Mohon tunggu...
muhammadreichard
muhammadreichard Mohon Tunggu... Wiraswasta

41123110116 Kampus Universitas Mercu Buana Meruya | Fakultas Teknik | Prodi S1 Teknik Sipil | Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB I Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo Daito, S.E, AK., M.Si, CIFM, CIABV, CIABG

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitgaard

19 Februari 2025   01:29 Diperbarui: 19 Februari 2025   01:29 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korupsi di Indonesia terus berlangsung akibat berbagai faktor yang saling berkaitan, baik dari segi sistem pemerintahan, hukum, budaya, maupun individu. Fenomena ini telah menjadi permasalahan serius yang menghambat kemajuan negara, merugikan perekonomian, serta melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Salah satu penyebab utama maraknya korupsi adalah lemahnya penegakan hukum. Meskipun banyak kasus korupsi telah terungkap dan diproses secara hukum, sistem peradilan di Indonesia masih dinilai tidak cukup tegas dalam memberikan efek jera kepada para pelaku. Banyak koruptor hanya dijatuhi hukuman ringan, bahkan beberapa di antaranya mendapat remisi atau keringanan hukuman di kemudian hari. Hukuman yang tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan justru mendorong semakin banyak oknum pejabat yang tergoda untuk melakukan tindakan serupa. Selain itu, lemahnya upaya pemulihan aset menyebabkan uang hasil korupsi sulit dikembalikan secara penuh kepada negara. Akibatnya, banyak pelaku yang tetap bisa menikmati hasil kejahatannya setelah menjalani masa hukuman, yang pada akhirnya tidak mengurangi motivasi korupsi di kalangan pejabat publik. Tidak hanya itu, intervensi politik dan kekuasaan juga turut memperburuk situasi, di mana individu yang memiliki pengaruh politik kerap mendapatkan perlindungan hukum, bahkan ada yang bebas dari tuntutan meskipun terlibat dalam kasus korupsi besar.  

Selain lemahnya penegakan hukum, budaya korupsi yang telah mengakar dalam kehidupan sosial dan birokrasi di Indonesia semakin memperparah kondisi ini. Korupsi bukan lagi sekadar tindakan kriminal, tetapi telah menjadi praktik yang dianggap wajar di berbagai tingkatan masyarakat. Sikap permisif terhadap korupsi sering kali diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, menciptakan lingkungan yang sulit untuk berubah. Banyak orang berpandangan bahwa korupsi merupakan bagian tak terpisahkan dari sistem birokrasi dan tidak dapat dihindari. Persepsi ini semakin diperkuat dengan adanya praktik gratifikasi dan suap yang sudah menjadi kebiasaan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pungutan liar dalam layanan publik hingga suap dalam proyek-proyek pemerintah bernilai miliaran rupiah. Sayangnya, masih ada sebagian masyarakat yang melihat tindakan ini sebagai sesuatu yang biasa dan tidak merasa perlu untuk melawan atau melaporkannya. Jika budaya ini terus berlanjut tanpa adanya perlawanan yang serius, maka upaya pemberantasan korupsi akan menjadi semakin sulit dilakukan. 

Selain aspek budaya, faktor struktural dalam sistem birokrasi Indonesia juga menjadi penyebab utama maraknya korupsi. Struktur birokrasi yang kompleks, panjang, dan berbelit-belit menciptakan celah yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk meminta suap atau gratifikasi guna mempercepat proses administrasi. Dalam banyak kasus, masyarakat yang ingin mendapatkan pelayanan lebih cepat terpaksa memberikan uang pelicin agar urusan mereka segera diproses. Di sisi lain, monopoli kekuasaan yang terjadi di beberapa sektor memperbesar peluang terjadinya penyalahgunaan wewenang. Tanpa adanya mekanisme kontrol yang ketat, pejabat yang memiliki otoritas tinggi dapat dengan mudah mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan dirinya sendiri atau kelompok tertentu. Ketiadaan pesaing dan kurangnya transparansi dalam proses pengambilan keputusan semakin memperkuat kecenderungan koruptif di lingkungan birokrasi. 

Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan pemerintahan semakin memperbesar peluang terjadinya korupsi. Banyak kebijakan, anggaran, dan proyek pengadaan yang tidak dilakukan secara terbuka, sehingga sulit bagi masyarakat atau lembaga pengawas untuk mendeteksi adanya penyimpangan. Tanpa adanya transparansi, pejabat yang korup memiliki lebih banyak kesempatan untuk menyalahgunakan kewenangan mereka tanpa takut akan terungkap atau mendapatkan hukuman yang setimpal. Beberapa kasus menunjukkan bahwa pengelolaan anggaran negara kerap tidak diawasi dengan ketat, menyebabkan praktik korupsi semakin marak, terutama dalam proyek-proyek pemerintah yang melibatkan dana besar. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan sistem pengawasan yang lebih ketat, baik dari lembaga negara maupun masyarakat sipil, agar penggunaan anggaran dapat dilakukan secara efisien dan bertanggung jawab. 

Di sisi lain, faktor politik juga berperan besar dalam mempertahankan budaya korupsi di Indonesia. Biaya politik yang tinggi, terutama dalam kampanye pemilu, membuat banyak politisi merasa terpaksa mencari sumber dana tambahan dengan cara yang tidak sah. Demi memperoleh modal kampanye dan mempertahankan kekuasaan, mereka kerap melakukan berbagai bentuk korupsi, seperti menerima suap, merekayasa proyek fiktif, atau mengatur kebijakan yang menguntungkan kelompok tertentu. Situasi ini semakin diperburuk dengan lemahnya regulasi dalam sistem pendanaan partai politik, yang memungkinkan praktik korupsi terus terjadi di kalangan pejabat dan wakil rakyat. Jika tidak ada reformasi yang jelas dalam sistem politik dan pendanaan kampanye, maka perilaku koruptif di kalangan pejabat publik akan terus berlanjut dan sulit diberantas. 

Selain faktor-faktor di atas, kurangnya keterlibatan masyarakat dalam pengawasan juga menjadi penyebab utama mengapa korupsi masih marak di Indonesia. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya mengawasi kebijakan serta pengelolaan keuangan negara masih rendah. Padahal, partisipasi publik sangat penting dalam mencegah praktik korupsi, baik melalui pelaporan kasus korupsi maupun dengan meningkatkan kontrol sosial terhadap pejabat publik. Namun, banyak masyarakat yang enggan melaporkan kasus korupsi karena takut akan ancaman atau tidak percaya pada sistem hukum yang ada. Beberapa kasus menunjukkan bahwa pelapor korupsi justru mengalami intimidasi atau bahkan dikriminalisasi, yang semakin memperlemah semangat warga untuk turut serta dalam pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi para pelapor kasus korupsi serta mendorong masyarakat untuk lebih aktif dalam mengawasi kebijakan dan anggaran negara. 

Contoh kasus:

Kasus korupsi benih lobster yang melibatkan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo, menjadi salah satu skandal besar dalam pemerintahan Indonesia. Edhy ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 25 November 2020 di Bandara Soekarno-Hatta setelah kembali dari kunjungan kerja di Amerika Serikat. Ia diduga menerima suap terkait ekspor benih lobster atau benur, yang sebelumnya dilarang pada era Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya, Susi Pudjiastuti.

Edhy Prabowo diduga menyalahgunakan kewenangannya dalam penerbitan izin ekspor benih lobster kepada sejumlah perusahaan. Dalam proses perizinan tersebut, perusahaan-perusahaan yang ingin mendapatkan izin harus menyetor sejumlah uang kepada pihak tertentu yang kemudian diduga mengalir ke Edhy dan orang-orang terdekatnya. Uang hasil suap ini disebut digunakan untuk berbagai kepentingan pribadi, termasuk belanja barang mewah di Amerika Serikat, seperti jam tangan Rolex, tas Louis Vuitton, dan sepeda balap, yang terungkap dalam penangkapan KPK.

Selain Edhy, beberapa pejabat di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta pihak swasta juga terlibat dalam kasus ini. KPK menemukan adanya aliran dana yang cukup besar dari para eksportir benih lobster ke sejumlah rekening yang dikendalikan oleh orang-orang dekat Edhy. Skema suap ini diduga melibatkan pihak swasta yang mengoordinasikan pembayaran dari eksportir kepada pejabat KKP.

Dalam persidangan, Edhy Prabowo akhirnya divonis bersalah dan dijatuhi hukuman lima tahun penjara serta denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan. Selain itu, ia juga dikenai kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp9,6 miliar dan US$77.000 yang harus dikembalikan ke negara. Hakim menilai bahwa perbuatan Edhy telah mencederai kepercayaan masyarakat dan merugikan negara, terutama sektor perikanan yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan nelayan dan masyarakat luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun