Mohon tunggu...
Muhammad Umar ibnu malik
Muhammad Umar ibnu malik Mohon Tunggu... Mahasiswa Program studi Pendidikan Agama Islam, UIN. Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

University Student, Journalist, Writer-Reader, Researcher.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Multi-Challenge Analysis : Antara Pendidikan dan Bonus Demografi

2 Mei 2025   22:54 Diperbarui: 2 Mei 2025   22:54 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: Level Analysis, 2023)

Kebijakan pemerintah melalui UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menetapkan wajib belajar 9 tahun. Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah merancang RUU Sisdiknas terintegrasi untuk mewajibkan belajar 13 tahun dengan penguatan pendidikan dasar 10 tahun dan 3 tahun pendidikan menengah. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah masalah pendidikan dasar sudah efektif dan terpenuhi? Data Dirjen (Direktorat Jenderal) Kependudukan dan Pencatatan Sipil 2022, menunjukan penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi (D1, D2, D3, S1, S2, S3) berada di angka 6,4%, dan tamatan sekolah dasar berada di angka 23,4%. Selain itu, data survey Nasional 2022, menunjukan peningkatan angka putus sekolah di angka 1,38% jenjang menengah atas (SMA), 1,06% jenjang sekolah menengah pertama (SMP), dan 0,13% jenjang Sekolah Dasar (SD). Dengan demikian, maka pemerantaan pendidikan berdasarkan data mengalami gap yang perlu di atasi untuk menjawab masalah keterputusan proses pendidikan. Artinya, kebijakan wajib belajar dalam konteks ini belum terpenuhi secara menyeluruh.

(Sumber: Katadata, 2022))
(Sumber: Katadata, 2022))

Presentasi ini, seharusnya menjadi atensi di kalangan akademisi dan politisi. Mengingat program wajib belajar merupakan sebuah bentuk jaminan negara supaya tidak terjadi putusnya pendidikan dalam memenuhi kebutuhan pengetahuan bagi masyarakat. Sebab, bonus demografi tidak akan teratasi jika pendidikan masyarakatnya saja tidak memenuhi standar kompetensi dalam menyenyam pendidikan dengan semestinya untuk bersaing di lanskap global dan menjadi generasi produktif bukan hanya berdasar usianya.

Bonus demografi yang ditandai dengan meningkatnya populasi manusia bukan perhitungan yang merujuk pada sebuah objek pendidikan, tetapi ditempatkan sebagai subjek pendidikan yang memiliki hak untuk mendapatkan askes pendidikan yang bermutu dalam menjamin pertumbuhan pengetahuan, kecerdasan, produktivitas, inovasi, dan kreativitas. Sudah masanya universitas melakukan fungsinya sebagai peran sentral mendongkrak profil lulusan yang berkompetensi. Pasalnya, universitas bukanlah berfungsi sebagai wadah yang menampung kuota peserta didik. Namun, universitas berfungsi sebagai laboratorium produktif yang menghasilkan ruang belajar adaptif, inovatif, dan merdeka untuk sustain dalam menjawab tantangan perkembangan global, baik secara teknologi, sosial, kebijakan dan human capital.

Saat ini, yang menjadi isu krusial dalam pendidikan tinggi adalah instrumentalisasi dan komersialisasi pendidikan melalui universitas. Biaya untuk mengenyam pendidikan tinggi terhitung mahal, tidak sedikit masyarakat midle-income dan kalangan bawah mengeluhkan persoalan ini. Hal ini disebabkan karena sistem regulasi yang mengatur persoalan ini. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Riset Stella Christie, menyebutkan bahwa mahalnya biaya UKT di indonesia selama ini berkaitan dengan pendanaan atau sistem perekonomian universitas. Artinya, proporsi pendanaan PTN dan PTS, selama ini banyak bergantung pada pembayaran UKT mahasiswanya---meskipun tidak semuanya. Menurutnya, ada perbedaan sistem keuangan antara universitas di Indonesia dengan univerrsitas di luar negeri, salah satu perbedaannya yakni, universitas luar negeri beberapa tidak mengandalkan UKT. Namun, berbasis pada perkembangan sains dan teknologi atau investasi riset yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sebetulnya, Indonesia diyakini dapat mengaplikasikan sistem yang sama dengan SDM yang berkompetensi. Namun demikian, Stella menungkapkan bahwa ekosistem yang mendorong mereka menghasilkan perkembangan riset, sains, dan teknologi bekum tersedia. Oleh sebab itu, universitas di Indonesia berani mematok tarif UKT yang mahal untuk menunjang infrastruktur dan perkembangan akademiknya. Seperti diberlakukannya otonomi PTN BH (Berbadan Hukum), dan proses penetapan UKT dari universitas yang kerap kali tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat, dan hal ini terjadi pada beberapa kampus PTKIN yang akhir-akhir ini mahasiswa mengeluhkan persoalan tersebut.

Lonjakan biaya pendidikan yang mahal juga menjadi variable terputusnya kesempatan pendidikan masyarakat di usia produktif. Tentunya, hal ini akan mengganggu iklim demografi yang dalam beberapa tahun ke depan akan segera kita hadapi. Jika masyarakatnya putus pendidikannya, dan tidak ada lapangan pekerjaan yang dapat menampung kapasitasnya karena tidak sesuai standar kompetensinya. Maka, usia produktif dibatalkan dengan kebijakan kontraproduktif.

Banyak pula problematika lain yang menyangkut sektor pendidikan, di antaranya kualitas pendidikan yang memasuki rangking paling tertinggal disbanding negara ASEAN, termasuk pada aspek hasil belajar, keterampilan, dan relevansi pendidikan dengan dunia kerja. Persoalan struktural ini ditandai dengan kurangnya relevansi lulusan pendidikan terhadap kebutuhan dunia kerja, di mana lulusan sekolah dan universitas kerap kali tidak diberkali kemampuan yang dibutuhkan indsutri saat ini dan masa mendatang. Di Singapura, pendidikan jalur non-universitas tidak di nomor duakan. Pendidikan vokasi dianggap setara dan bergensi dan banyak menjadi pilihan utama bukan sebatas alternatif. Pendidikan keteknikan, bahkan politeknik didesain sebagai jalur prestisius dan professional yang memfasilitasi mahasiswa dapat belajar langsung di laboratorium, simulasi nyata, dan profesional internship sehingga profil lulusannya siap bekerja dengan skill teknis yang memadai. Sedangkan di indonesia, pendidikan vokasi masih dianggap sebagai kelas alternatif yang dinimor duakan. Bahkan, kurikulum belum sepenuhnya relevan dengan industri yang mengakibatkan lulusan tidak sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.

Dalam konteks ini pula, pendidikan digunakan sebagai alat untuk mendidik dan lulus ujian serta mengejar gelar yang mengakibatkan terjadinya disintegrasi akademik. Hal ini ditandai dengan hasil survey Penilaian integritas (SPI) pendidikan 2024 yang dipublikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menunjukan penilaian integritas di Indonesia berada di angka 69,5% dari skala 1-100. Menurun dibandingkan 2023 yang mencapai 73,7%. Hal ini ditunjukan dengan fenomena degradasi integritas akademik oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia yang kontroversional. Padahal, Universitas Indonesia (UI) yang terkenal dengan produktivitas dan kualitas akademiknya, kali ini dipatahkan begitu saja. Oleh karena itu, tanpa adanya integritas akademik, evaluasi kebijakan, koneksi nyata ke industri, maka usia produktif di Indonesia akan sulit untuk menjawab tantangan ekonomi dan beban sosial, yang menjadi bom waktu terjadinya bonus demografi di masa depan.

Fenomena Bonus Demografi dalam Kerangka Teori Sosial Level Analysis

Tingginya angka NEET di indonesia menjadi indikator problematika masa transisi dari sektor pendidikan ke dunia pekerjaan. Lantaran proses pendidikan juga memengaruhi kualitas manusianya. Angka-angka NEET bukan semata persoalan anak muda yang malas sekolah atau bahkan tidak mau bekerja, melainkan juga refleksi dari serangkaian proses struktural yang tidak dipersiapkan untuk menyambut potensi anak muda Indonesia dalam menjawab tantangan bonus demografi. Analisis terhadap tantangan pendidikan dalam menjawab bonus demografi perlu ditelaah secara komprehensif. Kali ini, coba kita analisis menggunakan teori sosial level analysis secara lebih holistik, bagaimana instrumen individu, komunal, dan pemerintah saling memengaruhi satu sama lain. Tentunya dalam konteks ini, kita tidak dapat semata-mata mengandalkan potensi individu saja, tetapi banyak variable yang memengaruhi upaya dalam menjawab solusi bonus demografi. Maka, dalam hal ini akan dielaborasi bagaimana variable dalam level analysis saling berpengaruh satu sama lain.

Secara sederhana teori sosial level analysis adalah tingkat atau skala abstraksi yang berfungsi sebagai metode untuk memandang dan menginterpretasi realitas sosial. Level analisis dapat menentukan antara fokus, perspektif, metode, dan implikasi dari teori sosial. Teori ini memiliki tiga level yang umum digunakan, yakni di antaranya: micro, meso, dan macro. Ketiga level ini memiliki ciri dan ruanglingkup serta teori yang berbeda. Dalam konteks ini, level micro adalah skala yang paling kecil, yang berfokus pada individu atau kelompok kecil yang berinteraksi secara langsung, misalnya, individu dan keluarga. Pada level ini menekanan aspek subjetivitas, interpretatif, dan situasional dari perilaku sosial. Di mana dalam konteks pendidikan, individulah yang memiliki peran aktif dalam menunjang masa depannya untuk berhak memilih  dan mengambil keputusan strategis berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, dan nilai yang diyakini untuk menentukan pendidikan dan pekerjaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun