Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Ansori
Muhammad Yusuf Ansori Mohon Tunggu... Petani - Mari berkontribusi untuk negeri.

Bertani, Beternak, Menulis dan Menggambar Menjadi Keseharian

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kenapa Orang Kota Menjadi Penakut?

23 Agustus 2022   06:23 Diperbarui: 23 Agustus 2022   06:26 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potongan adegan film Danur produksi MD Picture via kompas.com

Film, saya pikir benda itulah yang harus menjadi tertuduh utama. Gara-gara film, imajinasi orang kota menjadi lebih liar dibandingkan kami yang hidup di pedesaan.

Kami, di perkampungan mempercayai mitos-mitos yang berkaitan dengan alam ghaib adalah bagian dari tradisi. Kebiasaan yang lahir dari masyarakat yang belum tersentuh pendidikan ala Barat. Dimana rasionalisme menjadi tonggak bagi berdirinya sebuah peradaban.

Lah, lantas kenapa orang kota begitu sering menciptakan mitos-mitos tak berdasar. Sebuah bangunan kosong dianggap sebagai sarang makhluk "tak kasat mata". Padahal, tidak ada apa-apa di sana.

Di desa, sudah sangat sering melihat pohon beringin ukuran besar. Di sana merupakan tempat yang ideal untuk bersarang kelelawar. Wajar, jika orang-orang berimajinasi terlalu liar karena rindangnya pohon membuat gelap. Seekor kelelawar bisa diartikan kuntilanak atau genderewo.

Jika di kota besar, kenapa kamar sendiri pun malah dijadikan tempat "mengerikan"?

Terdengar mengherankan jika manusia yang dididik dengan rasionalisme malah menjadi sangat percaya mistis. Imajinasi manusia kota terlalu liar sehingga dia merasa sulit dengan ketakutan yang diciptakan sendiri.

Apakah ketidaknyamanan yang dirasakan setiap hari sudah begitu besar. Sehingga merasuk ke dalam bagian terdalam pikiran. Macet di jalanan sebagai bentuk ketidaknyamanan "semipermanen" terbawa hingga ke rumah yang sebenarnya nyaman.

Suasana hening justru dihindari karena kebisingan dianggap teman sejati. Apabila anda sendiri di dalam rumah, bukannya senang karena tidak ada yang mengganggu. Justru, ketakutan karena sering merasa "ada yang mengikuti".

Di desa, keheningan menjadi ciri utama. Apabila petang menjelang maka suasana menjadi sangat sepi. Tidak ada kafe yang mendendangkan "live music". Restoran pinggir jalan pun jumlahnya bisa dihitung jari.

Ketika ada orang kota "yang penakut" berkunjung ke desa maka merekalah orang yang pintar mengarang cerita. Katanya, di mata air ada penunggu sesosok perempuan cantik dengan ular melilit di tubuhnya. Padahal, itu hanya cerita masa lalu yang mulai dilupakan karena sosok itu sudah lama sekali tidak terlihat.

Sejak listrik masuk desa, tempat-tempat gelap itu sudah diterangi lampu. Sehingga, bisa dibedakan mana makhluk ghaib dan mana khayalan anak kecil semata.

Sayangnya, karena listrik pula hiburan menjadi mudah didapatkan. Film yang biasa ditonton di bioskop, kini bisa disaksikan di bioskop daring. Polanya menjadi terbalik, orang kotalah yang membuat mitos dan menakut-nakuti orang desa.

Ah, memang benar jika media massa laksana pedang bermata dua.

***

Ketika saya menuduh film sebagai penyebab orang kota menjadi penakut, bukan berarti film harus "direduksi" menjadi sangat membosankan. Film hanya produk fiksi sebagaimana mitos itu sendiri.

Saya akan menempatkan diri sebagai penonton yang sama-sama suka film horor. Suasana bioskop atau rumah sepi memang bisa merangsang imajinasi. Sutradara sudah berhasil mengajak penonton masuk ke dalam pengalaman yang disajikan.

Anak kecil menonton film horor bisa menjadi kelompok rentan karena masih sulit membedakan mana fiksi dan kreasi semata. Remaja pun_ sebagai penonton yang suka penasaran_ masih kekurangan referensi pembanding.

Ketika menonton film horor yang sedang trending di medsos, ramai-ramai menikmati dan menganggapnya sebagai "hal baru". Padahal, bagi generasi yang akrab dengan Suzanna saya melihat film horor ya ceritanya berputar-putar di sekitar topik yang sama. Hanya kemasan yang berbeda.

Apabila orang dewasa mengajak anaknya menonton film horor, bagikan pula cerita rakyat _yang penuh mitos itu_ sehingga memiliki persepsi lain. Andaikan cerita rakyat tumbuh dari manusia dengan peradaban rendah, kenapa manusia dengan peradaban lebih tinggi terlalu mudah dimanipulasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun