Ada yang berubah dari cara saya memandang perjalanan. Dulu, mudik adalah rutinitas penuh lelah, tergesa, dan terjebak dalam kerumunan. Kini, duduk di kursi kereta eksekutif menuju Semarang, saya merasakan ketenangan yang hampir menyerupai meditasi. Ada sesuatu dalam ritme roda besi di atas rel yang seakan berdialog dengan batin saya: "Tenanglah, kau sedang pulang."
Saya naik dari Stasiun Gambir, Jakarta, pagi itu. Interior stasiun sudah seperti lounge bandara, bersih, rapi, dan modern. Tapi bukan itu yang membekas. Seorang petugas menyapa saya dengan senyum tulus, lalu membimbing seorang nenek menuju peronnya dengan sabar. Kereta memang tak hanya mengantar kita pulang, tapi juga mengajarkan makna penghormatan terhadap perjalanan orang lain.
Begitu masuk ke dalam gerbong, aroma kebersihan langsung menyapa. AC yang sejuk, pencahayaan terang, dan kursi ergonomis berlapis kulit sintetis yang bisa direbahkan, semuanya mengisyaratkan bahwa perjalanan ini bukan sekadar pemindahan tubuh dari titik A ke titik B. Ini adalah pengalaman multisensori yang mewah dalam balutan kesederhanaan Indonesia, yaitu Kereta Argo Muria.
Interior kereta Argo Muria yang saya tumpangi, menggabungkan estetika minimalis modern dengan elemen karpet alas yang menenangkan mata. Tiap detail dirancang untuk menghadirkan kelegaan, jendela lebar dengan tirai senyap, tempat duduk berpola simetris, hingga colokan listrik di setiap kursi, dan layar monitor yang membuat para penumpang merasa dihargai untuk menikmati hiburan dan layar informasi.
Seorang pria di seberang saya membuka buku tebal. Seorang ibu muda mengeluarkan novel dari tas ranselnya. Di bangku sebelah, mahasiswa dengan earphone menulis catatan sambil sesekali melihat ke jendela. Saya tersenyum. Di kereta ini, budaya membaca seperti tumbuh alami. Tidak ada kebisingan. Tidak ada layar ponsel bersuara keras. Ada ruang untuk berpikir, dan lebih dari itu adalah ruang untuk menyerap makna pulang.
Pemandangan sepanjang jalur utara Jawa seperti galeri lukisan bergerak. Hamparan sawah hijau, siluet gunung jauh di kejauhan, dan sesekali jembatan panjang melintasi sungai yang berkilau diterpa matahari. Alam seolah menyambut para pemudik dengan tangan terbuka, menghapus letih yang mungkin tersimpan selama berbulan-bulan di kota besar. Di salah satu momen perjalanan, kereta melambat di area perbukitan. Di kejauhan, tampak anak-anak melambaikan tangan ke arah kereta. Saya melambaikan tangan balik dan dada saya menghangat. Ada rasa diterima, rasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar perjalanan fisik.
Layanan di kereta bukan hanya efisien, ia terasa manusiawi. Petugas datang menawarkan makanan dengan suara lembut, tak tergesa. Mereka tidak hanya menyajikan, tetapi juga memperhatikan. "Bapak suka yang tidak pedas?" tanya pramugari saat saya memilih menu. Interaksi sederhana, tapi menyentuh ruang afeksi kita sebagai manusia.
Kamar kecil di ujung gerbong mengejutkan saya. Bersih, wangi, dengan air mengalir deras dan kaca bening. Sebuah standar baru untuk perjalanan jarak jauh. Hal-hal kecil seperti ini tidak hanya memberi kenyamanan, tapi juga menanamkan persepsi positif yang lama tinggal di alam bawah sadar kita tentang kualitas layanan transportasi publik.
Sepanjang perjalanan, tidak pernah terdengar suara klakson, kemacetan, atau rasa panik akibat pengemudi ugal-ugalan. Yang ada hanya suara roda berirama, seperti musik latar yang menenangkan pikiran. Inilah kekuatan kereta, ia bukan hanya membawa kita menjauh dari kota, tapi juga dari kegaduhan batin yang selama ini membebani. Saya membuka buku catatan dan mulai menulis. Rasanya, inspirasi mengalir lebih deras saat pikiran tenang dan tubuh nyaman. Perjalanan ini seperti ruang kerja bergerak bagi para pemikir, penulis, pembaca, dan siapa pun yang ingin berdialog dengan diri sendiri.
Duduk di kereta jarak jauh seperti ini menghadirkan pengalaman psikologis yang kaya: dari euforia keberangkatan, keheningan saat merenung, hingga haru menyongsong kedatangan. Ini bukan hanya perjalanan geografis, tapi juga emosional untuk membuka jendela pada diri sendiri yang selama ini mungkin tertutup rapat oleh rutinitas.
Ketika matahari mulai condong ke barat dan sinarnya masuk ke jendela, saya melihat wajah-wajah damai di setiap kursi. Seolah-olah, tanpa kita sadari, suasana kereta telah membentuk semacam meditasi kolektif yang membuat kita lebih ramah, lebih sabar, dan lebih manusiawi.Â