14 Juli 1789, tanggal dimana terjadinya peristiwa revolusioner yang mengubah Prancis dari cengkraman budaya feodalisme untuk selama-lamanya. Kejadian ini juga yang pada akhirnya menciptakan semboyan bersejarah "Liberte, Egalite, Fraternite" yang menjadi popular di seluruh dunia.
Sejak berabad-abad lamanya, bahkan hingga sekarang, Prancis adalah salah satu negara terpenting eropa. Selain itu, negara ini juga dinobatkan sebagai wilayah terpadat di Eropa, dengan 26 juta penduduk pada tahun 1786. Jumlah angka penduduk yang sangat besar di abad itu.
Akan tetapi kehidupan di negara tersebut dapat dikatakan jauh dari kemakmuran dan ketidakadilan. Rakyat hidup dalam cengkraman elit. Yang mana ketika mencapai titik klimaksnya membuat rakyat melakukan revolusi.
Berbicara mengenai Revolusi Prancis. Bisa dikatakan bahwa peristiwa revolusi Prancis adalah salah satu peristiwa bersejarah yang mengubah dunia dan disebut-disebut sebagai peristiwa revolusi paling bersejarah yang pernah ada.Â
Saat itu pemerintah dinilai gagal dalam memenuhi keadilan dan kesejahteraan sosial masyarakat, sehingga menimbulkan gerakan revolusi demi menciptakan perubahan.
Sebelum terjadinya revolusi pada tahun 1789, bisa dibilang Prancis saat itu sedang berada dalam situasi chaos. Banyaknya ketegangan, konflik, dan ketidakpuasan mendalam dari sebagian besar masyarakat, membuat negara tersebut seolah berada di ujung tanduk.
Mereka yang saat itu dikenal sebagai kekuatan dominan di Eropa, mengalami ketidakstabilan politik, ekonomi, dan sosial yang signifikan. Pemerintahan monarki absolut di bawah kekuasaan Raja Louis XVI, yang pada awalnya mengklaim sebagai pelindung dan pembela hak-hak rakyat, justru malah bertindak sebaliknya.
Mereka bertindak semena-mena dan sebagai akibatnya, hal tersebut membuat pemerintahan Prancis menghadapi kritik tajam dan protes yang semakin membesar dari berbagai lapisan masyarakat.
Ketidakadilan Sosial dan Ekonomi
Permasalahan mengenai ketidakadilan sosial dan ekonomi adalah salah satu faktor mengapa revolusi ini dapat terjadi. Di akhir abad ke-18, terdapat pembagian kelas sosial pada masyarakat Prancis yang terinspirasi dari kelas "Roman Empire", dimana masyarakat digolongkan menjadi tiga golongan utama yaitu:
Oratores (rohaniawan): Kelompok ini adalah para pemuka agama. Mereka memiliki banyak privilige seperti dapat ikut andil dalam pemerintahan kerajaan, memiliki kekuatan politik yang kuat, bahkan kelompok tersebut juga memiliki keistimewaan pengecualian dari pajak.
Bellatores (bangsawan): Golongan ini dikategorikan sebagai mereka yang berperang demi kelangsungan negara. Kelompok ini dibedakan menjadi dua yaitu bangsawan alami dan mereka yang menjadi bangsawan karena suatu jabatan tertentu.
Laboratores (kaum borjuis dan pekerja): Golongan ini merupakan golongan mayoritas Prancis pada saat itu, dengan jumlah total populasi 26 juta jiwa yang terdiri dari kaum borjuis dan para pekerja.
Dilansir dari World History Encyclopedia, di tahun 1789 golongan borjuis menguasai sebagian besar kekayaan negara Prancis, dengan jumlah 2 juta jiwa. Nahasnya, saat itu terjadi ketimpangan yang sangat signifikan, dimana golongan borjuis semakin kaya dan mereka para proletar semakin menderita.
Pada masa tersebut, 80 persen penduduk Prancis bekerja sebagai petani dan tinggal di daerah pedesaan. Dengan banyaknya kebijakan yang berlaku, cenderung membuat mayoritas kaum proletar merasa tertekan. Tingginya sistem pajak, terbatasnya hak yang dimiliki, beban hidup yang semakin tinggi, membuat mayoritas masyarakat merasakan penderitaan yang berkepanjangan.
Krisis Ekonomi
Keadaan krisis dimulai pada saat Prancis terlibat dalam Perang Kemerdekaan Amerika. Akibatnya, mereka menghabiskan lebih dari satu miliar livre, dimana setara dengan pendapatan negara selama setahun. Selain itu, hampir semua uang tersebut diperoleh dari adanya pinjaman sehingga menciptakan dampak negatif yang signifikan pada perekonomian negara.
Sebagai solusi, pemerintah mempercayakan Jacques Necker, seorang bankir pemerintahan yang bukan berasal dari kalangan bangsawan, untuk mengelola masalah yang terjadi. Publisitas akuntansi yang ia lakukan "Comte Rendu Au Roi" membuat seolah-olah keuangan negara terlihat sehat.Â
Hal ini dilakukan demi meningkatkan kepercayaan di antara para pemberi pinjaman, sehingga saat itu keuangan masalah keuangan Prancis berhasil diselamatkan.
Selanjutnya ia digantikan oleh Calonne, yang sayangnya tidak berhasil menyelesaikan masalah ekonomi negara tersebut. Ia mengusulkan penghapusan banyak pajak dan sebagai gantinya mengusulkan pajak tanah yang harus dibayar oleh semua orang, termasuk para bangsawan yang sebelumnya dikecualikan. Strategi tersebut tidak berhasil dan mengalami penolakan oleh banyak kalangan.
Krisis ekonomi juga menyebabkan terjadinya gagal panen di sebagian besar wilayah negara pada tahun 1788. Fenomena ini membuat banyak rakyat menjadi menderita dan kelaparan. Harga bahan pokok juga semakin meroket, sehingga membuat rakyat semakin geram akan gagalnya negara dalam menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Peristiwa gagal panen di tahun 1788 menjadi penyebab dari terciptanya kerusuhan roti pada tahun 1789. Dimana peristiwa ini menjadi salah satu dari sumbu pemantik yang akhirnya menciptakan revolusi di kalangan masyarakat Prancis.
Ketidakpuasan Terhadap Ancien Rgime
Pada akhir abad ke-18, Prancis berada di ambang perubahan besar, dan ketidakpuasan terhadap Ancien Regime menjadi bahan bakar utama revolusi yang akan mengguncang Eropa.Â
Salah satu penyebab utama adalah kemarahan terhadap absolutisme kerajaan, yang memusatkan kekuasaan dalam tangan raja tanpa memberikan ruang bagi partisipasi rakyat.
Louis XVI, sebagai simbol absolutisme, sering kali dianggap sebagai penguasa yang tidak peduli terhadap penderitaan rakyatnya. Keberadaan sistem absolut ini, yang mengabaikan aspirasi rakyat dan mengabaikan prinsip keadilan, menciptakan rasa frustrasi yang mendalam di seluruh lapisan masyarakat.
Di samping itu, ketidakpuasan terhadap sistem feodalisme juga sangat mempengaruhi suasana hati rakyat. Sistem ini memaksa para petani dan buruh untuk menanggung beban pajak dan kerja yang tidak adil.Â
Disisi lain kaum borjuis yang mulai merasakan peningkatan kekayaan dan kekuasaan, merasa terpinggirkan oleh struktur sosial yang ketinggalan zaman.
Kebangkitan gagasan-gagasan dari kaum pencerahan, yang menekankan pada rasionalitas dan hak asasi manusia, semakin memperkuat tuntutan untuk reformasi dan melawan ketidakadilan feodal yang meluas.Â
Gagasan-gagasan tersebut memberi inspirasi kepada banyak orang untuk menuntut perubahan radikal dalam struktur pemerintahan dan masyarakat.
Dengan gabungan semua faktor-faktor di atas, akhirnya membuat masyarakat melakukan sebuah tindakan besar yaitu revolusi. Revolusi diawali dengan penyerbuan Penjara Bastille pada tanggal 14 Juli 1789 yang terletak di jantung kota Paris.Â
Disini Bastille bukan hanya sebuah penjara, tetapi juga simbol kekuasaan tirani absolut yang dipegang oleh Raja Louis XVI. Adanya penyerbuan tersebut tidak hanya menandai awal dari Revolusi Prancis, tetapi juga menggambarkan suasana ketegangan dan kemarahan yang melanda masyarakat Prancis pada saat itu.
Rakyat Prancis, yang telah lama menderita akibat ketidakadilan sosial dan ekonomi, krisis ekonomi, dan ketidakpercayaan kepada pemerintah, merasa semakin frustasi dengan pemerintahan absolut.Â
Para pemberontak, yang sebagian besar adalah buruh, petani, dan kaum borjuis yang tidak puas, berkumpul dengan senjata seadanya, seperti senapan, sabit, dan alat-alat pertanian menyerbu benteng.Â
Mereka merasa bahwa Bastille, sebagai simbol kekuasaan dan penindasan, harus dihancurkan untuk mencapai kebebasan dan keadilan.
Para pemberontak berhasil mengelilingi dan mengepung penjara. Setelah itu, terjadi pertempuran sengit di sekitar penjara. Penjaga Bastille akhirnya menyerah setelah perlawanan yang intens, dan para pemberontak berhasil memasuki penjara.Â
Dalam pertempuran ini, beberapa pemberontak dan penjaga Bastille menjadi korban. Salah satu nama penting yang terbunuh dalam pertempuran ini adalah Marquis de Launay, komandan Bastille, yang terbunuh oleh massa yang marah setelah penjara jatuh ke tangan mereka.
Adanya revolusi yang dilakukan masyarakat juga turut menyeret beberapa tokoh penting seperti raja Louis XVI dan istrinya Marie Antoinette. Akibat kemarahan rakyat yang berkepanjangan, dua tokoh itu akhirnya dieksekusi mati dengan guillotine, sebagai simbol atas kemurkaan masyarakat Prancis pada keadaan saat itu.
Secara keseluruhan, revolusi ini merupakan peristiwa yang sangat penting dalam sejarah Prancis. Tidak hanya menggambarkan kemarahan rakyat terhadap penindasan, revolusi ini juga membuka jalan bagi perubahan besar yang akan membentuk masa depan Prancis dan memberi inspirasi bagi perjuangan kebebasan di seluruh dunia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI