Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Boikot Israel di Piala Dunia, Solidaritas Sepak Bola untuk Kemanusiaan Palestina

24 September 2025   22:10 Diperbarui: 24 September 2025   21:49 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aksi dukungan pengibaran bendera Palestina oleh suporter Celtic FC, Skotlandia (Sumber: rctiplus.com)

Perlawanan terhadap kejahatan kemanusiaan tidak hanya berlangsung di ruang diplomasi atau jalanan, tetapi juga menemukan ruangnya di lapangan hijau. Dunia sepak bola kini menjadi salah satu arena di mana solidaritas terhadap Palestina semakin menggema. Di tengah meningkatnya seruan boikot, banyak pihak mendesak agar Israel dikeluarkan dari ajang-ajang internasional, baik di bawah naungan FIFA maupun UEFA, sebagaimana pernah terjadi pada Rusia setelah invasinya ke Ukraina.

Dalam beberapa bulan terakhir, desakan agar FIFA membekukan keanggotaan Israel menguat. Isu ini memuncak pada Kongres FIFA Mei 2024, ketika Asosiasi Sepak Bola Palestina (PFA) secara resmi meminta pemungutan suara mengenai status Israel. Langkah tersebut bukan hanya simbolis, melainkan juga bentuk nyata dari tuntutan keadilan atas genosida yang tengah berlangsung di Gaza dan Tepi Barat.

Jika keputusan ini diambil, dampaknya akan sangat luas. Tim nasional putra Israel, yang saat ini berkompetisi di kualifikasi Piala Dunia 2026, bisa terhenti perjalanannya. Klub-klub besar seperti Maccabi Tel Aviv yang rutin tampil di ajang Liga Europa UEFA juga akan terancam tak lagi bisa berlaga. Hal ini bukan sekadar tentang olahraga, melainkan soal legitimasi moral, apakah dunia sepak bola bersedia menutup mata terhadap penderitaan jutaan rakyat Palestina?

Preseden sudah jelas. Pada Februari 2022, FIFA dan UEFA secara tegas melarang semua tim nasional dan klub Rusia berpartisipasi di ajang internasional setelah invasi ke Ukraina. Sanksi itu berlaku hingga sekarang. Jika Rusia bisa dikenai sanksi karena invasi, mengapa Israel tidak mendapat perlakuan yang sama meskipun tindakannya lebih brutal dan telah menewaskan ribuan warga sipil tak berdosa?

Para pembela Israel mungkin akan berdalih bahwa olahraga seharusnya dipisahkan dari politik. Namun, sejarah menunjukkan bahwa olahraga selalu memiliki dimensi politik yang kuat. Dari embargo terhadap apartheid Afrika Selatan hingga sanksi terhadap Yugoslavia pada era 1990-an, dunia olahraga kerap menjadi arena moral untuk menekan rezim yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia.

Sepak bola bukan hanya tentang kemenangan di lapangan, tetapi juga tentang keberanian membela kemanusiaan. Boikot terhadap Israel adalah suara nurani global yang menolak menutup mata atas penderitaan Palestina.

Di sinilah letak kontradiksi besar FIFA dan UEFA. Mereka menuntut netralitas politik, tetapi pada saat yang sama kerap menggunakan kekuatan mereka untuk memberikan hukuman politik. Kasus Rusia menjadi contoh nyata: keputusan sanksi bukan soal teknis olahraga, melainkan tekanan geopolitik. Karena itu, jika FIFA dan UEFA menolak mengambil sikap terhadap Israel, mereka menghadapi risiko dituduh menerapkan standar ganda.

Boikot terhadap Israel juga mendapat dukungan moral dari masyarakat global. Sejumlah suporter, asosiasi olahraga, hingga figur publik menegaskan bahwa dunia sepak bola tidak boleh menjadi ruang cuci dosa bagi sebuah negara yang sedang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Lapangan hijau tidak boleh menjadi ruang untuk menormalisasi kekerasan.

Lebih jauh, boikot ini berpotensi menjadi tekanan strategis. Israel selama ini menggunakan olahraga sebagai bagian dari diplomasi lunaknya, untuk memperkuat legitimasi negara di mata dunia. Jika akses terhadap kompetisi internasional dicabut, maka simbol prestise itu akan runtuh, menambah isolasi yang semakin menekan.

Namun, pertarungan ini tidak sederhana. Israel memiliki jejaring politik yang kuat di Eropa, khususnya melalui dukungan dari sekutu strategisnya. UEFA, yang menaungi Israel meski secara geografis bukan bagian dari Eropa, juga menghadapi dilema besar. Jika mereka mengeluarkan Israel, tekanan politik dari negara-negara Barat bisa semakin menguat.

Tetapi di sisi lain, tidak ada jalan tengah yang bisa bertahan lama. Dunia sepak bola tidak bisa bersikap seolah semua berjalan normal di tengah krisis kemanusiaan yang parah. Membiarkan Israel tetap berkompetisi sama saja dengan memberikan legitimasi terhadap kebijakan genosidanya. FIFA dan UEFA harus memilih, berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan atau membiarkan olahraga ternoda oleh politik kekerasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun