Beberapa tahun lalu, gagasan tentang robot mengambil alih pekerjaan manusia terdengar seperti bagian dari film fiksi ilmiah. Namun kini, itu mulai menjadi kenyataan. Di berbagai industri, kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) sudah mulai menggantikan tugas-tugas manusia—dari customer service, analis data, pengelola gudang, hingga bahkan penulis konten.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Silicon Valley atau negara maju lainnya. Di Indonesia, perlahan tapi pasti, dunia kerja juga mulai terdampak oleh kehadiran AI. Mulai dari chatbot di aplikasi e-commerce lokal, sistem rekomendasi di media sosial, hingga otomatisasi laporan di sektor keuangan. Pertanyaannya: siapkah kita menghadapi perubahan ini?
Disrupsi yang Nyata, Bukan Sekadar Wacana
Banyak prediksi menyebutkan bahwa jutaan pekerjaan akan hilang karena otomatisasi. Namun, tidak sedikit pula pekerjaan baru yang akan muncul, terutama di bidang teknologi, analitik, dan pengembangan sistem. Artinya, ini bukan akhir dari pekerjaan manusia—melainkan transformasi besar-besaran yang membutuhkan kesiapan dari semua pihak: pekerja, pemerintah, institusi pendidikan, dan masyarakat umum.
Sebagai mahasiswa Prodi Teknologi Informasi di UIN Walisongo Semarang, saya melihat langsung bagaimana kurikulum dan pembelajaran harus segera menyesuaikan. Kami tidak hanya diajarkan cara membuat program, tetapi juga bagaimana membangun solusi cerdas berbasis AI yang etis dan berkeadilan sosial.
Tantangan: Kesenjangan Digital dan Minimnya Kesadaran
Meskipun AI membawa peluang besar, tidak semua orang punya akses yang sama terhadap pemahaman teknologi ini. Di banyak daerah di Indonesia, masih banyak masyarakat yang belum mengenal konsep dasar AI, bahkan belum familiar dengan internet secara optimal. Ini memperlebar kesenjangan antara mereka yang bisa beradaptasi dengan teknologi dan yang tidak.
Kesadaran terhadap pentingnya reskilling dan upskilling masih rendah, terutama di sektor-sektor non-teknis. Padahal, inilah kunci agar kita tidak tertinggal oleh gelombang otomasi yang terus bergulir. Dunia pendidikan, termasuk kampus seperti kami, harus menjadi ujung tombak untuk menjembatani kesenjangan ini.
Peluang: AI Bukan Musuh, Tapi Mitra
Alih-alih melihat AI sebagai ancaman, kita harus belajar melihatnya sebagai mitra. Banyak pekerjaan yang justru akan terbantu dengan kehadiran teknologi ini. Seorang guru bisa menggunakan AI untuk menyusun materi pembelajaran yang lebih adaptif. Petani bisa memanfaatkan AI untuk memantau cuaca dan kualitas tanah. Bahkan pelaku UMKM bisa menggunakan AI untuk analisis pasar dan strategi penjualan.
Kuncinya adalah kemauan untuk belajar dan terbuka terhadap perubahan. Adaptasi memang tidak mudah, tapi bukan tidak mungkin.