Pagi itu, udara Sabang terasa dingin dan lembap. Dari kejauhan, aroma cengkeh di halaman warga menguar wangi yang lembut, bercampur dengan semilir angin laut. Jalan setapak dari atas gunung tampak banyak pekebun yang sedang berjalan menuju ladang mereka. Tampak tenang, teduh, dan sangat menyejukkan. Tetapi, dibalik ketenangan itu, ada banyak wajah yang sedang berpikir keras tentang satu hal, modal tanam selanjutnya.
Salah satunya adalah Pak Hasan, beliau adalah seorang pekebun yang mempunyai lahan kebun cengkeh di area lereng gunung Jaboi. Lahan cengkehnya tak lebih dari 1 hektar, merupakan warisan dari ayahnya yang dulu juga seorang pekebun. Pak Hasan adalah seorang pekebun yang gigih, ia telah berkebun sejak masih muda. Ia banyak belajar dari ayahnya.
Bekerja sebagai pekebun cengkeh membuat ekonomi Pak Hasan tak menentu. Apalagi sekarang anak-anaknya sudah mulai sekolah, uang yang dihasilkannya sudah mulai tidak cukup memenuhi semua kebutuhan. Sekarang, pohon cengkehnya sudah waktunya untuk pemberian pupuk. Satu-satunya yang bisa diandalkan adalah motor Beat tuanya yang menemani Pak Hasan untuk berangkat ke kebun dan mengantar anaknya sekolah.
"Kalau nggak saya rawat sekarang, pohon cengkehnya bisa rusak". Tapi kalau motor ini saya lepas, saya nggak bisa ke kebun," katanya pelan sambil menatap motor kesayangannya yang mulai berkarat.
Ia tahu, di antara karat dan debu itu tersimpan banyak kenangan dan entah bagaimana, mungkin juga harapan baru suatu hari nanti.
Sabang Tak Hanya Laut, Tapi juga Cengkeh
Namun, kejayaan itu perlahan mulai menghilang. Biaya perawatan yang tinggi dan keuntungan yang sedikit membuat banyak pekebun mulai kehilangan semangatnya. Mulai dari pupuk, peptisida, upah buruh, para pekebun harus mengeluarkan modal hingga puluhan juta. Sementara itu, harga cengkeh yang tidak stabil membuat para pekebun menjadi semakin dilema.
Namun, bagi Pak Hasan dan pekebun lainnya, bekerja di kebun bukan hanya soal mencari nafkah, namun juga bagian dari menjaga warisan agar tetap lestari. Di setiap tetes keringat mereka, tersimpan kebanggaan bahwa Sabang bukan hanya soal wisata, tetapi juga tentang tanah yang menumbuhkan cengkeh dan harapan. Hanya saja, tanpa modal yang cukup, membuat harapan itu rapuh dan pekebun menjadi resah.
Aroma Cengkeh dan Nafas Ekonomi Sabang
Pak Hasan salah seorang warga Balohan yang memiliki lahan cengkeh di Kampung Jaboi. Ini merupakan wilayah pegunungan di Sabang. Ia hanya punya sekitar 130 pohon cengkeh yang sudah berumur belasan tahun. Tahun ini merupakan panen tunggal cengkeh Pak Hasan. Namun, hasilnya masih jauh dari harapan. Seperti banyak pekebun lainnya di Sabang, tahun ini dikenal dengan tahun ganjil yang dikenal sebagai musim panen kecil. Dari lahannya, ia hanya mampu menghasilkan 230 kilogram cengkeh kering.