Mohon tunggu...
Politik

Mengapa Jokowi Tidak Hadir di Pelantikan Satgas Ekonomi?

29 Juni 2016   13:01 Diperbarui: 25 Desember 2016   21:31 165027
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dua Jenis Paket di Hari Selasa yang Aneh

Hari Selasa (28/6) kemarin adalah hari yang aneh. Kenapa aneh? Sejak Senin malamnya (27/6) seluruh media massa mainstream memberitakan, bahwa Presiden Jokowi pada Selasa pagi akan hadir di Kantor Kemenko Perekonomian dalam peresmian satgas-satgas untuk paket kebijakan ekonomi. Contohnya adalah berita-berita di bawah ini: Contoh 1 - Contoh 2 - Contoh 3

Bahkan hingga Selasa pagi, media-media tetap tidak berhenti memberitakan rencana kehadiran Presiden untuk meresmikan satgas-satgas paket kebijakan ekonomi bentukan dari Menko Perekonomian Darmin Nasution tersebut: Beritasatu.com dan Media indonesia

Namun, sungguh disesalkan. Ternyata Presiden Jokowi batal hadir dan digantikan oleh Wapres Jusuf Kalla untuk meresmikan satgas tersebut. Berita di bawah ini, mungkin masih sulit menerima kenyataan ketidak hadiran Presiden, meski tetap memajang foto Presiden Jokowi dan didalam isi pemberitaannya adalah tentang pernyataan Wapres Jusuf Kalla: Tempo.com

Berita lainnya tampak lebih legowo dan mengambil posisi lebih bijak, untuk jujur pada kenyataan: Tribunnews.comfinansial.bisnis.com

Mungkin hanya sedikit publik yang mencermati keanehan ini, yaitu saat semua media dibuat “kecele” oleh Presiden di hari Selasa pagi. Untuk itulah tulisan ini dibuat, mengabarkannya.

Namun bagian yang terpenting bukanlah hal-hal tersebut di atas. Sore harinya, setelah melakukan serangkaian kegiatan di Istana Negara, Presiden pulang ke Kota Bogor sembari mendadak menyempatkan diri blusukan untuk membagikan langsung sembako kepada masyarakat di sana: news.metrotvnews.com  -  Beritasatu

Jadi bila disimpulkan: pada hari Selasa tersebut, pagi harinya Jokowi “menolak” hadir di acara resmi kenegaraan yang bertujuan untuk pembentukan satgas untuk mengevaluasi 12 “paket” kebijakan ekonomi pemerintah, namun sore harinya secara mendadak  membagikan ribuan “paket” sembako untuk sedikir meringankan beban ekonomi rakyat. 

Seolah, ya, seolah Jokowi yang tak berpendidikan ekonomi hendak mengajarkan dari Kota Bogor kepada para ekonom sekolahan yang berkumpul di Lapangan Banteng, Jakarta, bahwa daripada menyibukkan diri dengan “paket-paket” kebijakan yang tidak nendang sama sekali untuk kesejahteraan rakyat, lebih baik kita blusukan memberikan “paket-paket” yang memang jelas membantu meringankan daya beli rakyat.

Presiden Joko Widodo mengunjungi Kampung Karamat, Kelurahan Panaragan, Kota Bogor meninjau pembagian sembako untuk warga, Selasa (28/6/2016). Sembako yang dibagikan kepada warga berupa beras, gula, minyak goreng dan teh kemasan.. (Warta Kota/alex suban). Diambil dari: tribunnews.com
Presiden Joko Widodo mengunjungi Kampung Karamat, Kelurahan Panaragan, Kota Bogor meninjau pembagian sembako untuk warga, Selasa (28/6/2016). Sembako yang dibagikan kepada warga berupa beras, gula, minyak goreng dan teh kemasan.. (Warta Kota/alex suban). Diambil dari: tribunnews.com
Diambil dari: Kompas.com
Diambil dari: Kompas.com
 Hampir 2 Tahun Pemerintahan, Kartel Pangan tetap Tidak Tersentuh

Presiden Jokowi sangat tegas menginginkan membaiknya daya beli masyarakat, terutama saat menyambut Hari Lebaran. Setidaknya dalam sebulan ini, sudah tiga kali Presiden meminta para pejabat di bidang ekonomi untuk menurunkan harga daging sapi dari kisaran Rp 120 ribu ke kisaran Rp 80 ribu . 

Pertama adalah pada 23 Mei 2016: tempo.com

Kedua adalah sehari setelah Hari Kelahiran Bung Karno 6 Juni: pikiran-rakyat.com

Ketiga adalah pada hari kelahirannya 21 Juni. Pada kesempatan ini Presiden Jokowi sedikit memberikan “petunjuk” tentang disparitas harga yang keterlaluan di dalam dan luar negeri: m.tempo.com

Walau sebenarnya keinginan Presiden Jokowi ini sudah diutarakannya sejak April 2016 agar para menteri ekonominya dapat bersiap dari jauh hari untuk menurunkan harga daging sapi: detik.com

Dan nyatanya hingga kini seminggu menjelang Lebaran, harga daging sapi masih bertengger di atas kisaran Rp 120 ribu, kira-kira 100% lebih mahal dari harga di negara tetangga. Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) sudah berulang-ulang memperingatkan, bahwa terdapat kartel dalam sistem kuota impor daging sapi, hanya peringatan tersebut bagaikan gonggongan anjing yang tidak dihiraukan si khafilah...

Jokowi pantas kecewa, karena ternyata para pejabat pembantunya di bidang ekonomi tidak mampu mewujudkan janji politiknya pada Pilpres 2014, sejak hampir 2 tahun yang lalu, untuk mewujudkan kedaulatan pangan dengan memberantas kartel impor pangan: Kompas.com  -  kabar24.com

Padahal selama hampir 2 tahun Pemerintahan ini sudah dua nama Menteri Koordinator Perekonomian dicoba Jokowi: Sofyan Djalil dan Darmin Nasution. Namun, tidak satupun dari mereka yang sanggup memenuhi janji kampanye Jokowi di Pilpres 2014.

Kudeta Merangkak lewat Sektor Ekonomi

Wajar bila kemudian publik berspekulasi. Jangan-jangan yang sedang kasat mata terjadi di pemerintahan sekarang ini adalah suatu kudeta merangkak (creeping coup), mirip yang dilakukan oleh Suharto pada Bung Karno 49 tahun lalu.

(baca: selengkapnya).

Dulu Suharto memanipulasi G 30 S untuk habisi saingannya sesama Jenderal AD, kambing hitamkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang, meminta Supersemar dari Bung Karno untuk kemudian digunakan Suharto menghabisi sisa kekuatan politik pendukung Bung Karno, baru menjatuhkan Bung Karno di MPR yang mayoritas anggotanya adalah pendukung Suharto. Kurang dari 2 tahun kudeta ini sukses, Suharto pun naik menjadi Presiden.

Mungkin kini alur dan sistematikanya agak berbeda. Sejak awal Jusuf Kalla (JK) tidak percaya dengan kualitas Jokowi untuk naik sebagai Presiden, tapi karena rakyat Indonesia menginginkan Jokowi sebagai Presiden, JK mengalah untuk mendampinginya sebagai wakil presiden dan kemudian terpilih. 

Setelah naik menjadi Wapres, JK terus merancang strategi agar pemerintahan Jokowi tidak bertahan lama. Karena JK bukanlah militer dan era kudeta militer sudah berlalu, dan juga karena Jokowi sangat sulit dijatuhkan lewat perkara korupsi karena integritasnya, maka disusunlah strategi untuk melakukan deligitimasi di sektor ekonomi.

Bila ekonomi (daya beli) rakyat terus memburuk, sementara secara fiskal dan moneter juga kedodoran, maka krisis ekonomi sudah di depan mata, yang dapat berkembang menjadi krisis politik yang berujung pada pemakzulan Jokowi di akhir tahun ke-2 nya. Inilah alasannya sejak awal JK meminta jatah menko perekonomian, dipilihlah Sofyan Djalil yang tidak kompeten dalam hal makroekonomi.

Jokowi menggugat kualitas Sofyan Djalil setelah 1 tahun pemerintahan, meminta dilakukan reshuffle. JK kemudian menyodorkan Darmin Nasution, birokrat yang sedikit mengerti makroekonomi namun tidak memiliki kepemimpinan, lamban, dan tidak mampu melakukan terobosan sebagai ganti Sofyan Djalil. Dan di bawah Darmin situasi ekonomi bahkan menjadi lebih buruk.

Beberapa indikator seperti peringkat surat utang dari lembaga rating tidak membaik sejak masa Sofyan Djalil hingga Darmin Nasution, tetap BB+. Pertumbuhan ekonomi malah lebih buruk di era Darmin (turun hingga 4,9%), karena di era Sofyan Djalil masih di kisaran 5%. Di sisi fiskal, karena tidak tercapainya penerimaan pajak dan defisit yang membengkak, per APBN Perubahan 2016 saja sudah terjadi pemotongan anggaran sebesar Rp 70 triliun, yang menyebabkan beberapa proyek infrastruktur andalan Jokowi harus mangkrak.

Sementara ekspektasi terhadap tax amnesty dan repatriasi modal terlalu berlebihan (tidak rasional), walaupun ini adalah kesalahan perhitungan Menkeu Bambang Brodjonegoro, tapi Darmin sebagai atasannya tetap harus mengambil tanggung jawab. Atas kesalahan ini, pada semester ke-II 2016 dimungkinkan kembali terjadi pemotongan anggaran hingga Rp 100 triliun.

Yang paling mengkhawatirkan di era Darmin adalah pertumbuhan kredit, yang sejak Januari hingga Mei 2016 pertumbuhannya hanya 0,3% (padahal dalam situasi ekonomi yang normal, pertumbuhan kredit berada di kisaran 6-7%, dan dalam situasi yang baik bahkan dapat mencapai 10-14%). Artinya, bila kredit hampir tidak bertumbuh, adalah masyarakat sudah tidak punya daya beli.

Sementara pertumbuhan deposito hanya di kisaran 2%, padahal dalam situasi ekonomi yang normal dapat berada di kisaran 7-10%. Artinya masyarakat juga tidak memiliki kelebihan uang yang dapat ditabung. 

Bila koreksi fiskal berkombinasi dengan kontraksi moneter, pertumbuhan ekonomi di kuartal ke-II dapat turun ke 4,7%, dan kuartal ke –III bahkan dapat jatuh hingga 4,5%. Bila ini yang terjadi, bukan tidak mungkin di penghujung tahun kita berhadapan dengan resesi ekonomi. 

Presiden Jokowi mungkin sudah sadar dengan strategi sabotase ekonomi berujung pemakzulan yang sedang dilancarkan JK. Kita harus berterima kasih untuk insting politik Jokowi yang terkenal tajam. Maka, kembali pada tema Selasa kemarin yang aneh, ternyata sekarang menjadi tidak aneh lagi bila Presiden menghindar saat diminta Darmin meresmikan satgas paket kebijakan di lapangan banteng, dan malah menyerahkannya ke JK.

Presiden seolah ingin tunjukkan juga kepada publik siapa yang sebenarnya bertanggung jawab di belakang kegagalan Darmin. ***

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun