Mohon tunggu...
Muhammad Subhan
Muhammad Subhan Mohon Tunggu... -

Muhammad Subhan, seorang jurnalis, penulis dan novelis. Editor beberapa buku. Tinggal di pinggiran Kota Padangpanjang. Bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail. Nomor kontak: 0813 7444 2075. Akun facebook: rahimaintermedia@yahoo.com, email aan_mm@yahoo.com. Blog: www.rinaikabutsinggalang.blogspot.com.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Regu Badak (11)

30 Oktober 2011   02:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:18 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

7
BERJUALAN TEBU DI SEKOLAH

Tembung di tahun 80-an banyak penduduknya bertanam tebu. Beberapa pengusaha Tionghoa membangun pabrik pengolahan tebu untuk dijadikan gula. Tebu-tebu yang ditanam warga secara massal dibeli oleh tengkulak lalu dijual ke toke-toke Tionghoa. Bila harga cocok berpindahlah tebu berikat-ikat banyaknya ke gudang-gudang besar di daerah itu.

Di hari libur aku dan Bondan sering bermain ke ladang-ladang penduduk dan meminta sisa-sisa tebu yang tidak dijual ke tengkulak. Tentu saja sebelum mendapatkan tebu kami harus bekerja dulu, diantaranya membersihkan sampah-sampah daun dan tunggul tebu di ladang-ladang yang luas. Walau tidak sesuai dengan upah yang diberikan, tapi kami senang melakukan pekerjaan itu.

Setelah selesai bekerja kami bebas mengambil tebu-tebu yang tinggi batangnya melebihi tubuh kami. Tubuhku yang kecil tentu tak dapat membawa banyak tebu-tebu itu. Paling banyak dua atau tiga batang saja. Kalau Bondan bisa sampai enam batang sekali angkut. Hebat dia.

Sesampainya di rumah kami membersihkan tebu dari kulitnya, dicuci bersih hingga terlihat isinya yang putih. Lalu dipotong kecil-kecil. Potongan-potongan tebu itulah yang kami kunyah dan isap. Terasa manis di lidah dan segar di tenggorokan. Bila berlebih kami bagi ke kawan-kawan yang lain.

Karena kami membutuhkan uang jajan, Bondan punya ide untuk berjualan tebu. Tebu-tebu yang dipotong kecil-kecil itu dicuci bersih lalu dimasukkan ke dalam plastik. Satu plastik tebu harganya lima rupiah. Mulanya aku menolak karena tidak berbakat berjualan, tapi karena melihat semangat Bondan akhirnya aku ikut juga berjualan tebu.


Siapa sangka jualan kami laris manis. Selain menjualnya pada kawan-kawan tetangga di komplek rumah tengah sawah tempat kami tinggal, kami juga menjualnya di sekolah di saat jam istirahat. Kawan-kawan berebutan membelinya. Aku dan Bondan semakin semangat mencari uang untuk menambah jajan.

“Wah, kalau begini kita bisa kaya Men,” ujar Bondan sembari menghitung uang hasil jualan kami.

Aku tersenyum-senyum saja.

“Tapi kalau kita berjualan terus nanti mengganggu pelajaran kita di sekolah, Ndan,” kataku kemudian.

“Ah, yang penting pandai-pandai saja kita membagi waktu,” jawabnya enteng.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun