Avoidance (penghindaran): berusaha menjauhi tempat, aktivitas, atau percakapan yang mengingatkan pada tragedi.
Hyperarousal (kewaspadaan berlebihan): sulit tidur, mudah terkejut, sulit konsentrasi, hingga reaksi fisik berlebihan terhadap pemicu trauma.
Gejala ini bisa membuat penyintas merasa terisolasi, kehilangan harapan, bahkan mengalami depresi dan gangguan kecemasan yang lebih berat.
Korban Gunung Meletus: Menunggu Pulih di Balik Abu
Penelitian mencatat, letusan gunung berapi memang “hanya” menyumbang sekitar 2% dari total korban bencana alam. Namun bagi mereka yang selamat, perjuangan untuk pulih sangat panjang. Hidup di pengungsian, kehilangan rumah dan tanah, serta ketidakpastian masa depan memperdalam trauma. Banyak dari mereka yang mengalami gejala PTSD, meski tidak selalu berani mencari pertolongan karena stigma masyarakat terhadap gangguan mental.
Saatnya Kita Lebih Peka
Bencana mungkin tidak bisa kita cegah, tapi cara kita merespons bisa menentukan apakah korban benar-benar pulih atau justru terjebak dalam trauma seumur hidup. PTSD adalah pengingat bahwa luka tidak selalu terlihat. Bangunan bisa diperbaiki, jalan bisa dibangun ulang, tapi jiwa yang retak butuh perhatian yang lebih halus dan mendalam. Mungkin inilah saatnya kita belajar bahwa penanganan bencana bukan hanya soal logistik, tetapi juga soal empati. Karena di balik setiap berita bencana, ada manusia yang berjuang diam-diam melawan bayang-bayang traumanya.
Apa menurut Anda, masyarakat Indonesia sudah cukup peduli dengan pemulihan psikis penyintas bencana? Atau kita masih terlalu sibuk dengan kerusakan fisik yang kasat mata?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI