Sejarah bukanlah deretan angka-angka dingin di halaman buku sekolah. Ia adalah daging dan darah manusia, dengan segala ketakutan, keraguan, keberanian, dan pengkhianatan di dalamnya. Dan ketika kita menyebut tanggal 16 Agustus 1945, kita sedang bicara tentang sebuah hari yang tidak biasa---hari ketika bangsa ini berdiri di tepi jurang ketidakpastian, menatap masa depan yang samar, lalu dipaksa memilih: menunggu atau melompat.
Di sebuah desa kecil bernama Rengasdengklok, sawah-sawah yang tenang menyaksikan pergulatan itu. Bukan pertempuran dengan peluru, melainkan pertarungan ide dalam ruang yang pengap, di antara orang-orang yang sama-sama mencintai tanah airnya. Soekarno dan Hatta---dua manusia yang kelak namanya mengisi buku pelajaran anak-anak sekolah, dibawa pergi oleh anak-anak muda yang darahnya mendidih, yang tak lagi sanggup menunggu belas kasihan dari negeri asing yang bahkan sudah kehilangan dirinya sendiri.
Orang menyebutnya penculikan. Tapi bukankah dalam setiap kelahiran selalu ada semacam kekerasan? Tangisan pertama bayi selalu didahului oleh rasa sakit yang tak tertahankan. Maka penculikan itu, jika boleh disebut demikian, bukanlah sekadar tindakan nekat, melainkan cara sejarah sendiri memaksa bangsa ini keluar dari rahim penindasan.
Di sana, di Rengasdengklok, dua generasi saling berhadapan. Yang tua, dengan kebijaksanaan yang terasah dari pengalaman panjang, menimbang untung-rugi, menahan diri agar jangan sampai kemerdekaan justru melahirkan kekacauan. Yang muda, dengan dada bergemuruh, menolak menunggu, menolak segala alasan, menolak agar bangsa ini kembali terikat oleh waktu yang terlalu lama dijajah. Dan di antara keduanya, ada sesuatu yang jauh lebih besar dari kepentingan pribadi: Indonesia yang belum lahir, tapi sudah berteriak ingin hidup.
Saya membayangkan wajah Soekarno malam itu---lelah, tapi tegar---menatap para pemuda yang menantangnya. Dan Hatta, dengan logika dingin yang sering disalahpahami sebagai keragu-raguan, mungkin tahu, bahwa sejarah kadang memang menuntut keputusan yang lebih berani daripada yang bisa direncanakan di atas kertas. Sementara Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh---anak-anak muda yang mungkin baru saja keluar dari pergulatan pribadinya dengan penjajahan---tak sabar, tak mau kompromi, karena bagi mereka, kemerdekaan bukan lagi soal strategi, tapi soal harga diri.
Malam itu akhirnya berakhir dengan satu keputusan: proklamasi harus dibacakan di Jakarta. Dan esoknya, dunia mendengar kata-kata yang sederhana, tapi menggetarkan. Tetapi jangan salah---suara yang terdengar di pagi 17 Agustus itu sesungguhnya lahir dari jeritan panjang di malam 16 Agustus.
Delapan puluh tahun sudah hari itu lewat. Kita hidup di tanah air yang mereka perjuangkan. Tetapi setiap kali tanggal itu kembali, saya selalu bertanya pada diri sendiri: apakah kita masih punya keberanian yang sama seperti anak-anak muda Rengasdengklok? Atau kita hanya pewaris yang hidup nyaman dari pengorbanan orang lain?
Sejarah, kata Pramoedya, adalah milik mereka yang menderita. Dan 16 Agustus 1945 membuktikan, bahwa kemerdekaan tidak pernah datang sebagai hadiah, melainkan lahir dari keberanian untuk melawan keraguan, bahkan melawan kawan sendiri, demi sesuatu yang lebih besar.
Dan bukankah, hingga kini, kita masih terus diuji oleh pertanyaan yang sama:
Apakah kita berani melompat, ketika masa depan bangsa kembali berdiri di tepi jurang?
Jakarta, jelang kemerdekaan