Mohon tunggu...
Muhammad Umar ibnu malik
Muhammad Umar ibnu malik Mohon Tunggu... Mahasiswa Program studi Pendidikan Agama Islam, UIN. Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

University Student, Journalist, Writer-Reader, Researcher.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Multi-Challenge Analysis : Antara Pendidikan dan Bonus Demografi

2 Mei 2025   22:54 Diperbarui: 2 Mei 2025   22:54 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Narasi bonus demografi akhir-akhir ini bukanlah slogan utopis, yang seolah-olah fenomena ini adalah langkah menuju Indonesia emas dengan potensi yang dimiliki kaula muda. Bonus demografi bukanlah fenomena yang perlu dibiarkan saja---selayaknya adonan donat yang dapat berkembang dengan sendirinya. Namun, bonus demografi adalah oase ditengah krisis problematika negara dari berbagai sektor untuk disikapi dengan bijak agar dapat menjawab bagaimana masa depan negara. Hal ini bukan narasi yang akan terjadi, melainkan sudah terjadi. Sebab, indonesia saat ini sudah mengalaminya, yang ditandai dengan 70% rakyatnya berada di usia produktif, yakni sekitar 208 juta jiwa yang diproyeksi akan mencapai puncaknya pada tahun 2030-2045. Itu Artinya, usia produktif ini harus diperhatikan dengan cara; bagaimana negara mampu mengejawantahkan potensi mereka supaya tidak terjebak dalam bencana sosial dan ekonomi yang lebih besar dan menjadi bumerang bagi negara itu sendiri.

Dalam sebuah video Youtube yang diunggah oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming, mengatakan bahwa bonus demografi adalah kesempatan yang tidak boleh di sia-siakan, dengan banyaknya potensi kaum muda, memungkinkan negara akan mengalami kemajuan dari sektor ekonomi yang besar. Namun demikian, Anies Baswedan dalam forum diskusi publik mengigatkan akan ancaman bonus demografi ini, yang merupakan masalah berlapis, baik dari akses pendidikan, keterbatasan lapangan pekerjaan yang bermutu, dan disrupsi teknologi. Ia menegaskan, bahwa bonus demografi bukanlah hadiah semata, lebih tepatnya ujian. Hal ini bukan persoalan seperti negara sedang menunggu waktu panen, tetapi negara yang sedang diuji untuk mempersiapkan ladang dan benih secara merata. Narasi demikian ia sampaikan tentunya untuk menjawab akan implikasi terhadap bencana sosial dan ekonomi yang bisa saja lebih konsekuensional.

Bencana sosial dan ekonomi yang besar bisa saja diawali dengan adanya fenomena bonus demografi ini. Pasalnya, masyarakat usia produktif saat ini menjadi sebuah masalah jika tidak ditangani dengan semestinya. Hal ini ditandai dengan 1 dari 5 anak muda saat ini tidak memiliki lapangan pekerjaan dan jutaan lain terjebak dalam pedidikan yang apa adanya. Sebagaimana data yang ditunjukan oleh Badan pusat Statistik (BPS) 2024, menunjukan tingkat pengangguran usia muda dengan rata-rata usia 15-24 tahun di Indonesia mencapai di angka 17,32%. Sementara itu, angka youth NEET (Not in Employment, Education, ad Training) berada di angka 20,31%, yang berarti 9 juta usia muda dari 44 juta usia produktif ini tidak bekerja, tidak bersekolah, bahkan pelatihan khusus.

Lebih lanjut, dari beberapa negara ASEAN, indonesia mengalami jumlah NEET yang lebih tinggi dari rata-rata di ASEAN dengan mencapai di angka 16,3%. Sedangkan negara lain, seperti Singapura hanya 4,1%, Vietnam 10,82%, dan Malaysia 13,36%. Itu artinya, indonesia mengalami krisis penanggulangan bonus demografi yang masyarakatnya belum secara efektif untuk diberikan wadah berupa lapangan pekerjaan (employment), pendidikan (education), dan pelatihan/kursus (training). Terlebih lagi, berdasarkan laporan Bank Indonesia, yang menunjukan bahwa IKLK (Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja) menurun dari angka 107,7 menjadi 100,3 pada januari-maret 2025. Padahal, baru beberapa bulan terkakhir, penurunan IKLK merosot cukup signifikan. Hal ini menjadi indikasi tantangan betapa sulitnya masyarakat mendapat akses pekerjaan. Demikian pula, laporan dari World Economic Outlook Dana Moneter Internasional (IMF) 2025, jumlah pengangguran termasuk kaum muda indonesia diprediksi meningkat mencapai di angka 5%, dibandingkan dengan 2024 yang mencapai di angka 4,9%. Dalam konteks ini, IMF juga memprediksi kenaikan angka akan berlanjut menjadi 5,1% pada 2026.

Sementara itu, faktanya Indonesia lebih diuntungkan secara aspek demografinya, pasalnya, negara ini ditakdirkan memasuki periode bonus demografi. Berbeda dengan Jepang, Uni Eropa, AS, serta negara maju lainnya. Tidak banyak negara yang memiliki kemewahan demografi, terlebih, negara dengan jumlah penduduk yang besar. Bayangkan, negara emerging seperti Tiongkok telah memasuki masa penuaan yang disebabkan oleh kebijakan one child policy; bahkan Rusia yang mendapati hal yang sama karena masyarakatnya tidak ingin memiliki anak, karena merasa ada beban tanggung jawab. Hanya India dan Pakistan yang memiliki posisi yang sama dengan indonesia secara demografinya. Sederhananya, bonus demografi indonesia dapat dihitung berdasarkan jumlah usia produktif, misalnya, setiap 3 penduduk di Indonesia, 2 di antaranya adalah penduduk dengan usia produktif. Berbeda dengan jepang, yang setiap 3 penduduknya, hanya 1 orang yang memiliki usia produktif. Logikanya, akselerasi pertumbuhan ekonomi berdasarkan produktivitas (usia produktif) lebih tinggi daripada Jepang. Namun demikian, perlu diingat bahwa periode bonus demohgrafi di Indonesia akan berlaku selama 30 tahun lagi sebagai penentuan. Jika hal ini tidak dimanfaatkan dengan bijak, maka dipastikan penduduk yang berusia produktif tidak dapat menjadi modal fundamental untuk mendorong pertumbuhan perekonomian.

Cobalah kita berefleksi, berapa banyak anak muda di sekeliling kita yang belum memiliki kesempatan pekerjaan dan pendidikan. Negara menggembar-gemborkan potensi kaum muda dalam bersaing di lanskap global. Namun, negara lupa ada instrumen yang lebih penting daripada sekedar potensi kaum muda---mungkin sebetulnya, kaum muda indonesia banyak yang sudah lebih siap menghadapi fenomena ini, dengan ditandainya berbagai pencapaian dan karya yang mendunia. Lagi-lagi instrumen yang paling penting dalam menjawab tantangan ini adalah pemerintah itu sendiri, yang mempunyai kewenangan dan policy untuk memanifestasikan dan memfasilitasi potensi kaum muda. Mari kita coba analisis bonus demografi secara sederhana menggunakan teori sosial level analysis.

(Sumber: Level Analysis, 2023)
(Sumber: Level Analysis, 2023)

Menyangkut bonus demografi, tentu diperlukan kerja-kerja multipihak, yang melibatkan berbagai elemen; di antaranya pemerintah (macro), sosial/komunal/organisasi (meso), dan individu (micro). Sebab, hal ini akan mempengaruhi satu sama lain. Ketika merespon narasi Wakil Presiden Gibran Rakabuming dalam unggahan video Youtube-nya, yang menekankan pada potensi pemuda perlu dikembangkan lagi dan diperlukan anak muda yang adaptif dalam konteks digital, maka tantangan bonus demografi tidak akan terjawab. Sebaliknya, menyerahkan semua jawaban atas kesempatan ini kepada pemerintah pun tidak akan selesai begitu saja. Hal ini perlu ada integrasi kerja multipihak yang menekankan aksi pemuda pada micro-level analysis seperti personal traits, skill, dan industry experience. Di samping itu aspek sosial dalam meso-level analysis, berperan dalam mengkoneksikan jaringan organisasi, komunitas, industri dalam menunjang potensi kaum muda, dengan elemen kunci yang mencakup: kebijakan organisasi, training programs, dan industry standard. Lebih lanjut, pada macro-level analysis, menekankan pada peran pemangku kebijakan; pemerintah yang memuat sistem yang lebih luas, seperti kebijakan, ekonomi, global labor trends, dan societal norms, yang menitikberatkan pada implikasi yang universal. 

Oleh karena itu, dalam hal ini, peran sentral pendidikan dalam konteks macro, meso, dan micro level analysis juga turut berkontribusi dalam menjawab tantangan bonus demografi. Pendidikan menjadi kendaraan individu di usia produktif untuk mengaktualisasi dirinya. Pendidikan menjadi sarana dalam menjawab problematika sumber daya manusia. Tapi, apakah pendidikan di Indonesia mempu menjawab tantangan bonus demografi dan memengaruhi kualitas ekonomi masyarakat dengan menunjang kapabilitas human capital? Apakah ada variable lain yang lebih berpotensi untuk memberikan kebijakan kualitas pendidikan sebelum merujuk ke optimalisasi kualitas sumber daya manusia dan sektor ekonomi?

Bagaimana Problematika Pendidikan Indonesia Implikasinya Terhadap Bonus Demografi?

Berbicara mengenai pendidikan, dalam konteks demografi pendidikan memegang peran kunci dalam mengoptimalisasi potensi  sumber daya manusia  (SDM). Sebelum beranjak jauh untuk menganalisis isu pendidikan, coba kita awali dengan sebuah pertanyaan "Bagaimana kondisi pendidikan di sekeliling kita? Apakah semua berjalan baik-baik saja? Bagaimana dengan teman-teman di luar sana yang sulit mengakses pendidikan di sekolah menengah sampai perguruan tinggi? Berapa banyak kesempatan mereka dapat mengenyam pendidikan di negeri ini? Apa kausal utama teman-teman di sekiling kita tidak dapat mengenyam pendidikan? Apakah orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan dapat dipastikan kualitas SDM dan kontribusinya?". Baiklah, hal ini yang akan kita pelajari. Kembali ke konteks pendidikan dan demografi, di Indonesia masih banyak problem yang menyangkut sektor pendidikan. Sebagai negara yang  heterogen dan memiliki berbagai etnis, golongan, agama, suku, dan ras yang terdiri lebih dari 17.500 pulau dari Sabang sampai Merauke, memiliki tantangan tersendiri dalam hal pemerataan pendidikan. Di samping itu, kesiapan fasilitas berupa infrastruktur dan teknologi, keterbatasan ekonomi, serta kompetensi dan kesediaan tenaga pengajar termasuk dalam variable lain yang memengaruhi faktor masalah pendidikan di indonesia.

Kebijakan pemerintah melalui UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menetapkan wajib belajar 9 tahun. Sementara itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah merancang RUU Sisdiknas terintegrasi untuk mewajibkan belajar 13 tahun dengan penguatan pendidikan dasar 10 tahun dan 3 tahun pendidikan menengah. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah masalah pendidikan dasar sudah efektif dan terpenuhi? Data Dirjen (Direktorat Jenderal) Kependudukan dan Pencatatan Sipil 2022, menunjukan penduduk yang mengenyam pendidikan tinggi (D1, D2, D3, S1, S2, S3) berada di angka 6,4%, dan tamatan sekolah dasar berada di angka 23,4%. Selain itu, data survey Nasional 2022, menunjukan peningkatan angka putus sekolah di angka 1,38% jenjang menengah atas (SMA), 1,06% jenjang sekolah menengah pertama (SMP), dan 0,13% jenjang Sekolah Dasar (SD). Dengan demikian, maka pemerantaan pendidikan berdasarkan data mengalami gap yang perlu di atasi untuk menjawab masalah keterputusan proses pendidikan. Artinya, kebijakan wajib belajar dalam konteks ini belum terpenuhi secara menyeluruh.

(Sumber: Katadata, 2022))
(Sumber: Katadata, 2022))

Presentasi ini, seharusnya menjadi atensi di kalangan akademisi dan politisi. Mengingat program wajib belajar merupakan sebuah bentuk jaminan negara supaya tidak terjadi putusnya pendidikan dalam memenuhi kebutuhan pengetahuan bagi masyarakat. Sebab, bonus demografi tidak akan teratasi jika pendidikan masyarakatnya saja tidak memenuhi standar kompetensi dalam menyenyam pendidikan dengan semestinya untuk bersaing di lanskap global dan menjadi generasi produktif bukan hanya berdasar usianya.

Bonus demografi yang ditandai dengan meningkatnya populasi manusia bukan perhitungan yang merujuk pada sebuah objek pendidikan, tetapi ditempatkan sebagai subjek pendidikan yang memiliki hak untuk mendapatkan askes pendidikan yang bermutu dalam menjamin pertumbuhan pengetahuan, kecerdasan, produktivitas, inovasi, dan kreativitas. Sudah masanya universitas melakukan fungsinya sebagai peran sentral mendongkrak profil lulusan yang berkompetensi. Pasalnya, universitas bukanlah berfungsi sebagai wadah yang menampung kuota peserta didik. Namun, universitas berfungsi sebagai laboratorium produktif yang menghasilkan ruang belajar adaptif, inovatif, dan merdeka untuk sustain dalam menjawab tantangan perkembangan global, baik secara teknologi, sosial, kebijakan dan human capital.

Saat ini, yang menjadi isu krusial dalam pendidikan tinggi adalah instrumentalisasi dan komersialisasi pendidikan melalui universitas. Biaya untuk mengenyam pendidikan tinggi terhitung mahal, tidak sedikit masyarakat midle-income dan kalangan bawah mengeluhkan persoalan ini. Hal ini disebabkan karena sistem regulasi yang mengatur persoalan ini. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Riset Stella Christie, menyebutkan bahwa mahalnya biaya UKT di indonesia selama ini berkaitan dengan pendanaan atau sistem perekonomian universitas. Artinya, proporsi pendanaan PTN dan PTS, selama ini banyak bergantung pada pembayaran UKT mahasiswanya---meskipun tidak semuanya. Menurutnya, ada perbedaan sistem keuangan antara universitas di Indonesia dengan univerrsitas di luar negeri, salah satu perbedaannya yakni, universitas luar negeri beberapa tidak mengandalkan UKT. Namun, berbasis pada perkembangan sains dan teknologi atau investasi riset yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sebetulnya, Indonesia diyakini dapat mengaplikasikan sistem yang sama dengan SDM yang berkompetensi. Namun demikian, Stella menungkapkan bahwa ekosistem yang mendorong mereka menghasilkan perkembangan riset, sains, dan teknologi bekum tersedia. Oleh sebab itu, universitas di Indonesia berani mematok tarif UKT yang mahal untuk menunjang infrastruktur dan perkembangan akademiknya. Seperti diberlakukannya otonomi PTN BH (Berbadan Hukum), dan proses penetapan UKT dari universitas yang kerap kali tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat, dan hal ini terjadi pada beberapa kampus PTKIN yang akhir-akhir ini mahasiswa mengeluhkan persoalan tersebut.

Lonjakan biaya pendidikan yang mahal juga menjadi variable terputusnya kesempatan pendidikan masyarakat di usia produktif. Tentunya, hal ini akan mengganggu iklim demografi yang dalam beberapa tahun ke depan akan segera kita hadapi. Jika masyarakatnya putus pendidikannya, dan tidak ada lapangan pekerjaan yang dapat menampung kapasitasnya karena tidak sesuai standar kompetensinya. Maka, usia produktif dibatalkan dengan kebijakan kontraproduktif.

Banyak pula problematika lain yang menyangkut sektor pendidikan, di antaranya kualitas pendidikan yang memasuki rangking paling tertinggal disbanding negara ASEAN, termasuk pada aspek hasil belajar, keterampilan, dan relevansi pendidikan dengan dunia kerja. Persoalan struktural ini ditandai dengan kurangnya relevansi lulusan pendidikan terhadap kebutuhan dunia kerja, di mana lulusan sekolah dan universitas kerap kali tidak diberkali kemampuan yang dibutuhkan indsutri saat ini dan masa mendatang. Di Singapura, pendidikan jalur non-universitas tidak di nomor duakan. Pendidikan vokasi dianggap setara dan bergensi dan banyak menjadi pilihan utama bukan sebatas alternatif. Pendidikan keteknikan, bahkan politeknik didesain sebagai jalur prestisius dan professional yang memfasilitasi mahasiswa dapat belajar langsung di laboratorium, simulasi nyata, dan profesional internship sehingga profil lulusannya siap bekerja dengan skill teknis yang memadai. Sedangkan di indonesia, pendidikan vokasi masih dianggap sebagai kelas alternatif yang dinimor duakan. Bahkan, kurikulum belum sepenuhnya relevan dengan industri yang mengakibatkan lulusan tidak sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.

Dalam konteks ini pula, pendidikan digunakan sebagai alat untuk mendidik dan lulus ujian serta mengejar gelar yang mengakibatkan terjadinya disintegrasi akademik. Hal ini ditandai dengan hasil survey Penilaian integritas (SPI) pendidikan 2024 yang dipublikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, yang menunjukan penilaian integritas di Indonesia berada di angka 69,5% dari skala 1-100. Menurun dibandingkan 2023 yang mencapai 73,7%. Hal ini ditunjukan dengan fenomena degradasi integritas akademik oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia yang kontroversional. Padahal, Universitas Indonesia (UI) yang terkenal dengan produktivitas dan kualitas akademiknya, kali ini dipatahkan begitu saja. Oleh karena itu, tanpa adanya integritas akademik, evaluasi kebijakan, koneksi nyata ke industri, maka usia produktif di Indonesia akan sulit untuk menjawab tantangan ekonomi dan beban sosial, yang menjadi bom waktu terjadinya bonus demografi di masa depan.

Fenomena Bonus Demografi dalam Kerangka Teori Sosial Level Analysis

Tingginya angka NEET di indonesia menjadi indikator problematika masa transisi dari sektor pendidikan ke dunia pekerjaan. Lantaran proses pendidikan juga memengaruhi kualitas manusianya. Angka-angka NEET bukan semata persoalan anak muda yang malas sekolah atau bahkan tidak mau bekerja, melainkan juga refleksi dari serangkaian proses struktural yang tidak dipersiapkan untuk menyambut potensi anak muda Indonesia dalam menjawab tantangan bonus demografi. Analisis terhadap tantangan pendidikan dalam menjawab bonus demografi perlu ditelaah secara komprehensif. Kali ini, coba kita analisis menggunakan teori sosial level analysis secara lebih holistik, bagaimana instrumen individu, komunal, dan pemerintah saling memengaruhi satu sama lain. Tentunya dalam konteks ini, kita tidak dapat semata-mata mengandalkan potensi individu saja, tetapi banyak variable yang memengaruhi upaya dalam menjawab solusi bonus demografi. Maka, dalam hal ini akan dielaborasi bagaimana variable dalam level analysis saling berpengaruh satu sama lain.

Secara sederhana teori sosial level analysis adalah tingkat atau skala abstraksi yang berfungsi sebagai metode untuk memandang dan menginterpretasi realitas sosial. Level analisis dapat menentukan antara fokus, perspektif, metode, dan implikasi dari teori sosial. Teori ini memiliki tiga level yang umum digunakan, yakni di antaranya: micro, meso, dan macro. Ketiga level ini memiliki ciri dan ruanglingkup serta teori yang berbeda. Dalam konteks ini, level micro adalah skala yang paling kecil, yang berfokus pada individu atau kelompok kecil yang berinteraksi secara langsung, misalnya, individu dan keluarga. Pada level ini menekanan aspek subjetivitas, interpretatif, dan situasional dari perilaku sosial. Di mana dalam konteks pendidikan, individulah yang memiliki peran aktif dalam menunjang masa depannya untuk berhak memilih  dan mengambil keputusan strategis berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, dan nilai yang diyakini untuk menentukan pendidikan dan pekerjaannya.

Dalam Graduate Capital Model yang dikembangkan oleh Michael Tomlinson, ada kerangka kerja yang berfokus pada sumber daya yang dibutuhkan oleh lulusan untuk berhasil bersaing di pasar kerja, terlepas dari keterampilan dan kualifikasi tradisional. Mungkin, kita seringkali mendengar informasi tentang pelatihan hard skill dan career skill yang meliputi pelatihan teknis dan pengetahuan di bidang tertentu yang diinisiasi oleh berbagai institusi/organisasi untuk meningkatkan human capital. Namun, apakah human capital berpengaruh sepenuhnya untuk berkompetisi di era bonus demografi? Tertanya tidak berhenti sampai di situ, untuk benar-benar mempunyai employability yang tinggi, individu juga membutuhkan jenis modal-modal capital lain selain human capital. 

(Sumber: Michael Tomlinson)
(Sumber: Michael Tomlinson)

Kerangka di atas adalah kualifikasi yang lebih dari human capital, dan juga memengaruhi peluang pekerjaan seseorang. Yang menjadi masalah adalah, institusi pendidikan, organisasi dan program pelatihan hanya berfokus pada satu aspek saja, sementara 4 modal lain dibiarkan menjadi urusan pribadi. Tidak sedikit anak muda yang lulus dengan Index Prestasi Kumulatif (IPK) tinggi tetapi sulit akses pekerjaannya. Sebab modal capital lain yang tertutup aksesnya. Padahal, masih ada social capital, cultural capital, identity capital, dan psychological capital yang juga menunjang karir individu. Dengan demikian, bagaimana individu yang secara micro level dapat mengembangkan potensi untuk masuk ke dunia kerja, namun secara akses belajarnya tentang modal capital tertutup dan tidak terlalu diperhatikan. Maka, dalam hal ini perlu ada peranan yang lebih besar yang menyangkut sekelompok komunal, organisasi, komunitas, dan lembaga yang mendukung proses peningkatan kapasitas diri individu.

Peran organisasi dan Lembaga institusional, seperti sekolah, perguruan tinggi, dan berbagai sektor pendidikan organisasional memiliki fungsi sebagai jembatan antara kebijakan negara (macro) dan potensi individu (micro). Seperti yang dijelaskan di atas tentang relevansi pendidikan dan dunia kerja, di Indonesia sendiri belum sepenuhnya terakomodir. Hal ini disebabkan karena kurangnya adaptasi kurikulum dengan kebutuhan pekerjaan yang dinamis. Perguruan tinggi mencetak lulusan yang overunderated but underprepared, yang pada akhirnya mengakibatkan lulusannya tidak bekerja sesuai dengan spesialisasi disiplin ilmunya. Tidak sampai di situ, gap yang terjadi antara perguruan tinggi di kota besar dengan institusi di daerah juga memengaruhi masalah ini. Bahkan, seperti yang dijelaskan di atas tentang sekolah Vokasi yang secara tidak langsung dinomor duakan oleh sistem pendidikan sendiri. Oleh karenanya, penyiapan dan cara pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan pengembangan dengan prinsip link and match antara pendidikan dan kebutuhan pasar kerja perlu dipersiapkan.

Masalah ini menjadi perhatian untuk mengetahui problematika secara level analisis meso untuk menunjang modal capital individu dalam menjawab bonus demografi. Ekosistem non-human capital seperti pada kerangka graduate capital modal juga menjadi aspek yang perlu diperhatikan. Masalah ini menjadi tindak lanjut institusi untuk menyadari bahwa lembaga pendidikan indonesia terjebak dalam rutinitas birokratik dan belum membangun ruang yang dinamis untuk mengoptimalkan berbagai modal capital lulusan. Belum lagi problematika kompetensi guru yang tidak sesuai dengan spesialisasi ilmunya, atau tidak memperhatikan etos kerja sebagai pengajar. Maka, untuk memperhatikan hal tersebut ada pengaruh yang lebih besar dengan menggunakan fungsi kebijakan pada level analisis macro.

Pada level analisis makro, menitikberatkan pada kebijakan negara, struktur ekonomi-politik, dan sistem pendidikan nasional. Pada level ini, kita dapat menganalisis bagaimana sebuah negara mengatur sistem pendidikan kita untuk menghadapi bonus demografi. Secara macro, masalah fragmentasi dan inkonsistensi kebijakan pendidikan sangat memengaruhi kualitas pendidikan. Pergantian kurikulum dan arah kebijakan yang tidak evaluatif hanya bersifat simbolik tetapi tidak sistemik sesuai dengan perubahan kabinet. Misalnya, pergantian KTSP ke K13, dan berrganti lagi ke Kurikulum Merdeka. Hal ini mengakibatkan kurangnya grand desain jangka panjang untuk pendidikan. Terlebih lagi sekarang perguruan tinggi menggunakan tagline baru yang diinisiasi oleh Menteri Pendidikan Tinggi, yakni Kampus Berdampak--transformasi dari Kampus Merdeka. Tentu kebijakan ini tidak serta-merta dapat berlangsung efektif untuk menunjang kualitas pendidikan, sebab perhatian terhadap sektor pendidikan kerap bersifat eksperimental. Tidak hanya itu, anggaran pendidikan yang diefisiensi oleh kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang memprioritaskan program MBG pun berimplikasi pada keberlangsungan pendidikan dalam menjawab bonus demografi. Pasalnya, biaya operasional riset dan infrastruktur yang tinggi setidaknya dapat menjawab persoalan-persoalan pendidikan. Tapi faktanya, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja dalam pelaksanaan APBN dan APBD tahun anggaran 2025, pagu anggaran BRIN mengalami efisiensi, yang artinya produktivitas riset di Indonesia untuk menunjang inovasi dan pengetahuan tidak benar-benar diperhatikan. Oleh karena itu, hal ini menjadi perhatian penting pemerintah yang memegang kunci utama keberlangsungan pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia dalam menjawab bonus demografi. Sebab, demografi tidak hanya soal pekerjaan, tetapi produktivitas anak muda dalam membangun kualitas ilmu pengetahuan melalui sektor pendidikan.

Banyak dari problematika yang terjadi di Indonesia dalam sektor pendidikan yang belum terangkat. Namun, yang lebih penting adalah, bagaimana kerja multipihak yang melibatkan berbagai elemen, baik dari individu, komunal, dan pemangku kebijakan untuk menjawab tantangan bonus demografi. Sebagai individu yang berkecimpung di dunia akademik, dari pada sekedar berkeras suara, lebih baik turut serta mempelajari berbagai persoalan dengan sudut pandang yang objektif-komprehensif. Yang menekankan pada dampak nyata untuk membantu masyarakat dengan memberikan fasilitas bahan bacaan dan edukasi. Lihatlah di sekeliling kita berapa banyak yang tidak bekerja dan mendapat kesempatan pendidikan. Setidaknya, coba untuk memecahkan masalah di sekeliling sebelum terlalu banyak membuang waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak jelas secara outputnya. Secara sederhana, jika kita memposisikan diri pada level analisis micro, maka kita sama dengan mencoba untuk mengatasi masalah dari yang terkecil dengan berefleksi. 

"Banyak orang ingin mengubah dunia, tapi lupa membereskan kamarnya."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun