Belakangan, narasi new normal banyak digalakkan oleh pemerintah kita. Sudah banyak isu tentang pembukaan kembali tempat yang sebelumnya ditutup, seperti kantor, pabrik, mall, pasar, kantor pelayanan publik, dan beberapa tempat pariwisata. Hampir semua sektor dapat dibuka pada new normal, kecuali satu, yaitu pendidikan.
Konon katanya, resiko untuk menyelenggarakan pendidikan itu sangat besar. Argumentasinya adalah karena siswa berdesak-desakkan di kelas yang merupakan ruang tertutup sehingga sulit untuk melakukan physical distancing dan dikhawatirkan virus akan cepat menyebar. Alhasil, kita terpaksa untuk kembali belajar secara daring lagi di kamar kita sendiri mungkin hingga bulan januari.
Sejujurnya aku sedih juga mendengar keputusan ini, namun mau bagaimana lagi, mungkin sudah semestinya begini agar nyawa kita terlindungi. Mau tak mau aku harus belajar sendiri lagi, menatap layar laptop setiap pagi hingga malam hari tanpa henti, membaca materi berulang kali biar ngerti meskipun sebenernya ga ngerti juga, menahan kantuk saat kuliah pagi hari karena mengerjakan tugas saat malam hari, lupa juga cara berkomunikasi apalagi mencari calon istri, dan kerap kali mengalami depresi.
Kalau ada yang bertanya bagaimana perasaanku ketika mendengar kalau semester depan bakal online lagi, jawabanku adalah "kecewa, tapi ya udah". Ya emang mau gimana lagi coba? Covid ini emang sesuatu yang ga bisa aku kendalikan, apalagi untuk diajak berdamai. Aku mau mengeluh kayak gimana pun tetep aja kuliahnya online. Segala upaya yang aku keluarkan juga pada akhirnya tetap saja kuliahnya online.
Dalam menghadapi kondisi seperti ini, aku jadi teringat quotes dari mas Charles Darwin yang berbunyi "It is not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent that survives. It is the one that is the most adaptable to change.", yang maknanya yang akan bertahan bukanlah makhluk yang terkuat atau yang terpandai, melainkan makhluk yang paling adaptif. Sekali lagi aku tekankan bahwa yang bisa menyesuaikan dengan lingkungannya lah yang akan survive.
Gajah memiliki tubuh besar yang mencerminkan besarnya kekuatan , ditambah dengan besarnya otak yang dimiliki menunjukkan kecerdasan gajah. Apakah kekuatan sebesar itu berkorelasi dengan populasi gajah di muka bumi? Nyatanya tidak juga. Lalu kita bandingkan dengan tikus yang ukuran tubuh dan otaknya kecil, namun memiliki populasi yang jauh lebih banyak ketimbang gajah.Â
Kuncinya terletak pada adaptasi. Gajah kekuatan otot dan otak yang besar, namun kemampuan reproduksinya rendah dan gerakannya kurang lincah mengakibatkan dirinya mudah diburu manusia dan mudah punah bila sering diburu.Â
Sedangkan tikus kemampuan adaptasinya tinggi, karena dia bergerak lincah, reproduksi yang tinggi, dan bisa memakan apapun (kopi dan mie instanku jadi korbannya) yang menyebabkan populasinya selalu bertambah atau survive.
Akhirnya aku mulai berpikir ulang, kalau aku ingin tetap survive di kuliah tanpa ngulang matkul, memiliki kesehatan yang baik, dan finansial yang baik, tentunya aku harus membiasakan diri.Â
Aku harus mulai menemukan metode terbaik untuk belajar meskipun agak sulit untuk memahami materi kuliah online, membiasakan diri untuk berinteraksi secara online, mencari uang secara online, dan beberapa kebiasaan lainnya seperti makan siang bareng lewat google meet.Â