Apa yang dimaksud korupsi?
Korupsi adalah penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara yang melanggar hukum dan merugikan kepentingan publik. Praktik korupsi dapat terjadi di berbagai sektor, baik dalam pemerintahan, bisnis, maupun organisasi non-pemerintah. Bentuk-bentuk korupsi sangat beragam, termasuk suap, penggelapan dana, nepotisme, gratifikasi, serta manipulasi kebijakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Korupsi tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga bisa melibatkan jaringan yang lebih luas, seperti kartel bisnis atau sindikat politik yang bekerja sama untuk mempertahankan kekuasaan dan mengamankan kepentingan mereka.
Istilah "korupsi" berasal dari bahasa Latin corruptio atau corruptus, yang menggambarkan perubahan dari keadaan yang adil, benar, dan jujur menjadi sebaliknya. Kata corruptio sendiri berakar dari bahasa Latin kuno corrumpere, yang memiliki makna seperti membusukkan, merusak, menggoyahkan, menyuap, atau memutarbalikkan sesuatu (Nair, 2006: 281-282). Dari bahasa Latin inilah kemudian muncul istilah corruption dalam bahasa Inggris, corruption dalam bahasa Prancis, serta corruptie/korruptie dalam bahasa Belanda. Secara harfiah, kata "korupsi" mengandung arti kebusukan, kebejatan, ketidakmoralitasan, serta kecenderungan untuk disuap atau menyimpang dari nilai-nilai kesucian.Â
Menurut Black Law Dictionary, sebagaimana disebutkan dalam modul Tindak Pidana Korupsi KPK, korupsi merujuk pada tindakan yang dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan yang bertentangan dengan tugas resmi dan prinsip-prinsip kebenaran. Definisi ini mengacu pada tindakan penyalahgunaan kepercayaan atau kewenangan seseorang yang melanggar hukum untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau untuk orang lain. Sejalan dengan definisi ini, Bank Dunia pada tahun 2000 mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan atau jabatan publik demi kepentingan pribadi. Sementara itu, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), korupsi diartikan sebagai penyalahgunaan atau penyelewengan uang negara, perusahaan, atau organisasi lainnya untuk kepentingan pribadi maupun pihak tertentu. Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah perilaku yang bertentangan dengan hukum, norma, dan etika dengan tujuan memperoleh keuntungan yang tidak sah, baik dalam bentuk uang, barang, jasa, maupun manfaat lainnya. Korupsi sering kali berdampak buruk pada masyarakat karena menghambat pembangunan, merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah, dan meningkatkan ketimpangan sosial. Di sektor ekonomi, korupsi dapat menyebabkan inefisiensi dalam distribusi sumber daya, menghambat investasi, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, di sektor sosial dan politik, korupsi dapat melemahkan institusi demokrasi, menciptakan ketidakadilan, dan mengurangi kualitas pelayanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu, banyak negara memiliki undang-undang serta lembaga khusus untuk memberantas korupsi, seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Indonesia, yang memiliki tugas untuk melakukan pencegahan, penyelidikan, dan penindakan terhadap kasus korupsi.
Robert Klitgaard merupakan seorang ahli antikorupsi yang memiliki pengalaman luas sebagai konsultan dan peneliti di lebih dari 39 negara, termasuk wilayah Afrika, Asia, dan Amerika Latin. Dengan latar belakang akademis yang kuat serta keterlibatan langsung dalam berbagai isu tata kelola pemerintahan, Klitgaard memberikan kontribusi yang signifikan dalam merumuskan strategi pemberantasan korupsi di berbagai negara dengan sistem politik dan ekonomi yang beragam. Menurutnya, korupsi terjadi ketika seseorang menyalahgunakan jabatan atau kewenangannya demi memperoleh keuntungan pribadi, baik dalam bentuk status, kekuasaan, maupun finansial. Ia menyoroti bahwa praktik korupsi sering terjadi di kalangan pejabat negara yang memiliki akses terhadap sumber daya publik serta kekuasaan dalam pengambilan keputusan, yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dampak dari korupsi tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga dapat merusak sistem hukum, melemahkan prinsip demokrasi, dan menghambat pembangunan sosial serta ekonomi suatu negara.Â
Untuk menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya korupsi dalam suatu sistem, Klitgaard merumuskan konsep yang dikenal luas dalam kajian antikorupsi, yaitu: Korupsi = Monopoli + Diskresi -- Akuntabilitas. Monopoli dalam konteks ini terjadi ketika individu atau lembaga memiliki kendali penuh atas sumber daya atau proses pengambilan keputusan tanpa adanya pesaing atau alternatif yang dapat memberikan pilihan lain. Ketidakseimbangan kekuasaan ini membuka peluang bagi penyalahgunaan wewenang. Di Indonesia, monopoli sering ditemukan dalam birokrasi, terutama dalam pengelolaan proyek infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, serta penerbitan izin. Beberapa instansi memiliki kewenangan eksklusif untuk menentukan kebijakan atau mengawasi sektor tertentu tanpa pengawasan yang ketat, sehingga memungkinkan pejabat terkait melakukan korupsi seperti suap, nepotisme, atau pengaturan kebijakan demi keuntungan kelompok tertentu. Praktik monopoli yang disertai dengan korupsi dapat berdampak negatif terhadap perekonomian negara, memperlambat investasi, menghambat inovasi, serta menurunkan kualitas layanan publik. Oleh sebab itu, untuk mengurangi risiko korupsi akibat monopoli, diperlukan reformasi birokrasi yang mendorong transparansi, persaingan yang sehat, serta pengawasan yang lebih efektif oleh lembaga independen dan masyarakat.Â
Selain monopoli, faktor lain yang mendorong korupsi adalah diskresi yang berlebihan. Diskresi merujuk pada kewenangan yang dimiliki pejabat dalam membuat keputusan berdasarkan kebijakan internal atau pertimbangan pribadi. Meskipun diskresi penting dalam sistem pemerintahan agar kebijakan dapat disesuaikan dengan situasi yang dinamis, keleluasaan ini dapat menjadi celah bagi praktik korupsi jika tidak diimbangi dengan pengawasan dan akuntabilitas yang kuat. Salah satu contoh penyalahgunaan diskresi adalah dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah. Pejabat yang memiliki wewenang luas dalam menentukan pemenang tender dapat dengan mudah mengarahkan proyek kepada pihak tertentu tanpa melalui prosedur yang transparan dan kompetitif, yang dapat berujung pada praktik kolusi, penggelembungan anggaran, serta rendahnya kualitas hasil pekerjaan. Selain itu, diskresi yang tidak terkontrol juga sering terjadi dalam pemberian izin usaha, pengelolaan dana bantuan sosial, dan berbagai proses perizinan lainnya. Untuk mencegah penyalahgunaan ini, diperlukan kebijakan yang menitikberatkan pada transparansi, pengawasan berjenjang, serta sistem audit yang ketat sehingga diskresi tetap dapat dimanfaatkan secara positif tanpa menjadi celah bagi tindakan koruptif.Â
Faktor terakhir yang berkontribusi terhadap maraknya korupsi adalah lemahnya akuntabilitas dalam suatu institusi, yang mengindikasikan kurangnya sistem pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap tindakan korupsi. Ketika mekanisme pengawasan tidak berjalan dengan baik, para pelaku korupsi dapat menyalahgunakan wewenangnya tanpa takut akan konsekuensi hukum. Dalam konteks pemerintahan, kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan dan lemahnya kontrol terhadap anggaran negara sering kali menjadi faktor utama yang memperparah kondisi ini. Di Indonesia, lemahnya sistem pengawasan internal dan eksternal menjadi salah satu penyebab utama maraknya korupsi di berbagai sektor. Pengawasan internal yang dilakukan oleh lembaga pemerintah kerap tidak efektif akibat adanya konflik kepentingan dan budaya impunitas. Sementara itu, pengawasan eksternal yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau masyarakat sering kali terkendala oleh keterbatasan akses informasi serta tekanan politik yang menghambat investigasi dan penindakan. Beberapa kasus korupsi besar di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun kejahatan terungkap ke publik, pelakunya sering kali hanya menerima hukuman ringan atau bahkan bebas dari sanksi yang semestinya dijatuhkan. Tidak jarang, pejabat yang telah menjalani hukuman kembali menduduki jabatan strategis atau tetap menikmati hasil korupsi karena lemahnya sistem pemulihan aset negara. Oleh karena itu, untuk menegakkan akuntabilitas secara maksimal dan mengurangi praktik korupsi, diperlukan reformasi hukum yang lebih tegas, penguatan lembaga pengawas, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengawal kebijakan publik.
Mengapa praktik korupsi di Indonesia terus berlangsung?
Korupsi di Indonesia terus berlangsung akibat berbagai faktor yang saling berkaitan, baik dari segi sistem pemerintahan, hukum, budaya, maupun individu. Fenomena ini telah menjadi permasalahan serius yang menghambat kemajuan negara, merugikan perekonomian, serta melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Salah satu penyebab utama maraknya korupsi adalah lemahnya penegakan hukum. Meskipun banyak kasus korupsi telah terungkap dan diproses secara hukum, sistem peradilan di Indonesia masih dinilai tidak cukup tegas dalam memberikan efek jera kepada para pelaku. Banyak koruptor hanya dijatuhi hukuman ringan, bahkan beberapa di antaranya mendapat remisi atau keringanan hukuman di kemudian hari. Hukuman yang tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan justru mendorong semakin banyak oknum pejabat yang tergoda untuk melakukan tindakan serupa. Selain itu, lemahnya upaya pemulihan aset menyebabkan uang hasil korupsi sulit dikembalikan secara penuh kepada negara. Akibatnya, banyak pelaku yang tetap bisa menikmati hasil kejahatannya setelah menjalani masa hukuman, yang pada akhirnya tidak mengurangi motivasi korupsi di kalangan pejabat publik. Tidak hanya itu, intervensi politik dan kekuasaan juga turut memperburuk situasi, di mana individu yang memiliki pengaruh politik kerap mendapatkan perlindungan hukum, bahkan ada yang bebas dari tuntutan meskipun terlibat dalam kasus korupsi besar. Â
Selain lemahnya penegakan hukum, budaya korupsi yang telah mengakar dalam kehidupan sosial dan birokrasi di Indonesia semakin memperparah kondisi ini. Korupsi bukan lagi sekadar tindakan kriminal, tetapi telah menjadi praktik yang dianggap wajar di berbagai tingkatan masyarakat. Sikap permisif terhadap korupsi sering kali diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, menciptakan lingkungan yang sulit untuk berubah. Banyak orang berpandangan bahwa korupsi merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem birokrasi dan tidak dapat dihindari. Persepsi ini semakin diperkuat dengan adanya praktik gratifikasi dan suap yang sudah menjadi kebiasaan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pungutan liar dalam layanan publik hingga suap dalam proyek-proyek pemerintah bernilai miliaran rupiah. Sayangnya, masih ada sebagian masyarakat yang melihat tindakan ini sebagai sesuatu yang biasa dan tidak merasa perlu untuk melawan atau melaporkannya. Jika budaya ini terus berlanjut tanpa adanya perlawanan yang serius, maka upaya pemberantasan korupsi akan menjadi semakin sulit dilakukan.Â
Selain aspek budaya, faktor struktural dalam sistem birokrasi Indonesia juga menjadi penyebab utama maraknya korupsi. Struktur birokrasi yang kompleks, panjang, dan berbelit-belit menciptakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk meminta suap atau gratifikasi guna mempercepat proses administrasi. Dalam banyak kasus, masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan lebih cepat terpaksa memberikan uang pelicin agar urusan mereka segera diproses. Di sisi lain, monopoli kekuasaan yang terjadi di beberapa sektor memperbesar peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang. Tanpa adanya mekanisme kontrol yang ketat, pejabat yang memiliki otoritas tinggi dapat dengan mudah mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan dirinya sendiri atau kelompok tertentu. Ketiadaan pesaing dan kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan semakin memperkuat kecenderungan koruptif di lingkungan birokrasi.Â
Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pemerintahan semakin memperbesar peluang terjadinya korupsi. Banyak kebijakan, anggaran, dan proyek pengadaan yang tidak dilakukan secara terbuka, sehingga sulit bagi masyarakat atau lembaga pengawas untuk mendeteksi adanya penyimpangan. Tanpa adanya transparansi, pejabat yang korup memiliki lebih banyak kesempatan untuk menyalahgunakan kewenangan mereka tanpa takut akan terungkap atau mendapatkan hukuman yang setimpal. Beberapa kasus menunjukkan bahwa pengelolaan anggaran negara kerap tidak diawasi dengan ketat, menyebabkan praktik korupsi semakin marak, terutama dalam proyek-proyek pemerintah yang melibatkan dana besar. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan sistem pengawasan yang lebih ketat, baik dari lembaga negara maupun masyarakat sipil, agar penggunaan anggaran dapat dilakukan secara efisien dan bertanggung jawab.Â
Di sisi lain, faktor politik juga berperan besar dalam mempertahankan budaya korupsi di Indonesia. Biaya politik yang tinggi, terutama dalam kampanye pemilu, membuat banyak politisi merasa terpaksa mencari sumber dana tambahan dengan cara yang tidak sah. Demi memperoleh modal kampanye dan mempertahankan kekuasaan, mereka kerap melakukan berbagai bentuk korupsi, seperti menerima suap, merekayasa proyek fiktif, atau mengatur kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu. Situasi ini semakin diperburuk dengan lemahnya regulasi dalam sistem pendanaan partai politik, yang memungkinkan praktik korupsi terus terjadi di kalangan pejabat dan wakil rakyat. Jika tidak ada reformasi yang jelas dalam sistem politik dan pendanaan kampanye, maka perilaku koruptif di kalangan pejabat publik akan terus berlanjut dan sulit diberantas.Â
Selain faktor-faktor di atas, kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengawasan juga menjadi penyebab utama mengapa korupsi masih marak di Indonesia. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mengawasi kebijakan serta pengelolaan keuangan negara masih rendah. Padahal, partisipasi publik sangat penting dalam mencegah praktik korupsi, baik melalui pelaporan kasus korupsi maupun dengan meningkatkan kontrol sosial terhadap pejabat publik. Namun, banyak masyarakat yang enggan melaporkan kasus korupsi karena takut akan ancaman atau tidak percaya pada sistem hukum yang ada. Beberapa kasus menunjukkan bahwa pelapor korupsi justru mengalami intimidasi atau bahkan dikriminalisasi, yang semakin memperlemah semangat warga untuk turut serta dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi para pelapor kasus korupsi serta mendorong masyarakat untuk lebih aktif dalam mengawasi kebijakan dan anggaran negara.Â
Contoh kasus:
Kasus korupsi benih lobster yang melibatkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, menjadi salah satu skandal besar dalam pemerintahan Indonesia. Edhy ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 25 November 2020 di Bandara Soekarno-Hatta setelah kembali dari kunjungan kerja di Amerika Serikat. Ia diduga menerima suap terkait ekspor benih lobster atau benur, yang sebelumnya dilarang pada era Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya, Susi Pudjiastuti.
Edhy Prabowo diduga menyalahgunakan kewenangannya dalam penerbitan izin ekspor benih lobster kepada sejumlah perusahaan. Dalam proses perizinan tersebut, perusahaan-perusahaan yang ingin mendapatkan izin harus menyetor sejumlah uang kepada pihak tertentu yang kemudian diduga mengalir ke Edhy dan orang-orang terdekatnya. Uang hasil suap ini disebut digunakan untuk berbagai kepentingan pribadi, termasuk belanja barang mewah di Amerika Serikat, seperti jam tangan Rolex, tas Louis Vuitton, dan sepeda balap, yang terungkap dalam penangkapan KPK.
Selain Edhy, beberapa pejabat di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta pihak swasta juga terlibat dalam kasus ini. KPK menemukan adanya aliran dana yang cukup besar dari para eksportir benih lobster ke sejumlah rekening yang dikendalikan oleh orang-orang dekat Edhy. Skema suap ini diduga melibatkan pihak swasta yang mengoordinasikan pembayaran dari eksportir kepada pejabat KKP.
Dalam persidangan, Edhy Prabowo akhirnya divonis bersalah dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan. Selain itu, ia juga dikenai kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp9,6 miliar dan US$77.000 yang harus dikembalikan ke negara. Hakim menilai bahwa perbuatan Edhy telah mencederai kepercayaan masyarakat dan merugikan negara, terutama sektor perikanan yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan nelayan dan masyarakat luas.
Kasus ini juga menimbulkan polemik terkait kebijakan ekspor benih lobster di Indonesia. Sebelum kepemimpinan Edhy, kebijakan ekspor benur dilarang oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya, Susi Pudjiastuti, dengan alasan menjaga ekosistem dan populasi lobster di laut Indonesia. Namun, setelah Edhy menjabat sebagai menteri, kebijakan ini berubah dan ekspor benih lobster kembali diperbolehkan, meskipun banyak pihak yang mengkritiknya. Kebijakan ini dianggap lebih menguntungkan segelintir pengusaha dibandingkan nelayan kecil, yang sebenarnya menjadi pihak yang paling terdampak oleh eksploitasi sumber daya laut secara berlebihan.
Dampak dari kasus ini tidak hanya merugikan negara dalam aspek keuangan, tetapi juga menciptakan ketidakpercayaan publik terhadap pejabat pemerintahan. Kasus ini menunjukkan bagaimana praktik korupsi dapat menyusup ke dalam kebijakan publik yang seharusnya ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Selain itu, korupsi dalam sektor perikanan juga berdampak pada keberlanjutan sumber daya laut Indonesia, yang seharusnya dikelola dengan prinsip keberlanjutan dan kepentingan jangka panjang.
Bagaimana kasus korupsi benih lobster jika dikaitkan dengan teori Robert Klitgaard?
Kasus korupsi benih lobster yang melibatkan Edhy Prabowo jika dianalisis menggunakan teori korupsi dari Robert Klitgaard, yang menyatakan bahwa:Â
Korupsi = Monopoli + Diskresi -- AkuntabilitasÂ
Dalam konteks ini, korupsi terjadi karena adanya monopoli kewenangan dalam perizinan, diskresi dalam pengambilan keputusan tanpa pengawasan yang efektif, serta lemahnya akuntabilitas dalam pelaksanaan kebijakan publik.Â
1. Monopoli KekuasaanÂ
  Sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo memiliki kontrol penuh atas kebijakan ekspor benih lobster. Keputusan untuk mencabut larangan ekspor yang sebelumnya diberlakukan oleh Menteri Susi Pudjiastuti memberikan peluang bagi kelompok tertentu untuk mendapatkan keuntungan. Dalam situasi ini, monopoli terjadi karena hanya pihak-pihak tertentu yang memperoleh akses terhadap izin ekspor, sementara nelayan kecil dan pelaku usaha lainnya tidak memiliki kesempatan yang sama. Ketimpangan ini memperlihatkan bagaimana konsentrasi kekuasaan dalam satu tangan dapat membuka celah korupsi ketika tidak disertai dengan mekanisme kontrol yang memadai.Â
2. Diskresi Tanpa Pengawasan
  Selain memiliki monopoli dalam kebijakan, Edhy Prabowo juga memiliki diskresi tinggi dalam menentukan siapa yang berhak mendapatkan izin ekspor benih lobster. Tidak adanya regulasi yang jelas dan pengawasan yang ketat terhadap proses perizinan membuatnya bisa bertindak sesuka hati. Dalam kasus ini, kewenangan yang terlalu luas memungkinkan praktik korupsi terjadi, di mana izin hanya diberikan kepada perusahaan yang bersedia membayar sejumlah uang. Kurangnya transparansi dalam mekanisme perizinan semakin memperburuk keadaan, sebab masyarakat dan lembaga pengawas sulit untuk mendeteksi adanya penyimpangan sejak awal.Â
3. Minimnya AkuntabilitasÂ
  Ketiadaan akuntabilitas yang kuat dalam kebijakan ekspor benih lobster menjadi faktor utama yang membuat praktik korupsi ini terus berlangsung hingga akhirnya terungkap. Seharusnya, setiap kebijakan publik dijalankan dengan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas agar tidak ada ruang bagi penyalahgunaan wewenang. Namun, dalam kasus ini, sistem pengawasan yang lemah membuat pejabat terkait dapat bertindak tanpa rasa takut terhadap konsekuensi hukum. Akibatnya, praktik suap dan gratifikasi berlangsung secara sistematis, bahkan melibatkan pihak-pihak dari berbagai lapisan, baik di pemerintahan maupun sektor swasta.Â
Kasus ini menunjukkan bagaimana korupsi dapat berkembang ketika monopoli kekuasaan, diskresi tanpa batas, dan minimnya akuntabilitas terjadi secara bersamaan. Ketiga faktor ini menciptakan lingkungan yang kondusif bagi penyalahgunaan wewenang demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, untuk mencegah kasus serupa di masa depan, diperlukan reformasi dalam sistem perizinan agar lebih transparan dan berkeadilan. Penguatan lembaga pengawas, penerapan sistem digital dalam perizinan untuk mengurangi interaksi langsung, serta peningkatan partisipasi publik dalam pengawasan kebijakan menjadi langkah penting dalam memberantas korupsi di sektor perikanan dan bidang lainnya.
Refresnsi :
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI