Tuha Peut bertugas untuk menampung, menyampaikan serta mengawasi suara masyarakat untuk disampaikan kepada Keuchik sebagai pemegang kekuasaan eksekutif di gampong. Istilah Tuha Peut sendiri mempunyai arti, Tuha artinya tua, dan Peut artinya empat. Jika diartikan secara umum, Tuha Peut berarti empat orang tetua.
Tuha Peut ini diisi oleh ulama, tokoh adat, cerdik pandai dan tokoh masyarakat. Tuha Peut sendiri dipilih langsung oleh masyarakat. Tuha Peut bukan hanya menjadi pengawas pemerintahan gampong, namun juga ikut berperan dalam membuat kebijakan, menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Gampong (APBG).
Selain itu, dalam musyawarah Tuha Peut sering menjadi penyeimbang suara masyarakat agar keputusan tidak berat sebelah. Karena pada dasarnya mereka dipilih langsung oleh masyarakat dalam musyawarah, maka suara mereka pun harus mewakili masyarakat.
Di dalam kehidupan sosial di gampong, tidak semua masalah harus dibawa ke ranah hukum formal. Ada juga fungsi Tuha Peut dalam penyelesaian sengketa antarwarga. Karena pada dasarnya, keputusan yang diambil oleh Tuha Peut bisa menjadi yang lebih bijak, karena mengutamakan kepentingan bersama, ada asas adat, dan juga solusi kebersamaan untuk menjaga keharmonisan masyarakat.
Peran Tuha Lapan dan Hubungannya dengan Tuha Peut
Tuha Lapan mempunyai arti delapan orang tua. Ada delapan orang yang mengisi posisi dalam Tuha Lapan ini. Dalam strukturnya, Tuha Lapan berperan semacam senat adat yang mengawasi jalannya pemerintahan gampong. Memberi pertimbangan kepada Keuchik dan Tuha Peut ketika mengambil keputusan.
Kehadiran Tuha Lapan ini memperkaya proses musyawarah. Mereka memastikan setiap keputusan yang diambil bukan hanya untuk segelintir orang saja, tetapi mempresentasikan suara masyarakat dari berbagai bidang kehidupan. Dengan begitu, musyawarah di Aceh bukan hanya sebagai formalitas saja, namun benar-benar ruang bersama untuk mencari keseimbangan adat, agama dan kepentingan masyarakat.
Hubungan antara Tuha Peut dan Tuha Lapan digambarkan sebagai dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Tuha Peut fokus pada urusan pemerintahan sehari-hari, sedangkan Tuha Lapan menjaga agar setiap kebijakan berpijak pada kepentingan kemaslahatan bersama.
Kini, ketika saya mengingat kembali obrolan-obrolan malam di beranda rumah dulu, saya baru paham maknanya. Musyawarah itu bukan hanya kebiasaan, melainkan nafas kehidupan masyarakat Aceh. Peran Tuha Peut dan Tuha Lapan menunjukkan bahwa Aceh telah lama mengenal istilah "demokrasi" sebelum diperkenalkan. Aceh sudah mengenal keseimbangan kekuasaan dan suara rakyat dalam bingkai adat musyawarah yang kuat.
Di tengah derasnya arus modernisasi, nilai-nilai ini seharusnya tidak kita lupakan. Dari peran Tuha Peut dan Tuha Lapan kita harus belajar bahwa menyelesaikan persoalan tidak selalu harus dengan hukum yang kaku. Kadang cukup dengan duduk bersama, berbicara pelan, dan mendengarkan dengan hati.
Teurimong Geunaseh.