Pemerintah harus segera mengklasifikasikan rob Sayung sebagai bencana nasional berbasis iklim. Ini penting untuk membuka akses anggaran penanggulangan bencana lintas sektor dan mempercepat koordinasi antar-lembaga. Status ini juga akan mendorong keterlibatan dunia internasional dalam penanganan pesisir Jawa yang semakin kritis.
Sayung adalah cermin peradaban yang terluka. Di sana, air pasang membawa bukan hanya garam, tapi juga luka kolektif bangsa. Ketika rakyat melantunkan istighosah di tengah rob, itu bukan sekadar doa namun panggilan untuk pemimpin yang mau mendengar dan bertindak.Â
Krisis Sayung juga menjadi pelajaran bagi daerah pesisir lainnya di Indonesia. Dari Tegal, Semarang, Pekalongan, hingga Jakarta, semua berpotensi mengalami hal serupa. Jangan sampai Sayung menjadi preseden buruk atas kelalaian kita dalam menghadapi perubahan iklim global yang dampaknya lokal.
Saatnya negara hadir tidak hanya dalam bentuk rencana dan anggaran, tetapi juga dalam bentuk kehadiran yang nyata di tengah rakyat. Aksi istighosah ribuan warga NU itu harus menjadi pemantik bagi kepemimpinan nasional untuk berpihak pada suara yang datang dari genangan, dari lumpur, dari rob yang menenggelamkan harapan.
Sayung butuh keadilan ekologis, bukan sekadar janji. Karena rob bukan sekadar air, ia adalah potret ketimpangan pembangunan, kegagalan tata kelola lingkungan, dan abainya negara terhadap warga di garis terdepan perubahan iklim. Jika negara terus diam, maka sejarah akan mencatat: rakyat pernah berjalan kaki demi menyelamatkan tanah air yang tenggelam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI