Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Indonesia dan Solidaritas Palestina, Saatnya Tekan FIFA Boikot Israel

25 September 2025   09:16 Diperbarui: 25 September 2025   09:16 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selebrasi timnas Maroko dengan membawa bendera Palestina sebagai aksi solidaritas (Sumber: aljazeera.com)

Sebagai olahraga paling populer di dunia, sepak bola selalu membawa muatan politik, etika, dan moral. Piala Dunia, turnamen terbesar yang digelar FIFA, bukan sekadar pertunjukan keterampilan di lapangan hijau, melainkan juga arena simbolik yang mencerminkan sikap dunia terhadap isu-isu kemanusiaan. Saat ini, Israel menjadi sorotan tajam karena praktik genosida yang dilakukan terhadap rakyat Palestina. Pertanyaan yang mengemuka, sampai kapan komunitas sepak bola dunia menutup mata?

Indonesia, dengan sejarah panjang solidaritas terhadap Palestina, memiliki peluang strategis untuk bersuara lebih lantang. Sikap ini bukan semata persoalan politik luar negeri, melainkan bagian dari komitmen moral yang konsisten. Indonesia bukan hanya negara besar di Asia Tenggara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, melainkan juga kekuatan sepak bola yang semakin mendapat perhatian internasional. Suara Indonesia akan diperhitungkan.

Preseden sudah jelas. FIFA dan UEFA pernah menjatuhkan sanksi pembekuan kepada Rusia menyusul invasi mereka ke Ukraina pada 2022. Semua tim nasional dan klub Rusia dilarang tampil dalam kompetisi resmi FIFA maupun UEFA, termasuk Piala Dunia. Artinya, standar ganda tidak bisa dipertahankan. Jika Rusia bisa dibekukan karena agresi militer, maka Israel pun seharusnya diperlakukan sama karena tindakannya di Palestina jauh lebih brutal dan berlarut-larut.

Langkah konkret telah dilakukan. Pada Kongres FIFA Mei 2024, Asosiasi Sepak Bola Palestina (PFA) mengajukan pemungutan suara resmi untuk membekukan Israel. Desakan serupa datang dari sejumlah anggota UEFA yang menuntut pengeluaran Israel dari federasi Eropa. Isyarat ini menunjukkan bahwa suara boikot bukanlah gagasan utopis, melainkan sebuah wacana serius yang sedang bergerak menuju meja keputusan.

Sepak bola bukan hanya permainan, ia adalah bahasa moral dunia. Jika Indonesia berani menyerukan boikot Israel, maka sejarah akan mencatat bahwa keadilan pernah disuarakan lewat lapangan hijau.

Bagi Indonesia, ini adalah momen yang menentukan. Negara ini sedang berjuang dalam kualifikasi Piala Dunia 2026 di Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko. Justru di tengah momentum tersebut, Indonesia dapat memimpin koalisi negara-negara Global South untuk menuntut keadilan yang konsisten. Jika Israel tetap dibiarkan tampil, maka Indonesia harus berani menggulirkan opsi boikot.

Ada yang berpendapat, sikap boikot bisa merugikan Indonesia sendiri dari sisi sportivitas dan peluang tampil di pentas dunia. Namun, sejarah mengajarkan bahwa prestise moral kadang lebih besar nilainya daripada sekadar tiket kompetisi. Indonesia pernah menolak tampil di Olimpiade Melbourne 1956 sebagai bentuk protes terhadap agresi Inggris, Perancis, dan Israel ke Mesir. Keputusan itu dicatat dalam sejarah sebagai simbol konsistensi politik luar negeri bebas-aktif yang berpihak pada keadilan.

Selain Rusia, sejumlah negara lain juga pernah merasakan kerasnya sanksi FIFA. Pakistan, misalnya, pernah dibekukan karena gagal melakukan reformasi konstitusi federasinya. Kongo juga dilarang berkompetisi karena adanya campur tangan pihak ketiga. Artinya, FIFA memiliki mekanisme yang jelas untuk menindak anggota yang melanggar prinsip dasar. Jadi, alasan impossible untuk membekukan Israel tidak berdasar.

Jika Indonesia memilih berdiam diri, maka suara pro-Palestina dalam komunitas sepak bola global bisa melemah. Justru dengan keberanian Indonesia untuk mengorkestrasi boikot, negara-negara lain yang selama ini ragu dapat terdorong untuk bersatu. Diplomasi olahraga menjadi senjata ampuh. Apa yang gagal ditempuh di ruang diplomasi politik, seringkali bisa diguncang lewat panggung olahraga.

Kekuatan moral Indonesia tidak bisa dianggap enteng. Hingga September 2025, sebanyak 156 negara telah mengakui kedaulatan Palestina. Indonesia bisa menghubungkan jejaring itu dengan platform olahraga global, terutama lewat FIFA yang beranggotakan 211 federasi nasional. Bila suara mayoritas dikonsolidasikan, maka pembekuan Israel bukanlah mimpi kosong.

Bahkan secara praktis, dampak boikot ini akan langsung terasa. Tim nasional Israel yang kini sedang berkompetisi di kualifikasi Piala Dunia 2026 bisa didiskualifikasi. Klub-klub seperti Maccabi Tel Aviv yang rutin tampil di Liga Eropa UEFA juga akan kehilangan panggungnya. Konsekuensinya, Israel akan semakin terisolasi, sama seperti Rusia. Isolasi olahraga memiliki kekuatan simbolik: ia menyampaikan pesan bahwa komunitas global menolak normalisasi atas kejahatan kemanusiaan.

Preseden Rusia sudah jelas, FIFA mampu bertindak tegas. Kini giliran Israel yang harus merasakan isolasi. Indonesia, dengan sejarah solidaritasnya, harus menjadi penggerak moral di panggung sepak bola global. 

Indonesia memang pernah menghadapi dilema terkait sepak bola dan Palestina. Kasus pembatalan Piala Dunia U-20 2023 karena kontroversi kehadiran Israel menjadi pelajaran penting. Namun dari pengalaman pahit itu, Indonesia bisa bangkit lebih bijak. Bedanya, kali ini isu bukan lagi sekadar penyelenggaraan turnamen domestik, melainkan sikap global terhadap FIFA.

Maka, keberanian untuk bersuara adalah kuncinya. Indonesia tidak perlu sendirian. Dukungan dari negara-negara Arab, Afrika, Asia Selatan, hingga Amerika Latin dapat dijalin. Gerakan solidaritas global dalam olahraga selalu lahir dari konsensus moral, bukan sekadar kepentingan politik jangka pendek.

Pada akhirnya, pertanyaan mendasar harus diajukan. Maukah Indonesia tetap berdiri pada barisan moral dunia, atau memilih diam dengan risiko mengkhianati sejarah solidaritasnya terhadap Palestina? Piala Dunia hanyalah turnamen, tetapi sikap terhadap keadilan adalah warisan bangsa. Jika Rusia bisa dibekukan, maka Israel pun harus merasakan hal yang sama. Inilah saatnya Indonesia mengambil peran, menyuarakan boikot, dan menuliskan sejarah baru dalam diplomasi olahraga global.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun