Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Main Hakim Sendiri dan Revolusi Empati di Tengah Masyarakat

9 Mei 2025   11:35 Diperbarui: 9 Mei 2025   11:35 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi itu, di tangga Pasar Mangu, Ngemplak, Boyolali, tubuh renta seorang nenek dengan wajah dan pakaian berlumuran darah menuruni anak tangga, 7 April 2025. Pemandangan memilukan ini viral di media sosial, menyulut perdebatan publik. Ia dikeroyok warga setelah diduga mencuri dua kilogram bawang putih seharga Rp 90.000. Ironis, karena perempuan 67 tahun itu bukan kriminal kelas kakap, melainkan penjual sayur dan gorengan keliling yang setiap hari menjemput hidup dari lorong-lorong kampung.

Kekerasan itu bukan insiden tunggal. Tiga hari sebelumnya, Asyah (76), nenek dari Cianjur, juga mengalami nasib serupa. Dituduh penculik karena meminta bantuan anak kecil di jalanan, ia dikeroyok secara brutal tanpa sempat menjelaskan. Dua peristiwa ini menunjukkan sesuatu yang jauh lebih dalam ketimbang sekadar 'kesalahpahaman'. Ini tentang retaknya kepekaan sosial di tengah masyarakat yang makin lelah dan frustrasi.

Kejadian ini bukan semata perkara hukum pidana atau urusan moralitas individu. Ini adalah gambaran nyata dari dampak sosial struktural yang memanifestasi dalam bentuk kekerasan massa. Peristiwa ini merupakan gejala dari teori stres sosial yang mencerminkan masyarakat berada dalam tekanan kolektif.

Teori stres sosial menjelaskan bahwa tekanan ekonomi, ketimpangan sosial, dan ketidakpastian hidup dapat menciptakan kondisi psikologis yang rapuh dalam masyarakat. Ketika norma sosial melemah dan institusi formal tak lagi menjadi rujukan, masyarakat rentan melakukan tindakan agresif sebagai bentuk pelampiasan. Dalam konteks ini, "main hakim sendiri" bukan hanya soal hukum, tapi juga gejala stres sosial yang merembes ke psike kolektif.

Jika dua kilogram bawang bisa membuat kita memukul seorang nenek, maka yang hilang bukan hanya empati, tetapi juga kemanusiaan kita yang paling dasar.

Dalam masyarakat yang sehat, kasus dugaan pencurian oleh seorang nenek mestinya memicu empati, bukan amarah. Tapi dalam masyarakat yang telah kehilangan kemampuan untuk mendengar dan memahami, respons spontan lebih sering berupa kekerasan. Nenek menjadi simbol kegagalan kita dalam membangun ruang sosial yang aman bagi warga rentan.

Hukum progresif, sebagaimana digagas oleh Satjipto Rahardjo, menempatkan hukum sebagai alat untuk mencapai keadilan substantif, bukan sekadar kepastian formal. Hukum yang hidup (living law) mestinya peka terhadap konteks sosial pelaku. Dalam kasus ini, bukan hanya hukum negara yang gagal melindungi, tapi juga hukum sosial yang justru memperparah luka.

Pertanyaan yang lebih menyakitkan, sejak kapan masyarakat kita tidak lagi mengenali perbedaan antara pencuri dengan orang yang kelaparan? Antara penjahat dengan mereka yang terdesak hidup? Ketika dua kilogram bawang putih cukup untuk memicu kekerasan, maka yang rusak bukan hanya sistem ekonomi, tapi juga nurani kolektif kita.

Pasar yang dulu menjadi ruang solidaritas kini berubah menjadi arena kekerasan spontan. Media sosial mempercepat penyebaran emosi publik, tapi gagal membangun ruang klarifikasi yang adil. Kecepatan berbagi visual kekerasan tak dibarengi dengan refleksi. Sebuah potret buram dari masyarakat yang haus keadilan tapi salah arah dalam menyalurkannya. Kita perlu membedah ulang bagaimana narasi tentang "pencuri", "pelaku", atau "penjahat" dibentuk di ruang publik. Terlalu sering, identitas sosial menentukan perlakuan. Jika pelaku seorang ibu renta dengan pakaian lusuh, label 'maling' segera dilekatkan. Tanpa proses, tanpa empati. Inilah bentuk baru dari "hukuman sosial" yang mengerdilkan martabat manusia.

Mengapa masyarakat begitu cepat terpancing? Jawaban singkatnya, stres kolektif. Dalam situasi ketidakpastian ekonomi, kekhawatiran atas keamanan sosial, dan minimnya ruang dialog, emosi negatif menumpuk. Maka setiap pemicu, betapapun kecilnya bisa menyulut ledakan. Itulah yang terjadi di Boyolali dan Cianjur. Dan bisa terjadi lagi di tempat lain.

Masyarakat tanpa empati adalah masyarakat yang mudah menyakiti. Kekerasan terhadap yang lemah adalah tanda stres sosial, bukan keberanian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun