Kasus pelaporan penyanyi dangdut Lesti Kejora oleh Yoni Dores ke Polda Metro Jaya pada 19 Mei 2025 kembali menyorotkan sorotan tajam terhadap lemahnya pemahaman dan penghargaan atas hak cipta di industri musik Indonesia. Yoni, adik kandung mendiang maestro Deddy Dores, menggugat Lesti karena diduga telah meng-cover dan menyebarluaskan lagu-lagu ciptaannya di YouTube sejak 2017 tanpa izin resmi.
Lagu-lagu yang dipermasalahkan bukan karya sembarangan. Sebut saja Cinta Bukanlah Kapal, Buaya Buntung, hingga Arjuna Buaya, yang semuanya memiliki jejak historis dan emosional bagi penggemar musik Indonesia. Dugaan pelanggaran ini tidak hanya menyangkut moralitas dan profesionalitas, tetapi juga menyentuh ranah hukum yang serius, yaitu pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Dalam UU tersebut, khususnya Pasal 113 jo. Pasal 9, dinyatakan bahwa setiap penggunaan karya cipta tanpa izin dari pencipta dapat dikenai sanksi pidana maksimal empat tahun penjara atau denda hingga Rp 1 miliar. Lesti diduga melanggar Pasal 9 ayat (1) huruf c, yakni memperbanyak atau menyebarluaskan ciptaan tanpa seizin pencipta. Meskipun niatnya mungkin bukan komersial secara langsung, hukum tetap berlaku.
Hak cipta adalah bagian dari hak milik tidak berwujud (intangible property) yang dilindungi sebagaimana hak atas tanah atau rumah. Dalam kerangka teori hukum properti, setiap hak eksklusif yang dimiliki pencipta atas karya mereka adalah bentuk kontrol dan kepemilikan yang sah. Pelanggaran terhadap hak ini sama beratnya dengan mengokupasi properti fisik orang lain tanpa izin.
Menghargai hak cipta bukan sekadar urusan hukum, tapi soal etika dan integritas. Lagu adalah warisan rasa, bukan sekadar nada. Bila kita ingin dihargai sebagai kreator, mulailah dengan menghormati karya orang lain.
Yoni Dores mengaku sudah melayangkan dua kali somasi kepada Lesti, namun tidak direspons. Secara hukum, ini memperkuat posisi Yoni bahwa dia telah menempuh jalur non-litigasi terlebih dahulu sesuai dengan prinsip ultimum remedium. Hal itu sudah menunjukkan bahwa hukum pidana telah menjadi jalan terakhir. Namun karena tidak ditanggapi, maka jalur pidana pun akhirnya ditempuh.
Fenomena "cover lagu" di platform digital seperti YouTube memang jamak terjadi. Banyak yang mengira bahwa sekadar menyanyikan ulang lagu orang lain tidak memerlukan izin, selama tidak dijual dalam bentuk fisik. Ini adalah kesalahpahaman besar. Platform seperti YouTube memang memiliki sistem monetisasi dan pemantauan konten, namun tanggung jawab hukum tetap pada pihak yang mengunggah konten tersebut.
Ada dua jenis izin yang wajib dimiliki jika ingin meng-cover lagu secara sah. Pertama, mechanical license atau izin memperbanyak dalam bentuk audio atau video. Kedua, synchronization license untuk penggunaan dalam konten visual seperti video YouTube. Tanpa keduanya, kegiatan tersebut melanggar hukum meskipun tidak mengambil keuntungan finansial langsung.
Kasus ini bukan hanya soal Lesti dan Yoni, tetapi cermin kegagalan kolektif kita dalam membangun ekosistem industri musik yang menghargai karya. Di negara-negara maju, pelanggaran hak cipta bisa berujung pada kerugian finansial besar dan sanksi sosial yang berat. Sayangnya, di Indonesia, banyak pelaku industri hiburan masih menganggap enteng soal legalitas karya.
Sebagai publik, kita pun perlu edukasi bahwa menghormati hak cipta bukan hanya urusan hukum, tapi etika. Mengapresiasi karya orang lain adalah fondasi dari industri kreatif yang sehat. Bayangkan jika lagu-lagu ciptaan Yoni Dores dipakai tanpa izin berulang kali, dan ia kehilangan kontrol atas distribusi serta nilai ekonomi karyanya.
Maka, saatnya kita serius. Para manajer artis, label musik, kreator konten, hingga penyanyi muda wajib memahami hukum hak cipta sebelum melangkah ke dunia digital. Literasi hukum adalah tameng pertama dari pelanggaran yang bisa saja tidak disengaja, tetapi berakibat fatal secara hukum. Lesti Kejora sebagai figur publik punya tanggung jawab moral dan hukum yang lebih besar. Langkah somasi yang diabaikan dan pelaporan yang kini sudah ditangani kepolisian seharusnya menjadi alarm keras bagi semua pelaku hiburan di Tanah Air.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!