Mohon tunggu...
muhammad sadji
muhammad sadji Mohon Tunggu... Lainnya - pensiunan yang selalu ingin aktif berliterasi

menulis untuk tetap mengasah otak

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

135 Tahun Ibu Inggit Garnasih

26 Februari 2023   23:30 Diperbarui: 28 Februari 2023   17:00 1341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Karno (kanan) dan Inggit (duduk tengah) bersama teman-teman mereka di Bengkulu tahun 1940. (Sumber: screenshoot via kompas.com) 

Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam biografinya antaralain menyebut, bahwa dia pernah tinggal di Indonesia, negeri yang didirikan oleh seorang kharismatik yang cemerlang yang bernama Sukarno. 

Mungkin karena itulah, dia bersama istrinya pernah mengunjungi Masjid Istiqlal, sebuah Masjid Kepresidenan yang digagas oleh Presiden Sukarno. 

Yang menarik adalah penilaian Obama yang menyebut Sukarno sebagai manusia cemerlang. Dan ternyata benar adanya apabila dirunut sepak terjang perjuangannya sejak belia. 

Baca juga: Puisi Si Uci

Pengakuan yang senada juga pernah disampaikan oleh Jenderal Besar Nasution seperti yang termuat dalam rubrik pokok & tokoh di majalah Tempo beberapa tahun yang lalu. 

Atas pertanyaan, siapa tokoh yang dia kagumi? Nasution menjawab bahwa ada dua tokoh yang sangat dia kagumi, yaitu Gubernur Jenderal Belanda yang menciptakan hegemoni Hindia Belanda yang kemudian diwarisi oleh Sukarno sebagai Indonesia Merdeka dan mempersatukannya.


 Juga Sutan Syahrir, Perdana Menteri pertama Republik Indonesia. Dalam buku yang ditulis oleh wartawan kawakan Rosihan Anwar (Penerbit Kompas 2005) disebut, bahwa ketika mendapat kunjungan Dr. Sudarsono di Rumah Tahanan Keagungan Jakarta, Syahrir menyatakan:

"Apa pun kritik kita kepada Sukarno, kita tidak boleh lupa bahwa dialah yang mempersatukan kita sebagai bangsa. Itulah jasanya". 

Dr. Sudarsono adalah mantan Menteri Dalam Negeri dan Sosial dalam Kabinet Syahrir dan mantan Dubes RI di India dan Birma (Myanmar sekarang).

Di balik kecemerlangan Sukarno tersebut, ternyata ada sosok yang paling banyak memberikan jasanya dalam perjalanan hidupnya, yaitu Inggit Garnasih. 

Perannya tersebut, ditulis dalam bentuk biografi oleh Reni Nuryanti, alumnus sejarah Universitas Negeri Yogyakarta yang mengisahkan proses pergulatan tersebut dengan sangat menarik sebagai bukti sejarah yang otentik. 

Sebagaimana diakui oleh Ahmad Syafi'I Maarif dan M. Nursam dalam pengantarnya, bahwa kematangan dan kedewasaan serta pencapaian intelektual seseorang pada umumnya diraih pada usia 40-an tahun. 

Sukarno selama proses pencapaian tersebut, separo usianya ia jalani dengan segala lika-likunya bersama Inggit Garnasih, disamping organisasi Sarekat Islam yang menempa jiwa patriotik serta kejuangannya.

Inggit Garnasih dilahirkan pada tanggal 17 Februari 1888 di desa Kamasan, Banjaran, Kabupaten Bandung dari keluarga sederhana, ayahnya seorang petani yang bernama Ardjipan dan ibunya bernama Amsi. Parasnya yang cantik sehingga banyak orang yang menyukainya.

Pada usia yang masih sangat belia, tahun 1900 sudah harus memulai kehidupan berumah-tangga dengan seorang Kopral Residen Belanda, Nata Atmadja. 

Hanya bertahan selama empat tahun kemudian bercerai. Tidak berapa lama kemudian menikah lagi dengan H. Sanusi, seorang pedagang yang juga aktif dalam organisasi Sarekat Islam yang saat itu sedang populer sebagai organisasi massa Islam pada periode awal Pergerakan. 

Pada waktu Kongres Pertama Sarekat Islam di Bandung tahun 1916, Inggit Garnasih ikut terlibat sebagai panitia sehingga ia banyak bertemu dengan para aktivis pergerakan, termasuk tokohnya misalnya HOS Tjokroaminoto dan Agus Salim.

Kaver Buku Biografi Inggit Garnasih. (Sumber: Perpusnas)
Kaver Buku Biografi Inggit Garnasih. (Sumber: Perpusnas)

Momentum ini memberinya kesempatan untuk memahami situasi sosial dan politik masa itu sehingga membuat ia mempunyai pribadi yang matang dan karakter yang kuat walau pun pendidikannya hanya setingkat Madrasah Ibtidaiyah. 

Kematangan jiwa dan karakter yang kuat ini mulai terbentuk ketika kehadiran Sukarno yang indekos di rumahnya sebagai mahasiswa THS. 

Sejarah kemudian mempertemukan mereka menjalin hidup berumah-tangga pada tanggal 24 Maret 1923 setelah diceraikan oleh H.Sanusi, Bapak kosnya. 

Dan terbukti kemudian Inggit Garnasih juga berhasil membentuk kematangan intelekltual dan jiwa kejuangan Sukarno karena sebagai pendamping sejak menjadi mahasiswa sampai menjadi tokoh politik yang disegani oleh kawan maupun lawan. 

Buku setebal 384 halaman ini terdiri atas 19 Bagian yang dilengkapi dengan gambar yang sangat langka. Tetapi sayangnya gambar-gambar tersebut tidak dicantumkan waktu atau tahun pengambilan fotonya, juga adanya istilah tolak-ukur yang mestinya tolok-ukur.

Seringkali orang bertanya, katanya jodoh itu di tangan Tuhan, tetapi kenapa ada perceraian? Menurut ajaran Islam, takdir itu ada dua macam. Takdir mubram, adalah takdir yang tidak dapat diubah dengan usaha manusia. 

Dan takdir muallaq, yaitu takdir yang dapat diubah berdasarkan kemauan, keinginan dan upaya dari masing-masing individu berkat doa dan banyaknya amal kebajikan, sehingga kadar takdir bisa sedikit berkurang. 

Ketika Sukarno menginginkan seorang istri yang merupakan perpaduan peran ibu, kekasih dan kawan, ia menemukan Inggit Garnasih. 

Ibu kosnya yang dirasakan sebagai seorang yang paling tahu dan mengerti akan dirinya, penuh kelembutan dan kasih sayang yang ditopang oleh perasaan dan jiwa yang matang. 

Perempuan yang 13 tahun lebih tua dan telah menikah yang kedua kali, memungkinkan memiliki sifat-sifat itu, atau mungkin inilah kejodohan mereka. 

Datang indekos pada tahun 1921 dan menikah pada tanggal 24 Maret 1923. Ketika H.Sanusi menjatuhkan talaknya kepada Inggit Garnasih, dia berpesan untuk membantu Sukarno agar benar-benar menjadi orang penting dan sampai benar-benar mencapai cita-citanya menjadi pemimpin rakyat (hal.113). 

Sukarno berhasil lulus dari THS pada tahun 1926 sebagai Insinyur, tetapi kebahagiaan untuk mendapatkan momongan belum berhasil setelah tiga tahun menikah. 

Mereka kemudian sepakat mengadopsi anak keponakan Inggit Garnasih yang oleh Sukarno diberi nama Ratna Djuami. Gadis bocah ini sering diajak Sukarno pergi pada kegiatan berbagai rapat dan pertemuan di rumah-rumah sahabatnya. 

Tekadnya untuk memperjuangkan kemerdekaan membuat Sukarno selalu menolak tawaran untuk bekerja di tempat yang berafiliasi atau ada hubungannya dengan Pemerintah Hindia Belanda. 

Sementara Sukarno bergiat di arena politik dan perjuangan kemerdekaan, Inggit Garnasih dengan setia menemani dan menopang kehidupan rumah-tangga dengan berdagang menjual bedak, peramu jamu dan menjahit. 

Bahkan ketika melakukan pendidikan politik di tengah masyarakat Sunda, Inggit Garnasih selalu mendampingi ke mana-mana sebagai penerjemah. 

Karena aktivitasnya berpolitik, Sukarno dan teman-temannya ditangkap Belanda, diadili dan diamankan di Penjara Sukamiskin dari tahun 1929 sampai 1931 dengan tuduhan melakukan subversif. 

Sekeluar dari penjara, Sukarno sempat menulis risalah berjudul "Mencapai Indonesia Merdeka". Karena dianggap membahayakan Pemerintah Hindia Belanda lalu mengasingkan Sukarno ke Ende -- P.Flores dari tahun 1934 sampai 1938, kemudian dipindah lagi ke Bengkulu -- Sumatera sampai kedatangan Jepang di Indonesia pada tahun 1942.

Ternyata jodoh adalah memang takdir Tuhan Yang Mahakuasa. Sampai wafatnya pada tanggal 21 Juni 1970 dan menikahi beberapa wanita, jodoh yang terlama adalah dengan Inggit Garnasih. 

Selama 20 tahun dan menemani dengan segala suka dan duka. Dia berjualan dan menjahit untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama Sukarno. Bahkan Ibundanya yang ikut dalam pengasingan ke Ende dan wafat di sana, sempat menjual rumahnya sebelum berangkat ke Ende. 

Inggit Garnasih hanya ikut berjuang mengantarkan Sukarno dan kawan-kawan ke gerbang kemerdekaan. Dia menjadi rakyat biasa dan tidak ikut merasakan kenikmatan dari jabatan yang diraih Sukarno setelah Indonesia merdeka. 

Menemani dan menopang ketika meraih intelektualitas sebagai mahasiswa, sampai lulus sarjana dan menyemangati perjuangannya sehingga mencapai legitimasi ketenaran, adalah bukan perkara mudah. 

Perlu kesabaran dan keikhlasan dalam berbakti kepada suami sebagai pejuang. Jadi teringat, di SMAN I Bekasi terdapat pamflet kutipan kata-kata Nabi Muhammad saw yang berbunyi :"Pahlawan bukanlah orang yang berani meletakkan pedangnya ke pundak lawan, tetapi pahlawan sebenarnya ialah orang yang sanggup menguasai dirinya di kala dia marah". 

Lalu menurut KBBI, pahlawan adalah orang yang menonjol karena kebenaran dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. 

Dan ada lagi, persyaratan khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah mengenai pahlawan, yaitu memiliki jiwa yang konsisten dan semangat kebangsaan yang tinggi serta melakukan perjuangan yang memiliki jangkauan luas dan berdampak nasional. 

Dalam hal ini terbukti bahwa Inggit Garnasih telah berjuang seiring sejalan dengan Sukarno yang kelak menyandang gelar sebagai Pahlawan Proklamator dan Pahlawan Nasional. 

Nah, akankah Pemerintah RI berkenan menyematkan gelar Pahlawan Nasional kepada Inggit Garnasih yang pada tanggal 17 Februari 2023 yang lalu adalah merupakan hari lahirnya yang ke-135? 

Apalagi sebelumnya, Pemerintah RI melalui Keputusan Presiden No. 073/TK/1997 tanggal 11 Agustus 1997 telah menganugerahi Inggit Garnasih penghargaan berupa Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama sebagai salah seorang tokoh wanita yang dengan gigih ikut merintis kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia.*****Bekasi, Februari 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun