Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Budaya Tadah Hujan, Pemanenan Air Sebagai Gaya Hidup Baru

16 Agustus 2025   05:10 Diperbarui: 16 Agustus 2025   05:10 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tandon tadah hujan (rain harvest) model rumahan (Sumber: republika.co.id)

Air adalah sumber kehidupan, namun ironi terjadi ketika hujan yang berlimpah justru mengalir begitu saja menuju selokan, sungai, lalu ke laut tanpa sempat dimanfaatkan secara optimal. Dalam konteks krisis air global, gerakan Pemanenan Air Hujan (PAH) muncul sebagai solusi cerdas untuk menjembatani kebutuhan air dengan upaya konservasi. Indonesia, dengan curah hujan rata-rata 2.700 mm per tahun, sejatinya memiliki modal besar untuk mengembangkan gerakan ini secara masif.

PAH bukanlah teknologi baru. Sejak zaman nenek moyang, masyarakat di berbagai daerah Nusantara telah memanfaatkan air hujan yang ditadah di tempayan, bambu, atau kolam tanah. Bedanya, kini tantangannya bukan hanya bagaimana menampung air, tetapi bagaimana mengelolanya dengan efisien, higienis, dan berkelanjutan agar bisa dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, mulai dari air minum hingga irigasi pekarangan.

Regulasi di Indonesia sejatinya sudah memberi payung hukum. Terbitnya PermenLH Nomor 12 Tahun 2009 dan PermenPU Nomor 11/PRT/M/2014 menjadi sinyal bahwa pemerintah melihat potensi besar PAH. Peraturan ini menekankan penggunaan sumur resapan, lubang biopori, kolam pengumpul, hingga paving block berpori sebagai sarana memaksimalkan resapan air hujan. Sayangnya, penerapan di lapangan masih belum menjadi budaya massal.

Air hujan memiliki keunggulan dibanding air permukaan di sungai atau danau. Kandungan polutannya relatif rendah, terutama yang ditadah dari atap bangunan. Proses penyaringan sederhana dapat menjadikannya layak pakai, bahkan untuk konsumsi, terutama di daerah dengan curah hujan tinggi. Dengan demikian, PAH bisa menjadi sumber air alternatif yang tidak hanya aman, tetapi juga hemat energi karena minim proses pengolahan.

Setiap tetes hujan adalah pesan alam bahwa kita masih diberi kesempatan menjaga bumi. Pemanenan Air Hujan bukan sekadar teknologi, tapi wujud syukur dan tanggung jawab pada generasi mendatang.

Metode PAH yang paling sederhana adalah wadah penampungan seperti tong, drum, atau kolam. Bagi masyarakat perkotaan, teknologi ini bisa diintegrasikan dengan desain rumah. Hal itu sebagaimana talang yang langsung mengalirkan air hujan ke tangki bawah tanah atau rooftop reservoir. Untuk skala desa, kolam retensi dan embung bisa menjadi pilihan, berfungsi ganda sebagai cadangan air dan pengendali banjir.

Sumur resapan adalah inovasi yang sangat relevan. Lubang ini memungkinkan air hujan meresap langsung ke lapisan tanah dan mengisi kembali air tanah (groundwater recharge). Di wilayah perkotaan yang lahan resapannya menyempit akibat betonisasi, sumur resapan dan paving block berpori bisa menjadi penolong utama dalam mengurangi limpasan air hujan yang berisiko menyebabkan banjir.

Lubang biopori menawarkan keunggulan lain. Selain menyerap air, lubang biopori juga menjadi sarana pengomposan organik. Dengan diameter hanya 10--25 cm, lubang ini bisa dibuat di pekarangan rumah, di bawah pohon, atau di tepi jalan. Kelebihannya, pembuatan biopori murah, perawatannya mudah, dan manfaatnya ganda bagi konservasi air dan tanah.

Pengalaman dari berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa PAH bisa menjadi penyelamat di musim kemarau. Di Nusa Tenggara Timur misalnya, beberapa desa memanfaatkan tempayan besar dan tangki plastik untuk menyimpan air hujan dari musim penghujan, yang kemudian digunakan untuk air minum dan memasak saat kemarau panjang. Pola ini membuktikan PAH bisa berjalan efektif bila dibudayakan secara kolektif.

Kearifan lokal memandang hujan sebagai berkah harus dihidupkan kembali. Dalam filosofi Jawa, hujan adalah "tirta amerta" atau air kehidupan yang membawa kesuburan. Di Bali, upacara menyambut hujan adalah simbol rasa syukur pada alam. Budaya ini bisa menjadi landasan moral untuk membangun kesadaran masyarakat bahwa air hujan adalah rezeki yang tidak boleh disia-siakan.

Gerakan PAH akan lebih kuat jika diintegrasikan dengan pendidikan lingkungan di sekolah. Anak-anak dapat diajak membuat mini-sumur resapan atau memanfaatkan air hujan untuk menyiram tanaman sekolah. Kebiasaan ini akan membentuk generasi yang memandang air hujan bukan sebagai gangguan, tetapi sebagai aset.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun