Jeritan Sunyi Anak-anak di Balik Narasi “Banyak Anak Banyak Rezeki”
“Kami tidak minta dilahirkan. Tapi kami lahir. Lalu ditinggalkan. Dipaksa merasakan pahitnya dunia tanpa mendapatkan hak: cinta dan kasih sayang.”
Di bawah terik matahari di perempatan jalan, seorang anak kecil berdiri dengan tubuh mungil yang menggigil, mengetuk kaca-kaca mobil untuk menjajakan dagangannya. Ia bukanlah pedagang dewasa yang sadar akan pilihan hidupnya, melainkan anak yang belum sempat memilih jalan hidupnya sendiri. Ia hanyalah satu dari ribuan anak di Indonesia yang lahir dari cinta yang terburu-buru, dibesarkan dalam keyakinan “banyak anak banyak rezeki”, namun tumbuh tanpa rezeki, tanpa pelukan kasih, bahkan tanpa diakui sebagai manusia yang layak memiliki masa depan.
Suatu ketika, seorang pejabat daerah mengunjungi rumah kecil di pelosok kota. Di dalam rumah, seorang ayah duduk santai, menikmati waktu luangnya. Sementara itu, anak-anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, justru sibuk menjajakan kue keliling demi memenuhi kebutuhan rumah tangga. Ketika ditanya, sang ayah menjawab ringan, “Tidak ada pekerjaan, tidak ada pilihan.” Tapi ada alasan lain yang lebih dalam, lebih mengakar: ia percaya bahwa anak akan membawa rezekinya sendiri.
Keyakinan ini sudah terlalu lama dianggap sakral. Ia dibungkus oleh narasi agama, didukung kutipan ayat dan hadis, seolah dilindungi oleh dalil. Tapi narasi ini lupa pada satu hal: bahwa agama tidak pernah membenarkan kelahiran tanpa tanggung jawab. Islam tidak pernah menganjurkan untuk memperbanyak anak tanpa memikirkan kemampuan merawatnya. Bahkan Rasulullah ﷺ bersabda:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Melahirkan anak ke dunia tanpa kesiapan untuk mendidik, mengasihi, dan mencukupi kebutuhannya bukanlah bentuk ibadah, tapi bentuk pengabaian. Anak bukanlah ATM berjalan. Mereka bukanlah perpanjangan ekonomi keluarga. Mereka adalah amanah yang besar, sebagaimana yang digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai beban berat yang bahkan langit, bumi, dan gunung pun menolaknya. Sering kali terdengar hadits yang diucapkan dalam momen akad nikah:
“Nikahilah wanita yang subur dan penuh kasih sayang, karena aku akan berbangga dengan banyaknya umatku di hari kiamat.”
(HR. Abu Dawud)
Namun hadits ini bukan seruan untuk memperbanyak jumlah tanpa memperkuat kualitas. Ia adalah seruan membentuk umat yang kuat, sehat jasmani dan rohani, kokoh secara spiritual dan sosial. Narasi ini bukan pembenaran untuk menciptakan umat yang hidup dalam kekurangan, ketakutan, dan trauma.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2024 mencatat angka kemiskinan di Indonesia sebesar 8,57%, atau sekitar 24 juta jiwa. Sementara Bank Dunia menyebut lebih dari 60% masyarakat Indonesia tergolong rentan, bisa jatuh miskin kapan saja saat krisis datang. Rumah tangga dengan lebih dari empat anak memiliki risiko kemiskinan lebih tinggi. Dalam situasi ini, narasi “banyak anak banyak rezeki” justru menjadi jebakan sosial, bukan solusi.
Cerita ini bukan tentang satu anak. Ini tentang ribuan suara kecil yang tak terdengar. Tentang anak-anak yang seharusnya duduk di kelas, bukan di pinggir jalan. Tentang mereka yang lebih sering memeluk kardus di emperan toko ketimbang dipeluk orang tuanya. Tentang mereka yang tidak menangis karena dimarahi, tetapi karena lapar. Mereka yang bukan membutuhkan dalil, tetapi makan, pendidikan, dan pelukan.