Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Indonesia dan Gaza, Dari Peacekeeping hingga Arsitek Perdamaian Palestina

2 Oktober 2025   09:43 Diperbarui: 2 Oktober 2025   08:53 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pawai suka cita hari lahirnya Hamas di Kota Gaza (Sumber: bbc.com)

Proposal perdamaian berisi 20 poin yang digagas Presiden Donald Trump untuk Jalur Gaza pada September 2025 kembali menjadi sorotan global. Isi proposal mencakup gencatan senjata, pembebasan sandera dalam 72 jam, pelucutan senjata Hamas, hingga penarikan bertahap pasukan Israel dari Gaza.

Bagi Israel, dokumen ini memberi jaminan keamanan minimum. Namun bagi Hamas, klausul pelucutan senjata dan pengusiran faksi mereka dinilai tidak adil. Hamas justru menuntut jaminan internasional atas penarikan penuh pasukan Israel serta penghentian pembunuhan di dalam maupun luar Gaza.

Ketegangan ini memperlihatkan logika realpolitik dalam rancangan Trump, yaitu mengutamakan kepentingan negara dominan ketimbang inklusi politik aktor non-negara. Hamas memandangnya sebagai "penyerahan sepihak", sementara Israel melihatnya sebagai kebutuhan keamanan eksistensial.

Kunjungan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, ke AS pada akhir September menambah dimensi politik dalam proposal. Diplomasi bilateral Israel-AS membuka peluang revisi klausul, khususnya yang terkait peran Hamas dan mekanisme penarikan pasukan.

Pada 23 September, delapan negara Arab dan mayoritas Muslim, Arab Saudi, Yordania, UEA, Indonesia, Pakistan, Turki, Qatar, dan Mesir, mengeluarkan pernyataan bersama di Sidang Umum PBB. Mereka menegaskan Gaza harus dipimpin pemerintahan teknokratik Palestina, tanpa Hamas, dan menolak rencana aneksasi Israel.

Dalam perspektif studi perdamaian, usulan ini adalah kompromi klasik: demiliterisasi ditukar dengan legitimasi politik melalui pemerintah transisi. Namun, defisit kepercayaan (trust deficit) di antara pihak-pihak terkait menjadi penghalang utama.

Perdamaian sejati tidak lahir dari pelucutan paksa, tetapi dari rekonsiliasi yang memberi ruang keadilan bagi semua pihak. Gaza adalah ujian dunia, apakah kita memilih keamanan semu, atau membangun perdamaian sejati yang berpijak pada keadilan dan kemanusiaan? 

Klausul penting lainnya adalah pembentukan pemerintah sementara Gaza. Pertanyaan krusialnya, apakah struktur teknokratik ini benar-benar netral, atau justru menjadi instrumen kepentingan geopolitik Israel dan AS?

Hamas menuntut jaminan internasional atas penarikan penuh pasukan Israel. Hal ini membuka ruang bagi keterlibatan pasukan perdamaian PBB. Indonesia, dengan pengalaman panjang dalam misi peacekeeping, berpeluang besar memainkan peran strategis.

Usulan pengiriman 20 ribu pasukan perdamaian Indonesia menjadi sorotan. Peran ini bukan hanya simbol solidaritas, tetapi juga instrumen pertahanan negara berbasis humaniter yang menegaskan komitmen Indonesia terhadap keadilan global.

Selain peacekeeping, Indonesia juga potensial memimpin rekonstruksi Gaza. Sosok seperti Jusuf Kalla membuktikan diplomasi non-formal berbasis trust-building mampu menjadi katalis perdamaian. Model ini relevan bagi rekonsiliasi di Gaza.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun