Mohon tunggu...
Muhammad Sabri
Muhammad Sabri Mohon Tunggu... Penulis - Hanya ingin menulis!

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyelami Warung Kopi di Aceh, Tempat Bersarangnya Budaya Patriarki

23 November 2020   07:35 Diperbarui: 23 November 2020   07:41 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Patriarkisme adalah struktur kekuasaan yang dipelihara di dalam berbagai mitos lokal, struktur patriarki di rawat sebagai kearifan. Patriarki berasal dari bahasa Inggris, 'patriarchy' yang berarti 'rules of the father'. Istilah ini berarti aturan yang mengikuti tradisi kepabakan.

Praktik budaya patriarki masih berlangsung hingga saat ini. Walaupun, dewasa ini budaya patriarki ditentang habis-habisan oleh kawan-kawan feminisme, mereka yang mampu mencium bau tak sedap bau ketidakadialan bagi perempuan, tidak tinggal diam karena peradaban telah berbuat curang pada separuh umat manusia hanya karena bukan laki-laki.

Dampak nyata dari budaya patriarki yang memaksa perempuan menjadi bukan dirinya. Perempuan diikat oleh stereotype-stereotype 'pelabelan negatif', stereotype bahwa perempuan adalah rival, perempuan adalah sumber segala kejahatan, bahkan penyihir sering dikaitkatkan dengan perempuan, di Indonesia kita tahu ada Mak Lampir yang juga menjadi tokoh antagonis dalam perfilman Indonesia.

Sebagaimana yang telah tergambarkan bahwa perempuan adalah kaum yang termarginalkan, paradigma terus terhegemoni sampai dengan sekarang sehingga perempuan selalu dianggap kaum lemah dan tidak berdaya. Inilah faktanya bahwa seberapa kuat gerakan feminisme di Indonesia namun budaya patriarki yang sudah dipegang erat oleh masyarakat Indonesia susah dihilangkan.

Ketidaksetaraan antara peran laki-laki dan perempuan menjadi salah satu hambatan struktural yang menyebabkan individu dalam masyarakat tidak memiliki akses yang sama. Salah satu tempat di Aceh yang tidak ingin saya sebut nama desanya melanggengkan budaya patriarki hampir di setiap aspek sosial masyarakat, dan kali ini saya ingin menyorot salah satunya saja, yakni warung kopi.

Dalam kajian ini saya mengamati public patriarki (patriarki publik) yang terlihat dari dalam suasana warung kopi, dalam konteks ini perempuan seperti telah digariskan untuk tidak hadir di warung. Walau hanya untuk menikmati suasana obrolan. Warung kopi memang nyawa bagi masyarakat di desa itu, di sana bisa menjadi tempat istirahat, diskusi, makan-minum, maupun ajang silaturrahmi antar warga. 

Desa yang terletak di provinsi Aceh, yang terkenal dengan citarasa kopinya, nonggrong di warung kopi seakan menjadi kebiasaan yang tak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Desa yang boleh dibilang bukan daerah terpencil atau pun tertinggal, kalau diukur dari segi letaknya yang memang tak jauh dari perkotaan menjadi terasa begitu tertinggal karena budaya patriarki.

Perempuan yang sangat jarang  hadir untuk mencicipi empuknya kursi warung, hadir untuk meneguk kopi sambil menikmati suasana obrolan hangat khasnya warung kopi. Memunculkah satu pertanyaan, mengapa perempuan tidak atau jarang muncul ke warung kopi di desa ini?

Ada apa sebenarnya? Kenapa mereka hanya punya dua akses masuk. Pertama, masuk sebagai pengantar atau penjual kue pagi. Dan yang kedua, beli kue maupun minuman untuk di bawa pulang, dan mencicipinya di rumah masing-masing. Apa ada larangan tertulis, bahwa perempuan di larang hadir di sana. 

Sedari yang saya tahu, tidak pernah ada papan pengumuman yang menyatakan perempuan di larang hadir di warung. Atau mungkin larangan tersebut sudah tertanam sejak lama, dan di tanam tepat di benaknya si perempuan. Seakan-akan perempuan tidak layak duduk berdampingan dengan laki-laki di dalam warung,

Sejauh yang saya amati, adanya mitos perempuan yang suka keluyupan di luar adalah perempuan tidak baik. Bisa saja menjadi penyebab dari permasalahan ini, perempuan akhirnya terus-menerus dipaksa menjaga, agar nama baiknya, keluarganya, bahkan masyarakat kampung agar tak tercemar olehnya. Hanya karena ada mitos tadi. Karena mereka perempuan maka mitos mengikatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun