sendiri. Ada yang sibuk bermain game di ponselnya, ada yang sibuk menggerakkan area pandang dengan scrolling layar ponsel. Bahkan ada pula yang "update status" beragam: ada yang berdoa pada Tuhan lewat media sosial, ada yang menuliskan kalimat motivasi seakan untuk orang lain namun sebenarnya ditujukan pada diri sendiri, hingga ada yang menunjukkan rasa syukur yang samar-samar berbaur dengan flexing. Semua itu menjadi cara mereka menjalani self healing, meski bentuknya tampak sederhana dan kadang paradoksal.
Tak jauh dari sana, seorang influencer dengan seribu penonton live mengingatkan audiens: "Kalau lagi overthinking, coba tarik napas dalam, dengarkan tubuhmu, jangan lupa self-healing, ya!"
Fenomena ini bukan sekadar gaya hidup urban. Kata self-healing kini akrab di telinga anak muda, ibu rumah tangga, bahkan pekerja kantoran. Namun, apakah self-healing benar-benar kebutuhan manusia modern, atau hanya tren viral di media sosial?
Akar dari Lelah Kolektif
Generasi kita hidup di era serba cepat. Informasi datang tanpa jeda, target kerja makin tinggi, relasi makin rapuh. Tiga ranah utama hidup anak muda: belajar, bekerja, dan berhubungan, baik offline maupun online. Tekanan di tiga ranah ini sering saling tumpang tindih, sehingga memperkuat rasa stres.
Di tengah derasnya standar sosial yang kian meninggi, banyak orang merasa mudah retak. Mereka mencari celah untuk merawat luka batin, meski terkadang hanya dengan bersembunyi di balik kutipan-kutipan bijak yang berseliweran di media sosial.
Tidak heran, kata self-healing menjadi mantra kolektif. Ia seolah menawarkan jalan keluar dari kelelahan yang tak bisa dituntaskan hanya dengan tidur atau liburan singkat.
Dari Psikologi ke Budaya Populer
Dalam literatur psikologi, self-healing merujuk pada upaya sadar individu memulihkan kesehatan mental, emosional, dan spiritual. Caranya bisa beragam: terapi, zikir atau meditasi, journaling, olahraga, bahkan berbicara dengan orang terpercaya.
Namun di tangan budaya populer, self-healing bergeser makna. Ia melebur dengan estetika media sosial: solo traveling ke Bali, yoga di pantai, foto bersama kopi susu dan buku afirmasi. Hashtag selfhealing bahkan sempat mencapai jutaan unggahan di TikTok dan Instagram.
Self-healing kini menjelma semacam label diri, seakan-akan tanda bahwa seseorang melek akan kesehatan mental. Namun di balik gemerlap pencitraan itu, makna sejati dari penyembuhan adalah proses yang panjang, sunyi, dan kadang penuh perih, dan sering kali menguap begitu saja.
Kisah Nyata: Antara Tren dan Realita
Bagi Sarah, mahasiswa 22 tahun, self-healing bukan sekadar tren. Ia mulai journaling sejak mengalami putus cinta. "Awalnya ikut-ikutan tren di TikTok. Tapi lama-lama, menulis jadi cara saya memahami perasaan. Rasanya lebih lega", ceritanya.