Namun, konstruktivisme kritis memberi bacaan berbeda. Krisis ini bukan sekadar soal kebijakan, melainkan tentang narasi yang dibangun negara dan ditolak masyarakat. Nepal mencoba membungkam wacana digital, tapi Gen Z menolak. Prancis mengusung wacana efisiensi neoliberal, tapi rakyat menuntut keadilan sosial.
Ketika jalanan menjadi ruang politik, itu artinya institusi demokrasi gagal menjawab aspirasi rakyat. Dari Gen Z Nepal hingga pekerja Prancis, satu pesan jelas bahwa demokrasi tak bisa hidup tanpa kepercayaan, keadilan, dan legitimasi.Â
Jepang menghadapi benturan identitas budaya, Australia digugat oleh wacana keadilan ekologis, sementara Indonesia berhadapan dengan tuntutan demokrasi substantif. Di sinilah terlihat bahwa demokrasi tak bisa hanya dipertahankan lewat prosedur, angka anggaran, atau dalih pembangunan. Ia hidup dari legitimasi yang lahir dari makna dan norma bersama.
Krisis legitimasi inilah yang kini mengguncang demokrasi global. Generasi muda, dengan akses digital yang luas, semakin kritis. Mereka tidak ragu menantang narasi negara jika dirasa menyalahi prinsip kebebasan dan keadilan. Di berbagai benua, dari Kathmandu hingga Paris, jalanan menjadi ruang politik baru.
Pertanyaannya kini, apakah demokrasi akan runtuh oleh amarah rakyatnya sendiri? Jawabannya bergantung pada bagaimana negara menyeimbangkan logika realisme, yaitu stabilitas dan kekuatan, dengan kesadaran konstruktivis bahwa legitimasi hanya bisa bertahan jika nilai, keadilan, dan makna berpihak pada rakyat. Jika tidak, demokrasi akan terus retak, dan jalanan akan selalu menjadi saksi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI