Proses kaderisasi ulama merupakan fondasi utama dalam menjaga kesinambungan pemahaman yang benar serta pengalaman ajaran Islam secara utuh di tengah masyarakat. Tanpa adanya regenerasi ulama yang mumpuni, dikhawatirkan nilai-nilai Islam akan mengalami penyimpangan atau bahkan kehilangan arah di masa mendatang. Sayangnya, kesadaran akan pentingnya peran strategis ulama dalam kehidupan umat masih rendah. Banyak kalangan umat islam yang masih belum memahami urgensi kehadiran ulama sebagai pewaris ilmu kenabian. Bahkan, tidak sedikit pula yang tidak menyadari bahwa dalam diri mereka terdapat potensi keilmuan yang jika diasah dan dibina dengan baik, dapat menjadi bekal untuk turut berkontribusi dalam melanjutkan estafet keilmuan dan perjuangan dakwah islam.
Realitas yang tampak di hadapan kita hari ini memperlihatkan bahwa umat Islam di Indonesia masih dihadapkan pada beragam persoalan atau permasalahan yang kompleks dan tantangan yang tidak ringan, terutama dalam hal mengamalkan ajaran islam secara menyeluruh, sesuai dengan nilai-nilai aslinya. Hambatan-hambatan ini muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari pengaru budaya luar, lemahnya pendidikan agama, hingga minimnya pendampingan keagamaan yang memadai. salah satu akar permasalahan yang cukup krusial adalah adanya ketimpangan yang mencolok antara jumlah umat yang sangat besar dan jumlah ulama yang masih terbatas.
ketidakseimbangan ini kemudian melahirkan fenomena yang dapat disebut "krisis ulama", yakni kondisi di mana keberadaan tokoh-tokoh agama yang memiliki kapasitas keilmuan mendalam dan integritas moral tinggi semakin langka, baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Dalam konteks ini, penting untuk menegaskan bahwa dalam tradisi Islam, ulama tidak sekadar dipandang sebagai orang berilmu, tetapi mereka menempati posisi yang sangat mulia sebagai penerus misi kenabian. Oleh karena itu, eksistensi dan peran aktif para ulama mejadi kebutuhan mendesak dalam menjaga arah keagamaan umat agar tetap berada di jalur yang benar dan sesuai dengan tuntunan wahyu.
Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, tetapi mewariskan ilmu. Barang siapa mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. At-Tirmidzi).
Ulama berperan penting dalam menjaga tegaknya agama dan menjadi petunjuk hidup bagi umat manusia. Indonesia sendiri memiliki banyak ulama terdahulu yang berjasa dalam penegakan islam.
Di Indonesia, sosok Kyai Haji As’ad Humam hadir sebagai ulama pembaharu. Ia dikenal luas sebagai pelopor metode Iqro, sebuah metode revolusioner dalam pembelajaran membaca Al-Qur’an. Metode ini tidak hanya mempercepat kemampuan baca-tulis Al-Qur’an pada anak-anak, tetapi juga membentuk generasi Qurani yang mandiri. Metode Iqro memudahkan pembelajaran bagi semua kalangan, dari anak-anak hingga dewasa. Sosok ulama pelopor metode iqro di Indonesia ini bahkan terpampang nyata di sampul atau cover buku iqro’ sebagai bentuk penghargaan.
Kyai Haji As’ad Humam menunjukkan kepada kita bahwa peran ulama tak hanya terletak pada ceramah atau fatwa, melainkan juga pada inovasi pendidikan yang membumi dan berdampak luas bagi banyak orang. Warisan beliau adalah contoh nyata bahwa ulama bukan hanya penjaga tradisi, tetapi juga pendorong kaderisasi islam.
Ulama pelopor metode Iqro’, KH. As’ad Humam, merupakan cerminan ulama di Indonesia yang cerdas, visioner, dan peduli terhadap kebutuhan umat. Beliau tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga mampu menghadirkan solusi konkret atas permasalahan yang dihadapi masyarakat, khususnya dalam hal pendidikan Al-Qur’an. Melalui metode Iqro’, KH. As’ad Humam menyederhanakan proses pembelajaran membaca Al-Qur’an agar lebih mudah dipahami, terutama oleh anak-anak. Metode ini disusun secara bertahap dalam enam jilid, dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah hingga mampu membaca ayat-ayat Al-Qur’an secara lancar. Pendekatan yang praktis dan langsung pada latihan membuat metode ini cepat diterima dan diterapkan secara luas, baik di lingkungan keluarga, sekolah, maupun lembaga pendidikan Islam. KH. As’ad Humam menunjukkan bahwa ulama tidak hanya berperan sebagai pewaris ilmu, tetapi juga sebagai inovator yang mampu menjawab tantangan zaman. Sosok beliau menjadi teladan bahwa ulama seharusnya hadir di tengah umat dengan solusi yang membumi dan berdampak nyata bagi keberlanjutan dakwah dan pendidikan Islam.
KH. As’ad Humam lahir di Yogyakarta dalam lingkungan keluarga religius. Pendidikan awalnya ditempuh di pesantren-pesantren tradisional yang menekankan penguasaan ilmu agama, terutama Al-Qur’an. Dalam proses belajar, beliau dikenal sebagai santri yang tidak hanya tekun, tetapi juga memiliki kepekaan tinggi terhadap kebutuhan umat. Meskipun tidak banyak tercatat mengenai riwayat pendidikan formal beliau, KH. As’ad sangat aktif dalam kegiatan keislaman di masyarakat, khususnya melalui peranannya dalam Tim Tadarus AMM (Angkatan Muda Masjid dan Mushalla). Kiprah beliau dalam kegiatan dakwah ini menjadi bekal penting dalam menyusun metode Iqro’, karena beliau memahami betul tantangan yang dihadapi umat dalam belajar membaca Al-Qur’an, terutama bagi anak-anak dan pemula.