Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara terhadap Jaksa dalam Melaksanakan Tugas dan Fungsi Kejaksaan Republik Indonesia yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 22 Mei 2025, menjadi penanda penting bahwa negara menaruh perhatian serius terhadap keamanan aparat penegak hukum. Perpres ini mengatur bahwa perlindungan terhadap jaksa dan keluarganya bisa melibatkan Polri dan TNI. Terobosan ini tentu menarik dibahas dari perspektif kedaulatan hukum dan tata kelola relasi kelembagaan di tubuh pemerintahan.
Dalam teori kedaulatan hukum, sebagaimana diusung Hans Kelsen dan dikembangkan dalam negara demokrasi modern, negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin pelaksanaan hukum secara efektif dan adil. Jaksa, sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, tidak hanya berfungsi sebagai penuntut umum, tetapi juga sebagai simbol hadirnya hukum dalam menghadapi kekuasaan dan ketidakadilan. Maka, keberadaan perlindungan negara kepada mereka mencerminkan manifestasi tanggung jawab negara terhadap supremasi hukum.
Namun, ketika perlindungan terhadap jaksa dilakukan oleh dua institusi yang memiliki karakteristik militeristik seperti TNI dan Polri, timbul pertanyaan krusial mengenai batas relasi antarlembaga. Apakah pelibatan TNI yang secara konstitusional menjalankan fungsi pertahanan negara dari ancaman militer, tidak akan menabrak prinsip pemisahan fungsi sipil dan militer dalam negara demokrasi?
Ketika negara melindungi jaksa dengan kekuatan bersenjata, kita diingatkan bahwa hukum bukan sekadar teks, tapi nyawa yang harus dijaga. Namun, jangan sampai pelindung keadilan justru menjadi bayang-bayang kekuasaan yang membungkam nurani hukum.
Perpres 66/2025 memberikan ruang bagi jaksa untuk meminta perlindungan secara aktif. Artinya, negara tidak serta-merta menyatakan ada ancaman sistemik terhadap jaksa, namun membuka kemungkinan bahwa dalam situasi tertentu, peran Polri dan bahkan TNI dibutuhkan. Di sinilah pentingnya kejelasan parameter institusional agar tidak muncul tumpang tindih kewenangan dalam praktik di lapangan.
Dari aspek hukum administrasi negara, keberadaan Perpres ini sah secara hirarki perundang-undangan dan merupakan bagian dari diskresi presiden. Namun perlu dicatat, diskresi dalam tatanan administratif harus tetap dalam koridor prinsip checks and balances. Dalam konteks ini, pengawasan atas implementasi Perpres tersebut menjadi krusial, khususnya ketika melibatkan institusi TNI dalam urusan sipil.
Relasi antara Kejaksaan, Polri, dan TNI dalam konteks perlindungan personel membutuhkan protokol kerja yang ketat. Ketiganya merupakan institusi vertikal yang berada di bawah presiden, namun memiliki kultur organisasi, sistem komando, dan otoritas yang berbeda. Maka, koordinasi dan sinkronisasi lintas lembaga perlu diatur lebih lanjut dalam bentuk regulasi teknis seperti Peraturan Menteri atau Surat Keputusan Bersama.
Bila tidak diatur dengan hati-hati, perlindungan oleh TNI bisa membuka ruang perluasan fungsi militer ke ranah sipil, sesuatu yang seharusnya sudah ditinggalkan sejak reformasi 1998. Kita tentu masih ingat pelajaran dari dwifungsi ABRI yang pada masa lalu menimbulkan distorsi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis dan akuntabel. Di sisi lain, ancaman terhadap jaksa bukan sesuatu yang mengada-ada. Penanganan kasus korupsi, narkotika, hingga kejahatan terorganisir membuat jaksa menjadi sasaran empuk dari kelompok yang merasa terancam. Maka, penyediaan perlindungan adalah bentuk keberpihakan negara terhadap pelaksana hukum yang berada di garda depan.
Namun demikian, perlindungan yang diberikan hendaknya tidak menimbulkan kesan eksklusivitas, seolah jaksa lebih istimewa dibanding aparat penegak hukum lainnya seperti hakim atau penyidik. Hal ini berpotensi menimbulkan ketimpangan persepsi di tubuh aparat hukum. Oleh karena itu, perlu dibuka ruang diskusi apakah pendekatan perlindungan ini juga perlu diadopsi bagi profesi hukum lainnya.
Lebih jauh, peraturan ini secara tidak langsung memperlihatkan adanya kebutuhan untuk memperkuat sistem keamanan internal lembaga kejaksaan itu sendiri. Apakah selama ini Kejaksaan memiliki sistem pengamanan yang lemah? Bila ya, maka sebaiknya dibangun unit protection internal yang profesional dan terlatih, alih-alih terlalu bergantung pada lembaga eksternal seperti TNI dan Polri.
Perlindungan terhadap penegak hukum adalah wujud keberpihakan negara pada keadilan. Tapi ingat, kekuatan sejati hukum bukan pada senjata yang mengiringinya, melainkan pada keberanian menegakkan kebenaran tanpa takut dan tanpa tunduk.Â
Dalam konteks kebijakan publik, keputusan Presiden Prabowo ini bisa dilihat sebagai sinyal bahwa negara ingin memperkuat penegakan hukum sebagai bagian dari agenda besar reformasi birokrasi dan pemberantasan korupsi. Namun, pelibatan militer harus tetap berada dalam koridor demokrasi dan hukum tata negara yang transparan dan proporsional. Perlindungan terhadap keluarga jaksa, yang mencakup hingga derajat ketiga, memang menunjukkan keberpihakan negara yang luas. Namun pada saat yang sama, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa perlindungan ini tidak disalahgunakan sebagai sarana intimidasi balik atau sebagai bentuk privilege hukum. Mekanisme pengawasan dan pelaporan menjadi sangat penting di sini.
Dari perspektif hukum administrasi negara, Perpres ini mencerminkan bagaimana kebijakan perlindungan bisa dilihat sebagai upaya optimalisasi fungsi negara dalam konteks service delivery kepada aparat penegak hukum. Negara tidak hanya sebagai pembuat hukum, tetapi juga sebagai pelindung hukum dan pelaksana nilai-nilai konstitusional, termasuk jaminan rasa aman bagi aparatur negara.
Pada akhirnya, Perpres 66 Tahun 2025 adalah cerminan dari dinamika relasi kekuasaan antara presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dengan institusi penegak hukum dan pertahanan negara. Agar tidak menimbulkan kontroversi atau penyalahgunaan kewenangan, maka prinsip kedaulatan hukum, akuntabilitas administratif, dan koordinasi kelembagaan yang sehat harus menjadi fondasi dalam implementasinya. Negara hadir bukan untuk memperluas kekuasaan, melainkan memperkuat keadilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI