Pemilihan umum merupakan sebuah instrumen penting bagi sebuah negara demokrasi, demikianlah jika mengutip dari perkataan Hans Kelsen bahwa demokrasi merupakan sebuah pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat dan untuk rakyat, yang melaksanakan kekuasaannya adalah para wakil-wakil dari rakyat yang telah terpilih dan rakyat juga telah yakin bahwa segala kehendak dan kepentingannya akan tersalurkan oleh para wakil tersebut ketika menjalankan kekuasaannya. Pemilu juga dapat diartikan sebagai perwujudan kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub didalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 "Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar" (Bunga & Dinie, 2021).
        Indonesia pada tahun 2024 talah menyelenggarakan Pemilu serentak yang bertujuan untuk memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden, Calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota (Mushaddiq, 2020). Kemudiam dalam pelaksanaannya diubah menjadi sistem pemilu yang dilakukan secara serentak. Namun dalam perkembangaan sistem pemilu saat ini telah dikeluarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilihan umum serentak nasional dan pemilihan umum serentak daerah. Pemisahan antara pemilu serentak tingkat nasional dan daerah berupaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia secara substansial serta menjamin hak-hak konstitusional masyarakat terpenuhi dalam memilih pemimpin dan wakil-wakil rakyat, dalam hal ini pemerintah perlu untuk mengeksekusinya mengingat putusan MK yang sifatnya final and  binding. Tentunya setiap perubahan memiliki tujuan yang ingin diraih sehingga dalam tulisan ini bertujuan untuk mengkaji prospek keuntungan dari pemisahan antara Pemilu lokal dan nasional.
        Pemilu serentak pertama kali dilaksanakan pada tahun 2019, mulai saat itu terjadi beberapa polemik secara teknis, mulai dari kompleksitas pemilu yang mengaakibatkan beratnya tugas diampu oleh KPU dan Bawaslu maupun DKPP, tidak sedikit dari petugas penyelenggara Pemilu meniggal dunia kala itu yang diakibatkan karena kelelahan. Pada putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 MK menegaskan bawha penafsiran yang dimaksud didalam Pasal 22E UUD NRI 1945 dapat diwujudkan dengan adanya pemilu terpisah antara nasional dan lokal. Meskipun pemisahan antara pemilu lokal dan nasional menimbulkan kerja-kerja ekstra bagi penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP) karena perlu untuk penguatan kelembagaan, perencanaan anggaran yang matang dan memobilisasi masyarakat dalam siklus lima tahun. Namun hal itu sebanding apabila dapat dikelola dengan baik, adanya pemisahan ini dapat memberikan implikasi pada partisipasi publik hal itu didasasri dengan adanya pemisahan antara pemilu lokal dan nasional para partisipasi pemilih dapat lebih terkonsentrasi untuk kemudian memiliki pertimbangan yang matang untuk memilih kandidat yang nantinya akan ikut berkontestasi dalam pemilu. Tidak terlepas sampai disitu, pemisahan antara pemilu lokal dan nasional dapat memperkuat otonomi daerah sekaligus meningkatkan akuntabilitas kepala daerah terhadap masyarakat lokal (Agil, 2025).
        Beranjak kepada hal teknis, yakni pada hal operasional, memang dapat dikatakan bebad partai politik akan meningkat dengan adanya skema pemilu lokal dan nasional Pendanaan partai yang lebih akuntabel secara publik melalui bantuan pemerintah melalui setiap tingkatan, diharapkan dapat mengurangi dominasi oligarki elit pemodal, utamanya para pebisnis, terhadap pengambilan kebijakan. Ada kesan pesimisme gerak otonomi daerah melalui kebijakan desentralisasi pemerintahan hasil pemilu yang justru bertujuan normatif mendekatkan aspirasi rakyat secara demokratis terhadap agenda pembangunan. Ini menjadi catatan pada saat apa yang disebut orang kuat lokal (local strong man) yang sudah mengakar kuat dimasa Orde Baru dalam realitas masih berkuasa setelah berlangsungnya rezim pilkada pada kurun waktu reformasi (Prayudi, 2021).
        Problrmatika yang tidak dapat dianggap remeh adalah terkesampingkannya isu-isu lokal dengan isu yang ada di tingkat nasinal, tidak terlepas sampai disitu para figur yang mencalonkan diripun bisa untuk berlindung dibawah payung eksistensi para politisi nasional. Hal itu kemudian dapat menjadikan, menurut Anis Baswedan hal demikian menjadi sebuah ketimpangan yang fatal dan menghasilkan otonomi semu, hal itu dapat terjadi karena Anggota lembaga perwakilan daerah membuat kebijakan di daerahnya, sementara masalah masalah-masalah yang diangkat adalah masalh-masalah nasional yang mendominasi perpolitikan di daerah. Pemilu yang dilakukan secara nasional menjadikan calon legislatif lokal kehilangan orientasi kedaerahan karena terkooptasi politisi nasional dan isu nasional. Hal ini mengakibatkan isu kedaerahan yang menjadi ciri otonomi daerah tersingkir dari perdebatan kampanye Pemilu.
Daftar Pustaka
Amir, Mushaddiq. Keserentakan Pemilu 2024 yang Paling Ideal Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. AL-ISHLAH: Jurnal Ilmiah Hukum, Vol. 23, No. 2, November 2020. e-ISSN: 2614-0071 | p-ISSN: 1410-9328.
Al-khansa, Bunga Bhagasasih, & Dewi, Dinie Anggraeni. Pendidikan Kewarganegaraan: Membangun Masyarakat Demokrasi yang Berkeadaban dari Saat Ini. Jurnal Kewarganegaraan, Vol. 5, No. 1, Juni 2021. P-ISSN: 1978-0184 | E-ISSN: 2723-2328.
Almunawar, Agil. Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal. Jurnal Hukum Berkeadaban, Vol. 1, No. 1, 2025. e-ISSN: 3110-0686. DOI: https://doi.org/10.71094/jhb.v1i1.48.
Prayudi. Concurrent Elections: Separating the National and Local Elections Agenda (Pemilu Serentak: Pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Lokal). Politica, Vol. 12, No. 1, Mei 2021. DOI: https://doi.org/10.22212/jp.v12i1.1768.
Sirajuddin, Febriansyah Ramadhan, & Ilham Dwi Rafiqi. Urgensi Pemisahan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Serentak Nasional dan Lokal. Volksgeist, Vol. 4, No. 2, Desember 2021. DOI: https://doi.org/10.24090/volksgeist.v4i2.5224.