Suara sirine meraung, orang-orang berlarian, rumah runtuh, dan debu hitam menutupi langit. Seorang ibu memeluk erat anaknya di tengah kerumunan pengungsi. Mereka selamat dari letusan gunung, tapi sejak hari itu sang anak selalu terbangun di malam hari, menangis ketakutan setiap kali mendengar suara keras.
Itulah salah satu wajah bencana yang jarang dibicarakan: luka psikis yang ditinggalkan.
Indonesia, Negeri yang Indah sekaligus Rawan
Kita hidup di negeri dengan ratusan gunung berapi, rawan gempa, tsunami, banjir, hingga tanah longsor. Hampir setiap tahun berita bencana datang silih berganti. Biasanya kita fokus pada jumlah korban jiwa, kerugian materi, atau berapa lama proses rekonstruksi akan berjalan.
Namun ada hal yang luput: apa kabar jiwa para penyintas?
Sebuah publikasi yang dilakukan oleh dosen Fikes Universitas Muhammadiyah Magelang dan dipublikasikan di Jurnal Kesehatan Al-Irsyad berjudul yang “Post Traumatic Stress Disorders Pasca Bencana: Literature Review” mengingatkan kita pada sisi lain dari bencana: gangguan stres pascatrauma (Post Traumatic Stress Disorder/PTSD).
PTSD: Bayang-Bayang yang Menghantui
PTSD adalah gangguan kecemasan yang muncul akibat peristiwa mengerikan atau mengancam keselamatan jiwa. Berdasarkan kajian literatur yang dipublikasikan dalam Jurnal Kesehatan Al-Irsyad, PTSD sering dialami korban bencana, terutama dalam 1–2 tahun pertama pasca peristiwa.
Gejala PTSD terbagi ke dalam tiga kategori besar:
Re-experiencing (mengulang pengalaman): kilas balik, mimpi buruk, hingga merasa seolah kejadian bencana terjadi lagi.
Avoidance (penghindaran): berusaha menjauhi tempat, aktivitas, atau percakapan yang mengingatkan pada tragedi.
Hyperarousal (kewaspadaan berlebihan): sulit tidur, mudah terkejut, sulit konsentrasi, hingga reaksi fisik berlebihan terhadap pemicu trauma.
Gejala ini bisa membuat penyintas merasa terisolasi, kehilangan harapan, bahkan mengalami depresi dan gangguan kecemasan yang lebih berat.
Korban Gunung Meletus: Menunggu Pulih di Balik Abu
Penelitian mencatat, letusan gunung berapi memang “hanya” menyumbang sekitar 2% dari total korban bencana alam. Namun bagi mereka yang selamat, perjuangan untuk pulih sangat panjang. Hidup di pengungsian, kehilangan rumah dan tanah, serta ketidakpastian masa depan memperdalam trauma. Banyak dari mereka yang mengalami gejala PTSD, meski tidak selalu berani mencari pertolongan karena stigma masyarakat terhadap gangguan mental.
Saatnya Kita Lebih Peka
Bencana mungkin tidak bisa kita cegah, tapi cara kita merespons bisa menentukan apakah korban benar-benar pulih atau justru terjebak dalam trauma seumur hidup. PTSD adalah pengingat bahwa luka tidak selalu terlihat. Bangunan bisa diperbaiki, jalan bisa dibangun ulang, tapi jiwa yang retak butuh perhatian yang lebih halus dan mendalam. Mungkin inilah saatnya kita belajar bahwa penanganan bencana bukan hanya soal logistik, tetapi juga soal empati. Karena di balik setiap berita bencana, ada manusia yang berjuang diam-diam melawan bayang-bayang traumanya.
Apa menurut Anda, masyarakat Indonesia sudah cukup peduli dengan pemulihan psikis penyintas bencana? Atau kita masih terlalu sibuk dengan kerusakan fisik yang kasat mata?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI